Pagi ini Azara sudah sangat siap untuk memulai hari pertamanya masuk dalam tim detektif.
Azara masuk ke ruangan. Tidak ada satu orang pun yang menganggapnya ada di sana.
Karena mereka masih tidak suka kehadiran Azara di tim ini. Semua orang sibuk dengan tugas dan laporan masing-masing sementara Azara masih berdiri dan merasa bingung apa yang harus dia kerjakan sekarang.
"Apa ada yang bisa saya kerjakan?" tanya Azara pelan sambil melihat ke semua tim yang masih sibuk dengan kerjaan masing-masing.
"Duduklah dulu. Kursimu ada di depan meja Azka. Nanti Azka yang akan memberi tahu tugasmu. Azka, berikan dokumen itu kepada Azara," perintah Ali dengan tegas yang duduk di kursi paling depan.
Dengan sangat berat hati, Azka melirik ke arah Azara dan melemparkan berkas itu ke mejanya.
"Pelajari ini, kalau masih ada yang ingin ditanyakan, bisa tanyakan pada Angga." Azka melirik sinis ke arah Azara.
Azara mulai membuka berkas itu, air matanya tak dapat membendung kesedihan Azara ketika ia melihat foto ayahnya bersimbah darah di tempat kejadian itu.
Angga segera mengambil kursi dan duduk di samping Azara.
"Jangan menangis! Itulah kenapa kami tidak suka kamu masuk ke tim kami. Selain kamu adalah wanita, kamu juga keluarga korban. Kami tidak ingin kamu jadi tidak profesional dalam bekerja menyelidiki kasus ini," ucap Angga pelan sambil merangkul bahu Azara untuk menyadarkan Azara yang sudah berurai air mata.
Dengan cepat Azara menyeka air matanya dan berkata,"Maaf saya hanya terbawa perasaan. Dan saya akan tetap bersikap profesional."
"Baguslah! Lihat lagi dan pelajari dokumen ini." Angga kembali ke mejanya.
***
Di kantor polisi.
Seorang laki-laki paruh baya dengan kemeja dan dasi yang menempel di dadanya mendatangi ruang Handoko, wakil pimpinan kepolisian.
"Selamat pagi Pak Handoko," sapa Hartawan dengan wajah yang sangar.
"Selamat pagi Pak Hartawan. Apa kabar?" Handoko menyambutnya dengan jabatan tangan dan anggukkan kepala sebagai tanda hormat.
"Tentu saja baik. Anda pasti tidak lupa kan dengan saya." Hartawan duduk dengan kaki diangkat ke kaki sebelah.
"Mana mungkin saya bisa lupa dengan Anda Pak. Tanpa Anda, saya tidak mungkin ada di kursi jabatan ini," jawab Handoko dengan wajah yang sedikit takut melihat wajah Hartawan yang sangar.
"Baguslah kalau begitu, saya tidak salah telah memilih orang. Saya ada tugas tambahan untuk Anda." Hartawan berdiri dan membisikkan sesuatu di telinga Handoko.
Setelah Handoko memahami tugas itu, Hartawan segera pergi meninggalkan ruangan dengan didampingi seorang asisten pribadinya.
***
Di ruangan tim detektif
Ketika ruangan itu nampak senyap, tiba-tiba Azka bersuara dan mengejutkan semua anggota tim nya di sana.
"Aku baru saja dapat kabar dari badan forensik, soal kartu nama yang aku temukan di halaman rumah korban. Mereka telah menemukan sidik jari pelaku yang menempel di kartu itu," kata Azka sambil berdiri dan melihat ke seluruh anggota timnya termasuk Azara yang begitu antusias mendengar kabar ini.
"Apa kamu sudah datang ke tempat tinggal pelakunya?" tanya Ali dengan tegas.
"Siapa pelakunya?" tanya Azara sangat bersemangat.
"Aku sudah coba datang ke rumahnya, tapi di sana hanya ada kedua orang tuanya yang sudah tua renta. Mereka mengatakan bahwa putri mereka sudah menghilang selama 3 bulan yang lalu," ujar Azka.
"Siapa nama pelakunya?" tanya Angga lagi.
"Namanya Maria. ID nya 6321054312950003."
Angga segera mencatat semua keterangan itu di laptopnya dan mengeceknya dengan nomor ID tadi. "Benar, di sini memang ada laporan kehilangan atas nama Maria dengan ID tersebut dari 3 bulan yang lalu," jelas Angga melihat ke seluruh timnya.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Azara melirik ke arah Azka.
"Ini akan sulit untuk diungkapkan. Pelakunya bukanlah orang biasa. Aku yakin dia sudah biasa melakukan pembunuhan seperti ini. Terlalu rapi jika ini dilakukan oleh orang biasa," kata Azka dengan penuh keyakinan.
"Dia pasti seorang psikopat. Aku pernah membaca di sebuah artikel, setiap kali dia membunuh seseorang dia pasti akan membawa organ tubuh korban untuk dijadikannya sebagai cendramata atau hasil dari perbuatan yang dia lakukan," sahut Dion menambahkan.
"Berarti dia juga membunuh Maria, dan dia menggunakan sidik jari Maria untuk mengelabuhi polisi," pekik Angga.
"Kemungkinan seperti itu," sahut Dion lagi.
Dengan sigap, Ali segera memerintahkan semua anak buahnya untuk berpencar.
"Arya dan Angga, kalian pergi ke rumah sakit tempat dimana korban ini bekerja."
"Azka dan Azara, kalian cari tahu semua tentang korban. Dimana lokasi terakhir dia menghilang, dan apapun yang berhubungan dengan korban."
"Dan kamu Dion, kamu ikut dengan saya untuk menemui Jaksa Ilham."
Setelah semuanya mendapat tugas masing-masing, seluruh anggota tim keluar untuk mulai menjalankan tugasnya masing-masing.
Di dalam mobil, Azka nampak masih cemberut karena harus bertugas dengan Azara.
"Kenapa harus sama dia sih," gumam Azka membatin.
Azara yang mendengar suara hati Azka langsung menoleh ke arah Azka yang masih fokus menyetir mobilnya.
"Maaf kalau kehadiran aku di sini membuat kamu jadi terasa terusik. Dan maaf kalau kamu tidak menyukai ini, tapi aku janji aku akan bersikap profesional," kata Azara pelan.
Mendengar Azara tiba-tiba bicara seperti itu, Azka jadi curiga kenapa Azara seolah bisa mendengar apa yang dikatakan dalam hatinya tadi?
"Aku harap kamu bisa melakukan itu dengan baik. Karena kita polisi dan kita harus bisa mengungkap kejahatan. Aku tahu ini pasti berat buat kamu, karena kasus yang sedang kita selidiki ini adalah kasus yang menimpa ayah kamu sendiri. Tapi ini adalah tugas yang harus kamu lakukan untuk menangkap pelakunya," kata Azka melirik ke arah Azara.
"Baiklah. Aku akan bersikap profesional dalam menjalani tugas ini," kata Azara mencoba untuk meyakinkan Azka.
"Bagus lah. Kalau begitu kencangkan sabuk pengamanmu. Aku akan mulai mengebut," kata Azka mulai menambah kecepatan mobilnya.
Mereka akan memulai ke tempat yang pernah menjadi tempat bekerja Maria.
Di ruang Jaksa.
Ali dan Dion datang menemui Jaksa Ilham untuk menyerahkan semua bukti yang mereka dapat hari ini.
"Maaf Pak, ini bukti yang tim kami dapatkan hari ini," kata Ali sambil menyerahkan bukti sidik jari Maria yang berhasil ditemukan oleh Azka.
"Lambat sekali kerjanya tim kamu ini. Kalian dibayar oleh negara untuk menyelesaikan kasus ini dengan cepat." Jaksa Ilham membentak dan melotot ke arah Ali.
"Maafkan kami Pak. Kami akan berusaha lebih maksimal lagi," Ali dan Dion menundukkan kepalanya.
"Ya sudah, kalian boleh pergi!"
Setelah mendapat izin keluar dari Jaksa Ilham, Ali dan Dion segera meninggalkan ruangan itu.
Kring
Suara panggilan telepon dari ponsel Jaksa Ilham.
"Halo..." sapa Jaksa Ilham menyapa dengan pelan.
(Mendengar)
"Tenang saja. Sampai detik ini mereka masih belum bisa menemukan bukti yang kuat untuk menangkap siapa pelakunya," lanjut Jaksa Ilham dengan menaikkan sebelah alisnya. Lalu menutup teleponnya dengan cepat.