Di tempat kerja Maria
Azka dan Azara menemui atasannya langsung dan mencoba mengintrogasi kegiatan Maria sebelum dinyatakan menghilang.
"Perkenalkan saya Azka, dan ini rekan saya Azara."
Azka memperkenalkan diri sambil memperlihatkan ID card-nya.
"Silahkan duduk," kata Fahri masih bingung melihat kedatangan dua polisi ini ke kantornya.
"Maaf, ada perlu apa ya?" tanyanya lagi.
"Saya ingin tahu tentang Maria. Benar kan dia karyawan Anda?" ucap Azka.
Azara telah siap dengan buku dan alat tulisnya untuk mencatat semua keterangan yang akan dia dengar dari laki-laki paruh baya itu.
"Maria yang hilang beberapa bulan lalu itu?" tanya Fahri mengerutkan keningnya untuk mencoba meyakinkan lagi.
"Iya betul Pak," sahut Azka dengan sangat yakin.
Fahri memutar bola matanya ke atas. Dia mencoba mengingat tentang sosok Maria.
"Maria, dia itu karyawan yang aneh menurut saya. Dia sangat pendiam dan jarang sekali berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Saya rasa hanya itu yang saya tau tentang dia."
"Apa Maria mempunyai musuh di tempat kerjanya?"
"Saya rasa tidak ada. Dia termasuk orang yang sangat ramah dengan semuanya. Dia juga baik, tapi ya gitu... Dia sangat tertutup soal kehidupan pribadinya."
"Baiklah kalau begitu Pak. Saya permisi, dan terimakasih atas kerja samanya hari ini," ucap Azka segera beranjak dari tempat duduknya dan berjabat tangan dengan Fahri sebelum keluar dari ruangan itu.
'Dasar karyawan merepotkan,' gumam Fahri di dalam hatinya.
Azara yang memiliki kemampuan mendengar suara hati orang lain, jadi tahu apa yang baru saja dikatakan oleh Fahri.
"Permisi Pak," kata Azara menyusul langkah Azka keluar dari ruangan itu.
Di dalam mobil Azka nampak bingung sambil membaca kembali catatan yang tadi ditulis oleh Azara.
Azka memijat keningnya,'Aku harus gimana lagi untuk bisa menemukan titik terang dari kasus ini.'
Azara melirik ke arah Azka, dia bisa tahu apa yang saat ini sedang dipikirkan oleh Azka.
"Gimana kalau kita ke rumah Maria?"
"Untuk apa kita datang ke sana?"
"Aku yakin kita bisa menemukan sesuatu di sana. Kita bisa mengecek ke kamarnya."
"Baiklah aku setuju," kata Azka menyetujui saran dari Azara.
Azka menyalakan mobilnya dan segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Maria.
Setibanya di rumah Maria, Azka dan Azara meminta izin kepada orang tua Maria untuk masuk ke dalam kamar Maria.
"Kami dari tim detektif ingin membantu ibu untuk mencari keberadaan Maria saat ini. Namun kami perlu mencari sesuatu yang bisa membantu pencarian kami. Apakah kami boleh masuk ke kamar Maria?"
"Silahkan, kamar itu belum pernah kami masuki semenjak Maria menghilang," kata Bapak Maria dengan suara yang kurang jelas karena sudah tua.
Kedua orang tua Maria mengantar Azka dan Azara sampai di depan kamar Maria lalu meninggalkan mereka untuk mengecek semua barang milik Maria di dalam kamar itu.
Mereka mulai melihat-lihat semua barang milik Maria. Azka mengecek ke dalam lemari baju sedangkan Azara terfokus ke arah meja kerja Maria yang terdapat sebuah buku diary yang ditulis oleh Maria setiap hari.
Azara membuka buku itu dan membaca setiap bait tulisan yang Maria tuangkan ke dalam buku diary itu.
Di salah satu tulisannya ada yang membuat Azara jadi merasa prihatin kepada sosok Maria.
'Tuhan... Aku lelah menjalani kehidupanku sebagai bawahan yang hina ini. Bisakah aku menjadi orang kaya? Setiap hari yang kulakukan hanyalah bekerja dan bekerja untuk menghidupi kedua orang tuaku dan membiayai pengobatan mereka. Tapi kenapa semua orang menghinaku? Menganggapku sebagai perawan tua karena aku masih belum bisa mendapatkan pasangan hingga usiaku yang sudah hampir 35 tahun. Apakah masih ada laki-laki yang mau menikah denganku yang jelek dan kucel ini?'
Azara meneteskan air matanya ketika membaca tulisan itu. Dia jadi ikut sedih karena tahu kehidupan Maria yang penuh dengan cacian dan hinaan. Azara jadi tidak sabar ingin menemukan keberadaan Maria.
***
Di sebuah restoran yang sangat tertutup, Hartawan mengadakan pertemuan dengan Handoko dan Jaksa Ilham.
"Bagaimana kabar kalian?" tanya Hartawan dengan senyum tipis yang mengukir bibir tebalnya.
"Sangat baik Pak," sahut Handoko sambil menuang minuman ke dalam gelasnya.
"Saya juga baik, Tuan. Ada apa Tuan memanggil kami ke sini?" tanya Jaksa Ilham dengan suara yang begitu santun.
"Minumlah dulu," kata Hartawan sambil menawarkan mereka untuk bersulang.
Mereka mulai memperbincangkan obrolan yang sangat serius.
"Apa sudah ada perkembangan dari kasus ini?" tanya Hartawan dengan nada suara yang sangat dingin
"Sepertinya mereka tidak akan menyerah sebelum pelakunya tertangkap," ucap Handoko menunduk takut.
"Jadi apa yang harus kami berdua lakukan sekarang Tuan?" tanya Jaksa Ilham juga takut menatap mata Hartawan yang membulat.
"Hehe, kenapa kalian bertanya kepadaku?" tawa Hartawan membuat kedua pria itu semakin menunduk takut.
Lalu mereka mencoba memberanikan diri untuk mengeluarkan pendapat mereka.
"Bagaimana kalau kita munculkan saja pelakunya untuk mengelabuhi mereka Pak," kata Handoko memberi saran.
Hartawan langsung menggebrak mejanya dengan mata yang semakin terbuka lebar.
'Braaakk'
"Dasar bodoh! Percuma saja saya memberikan kalian posisi yang paling sempurna saat ini, jika hanya itu saja yang ada di dalam pikiran kalian."
Kedua pria itu hanya bisa menunduk mendapat bentakan dari Hartawan.
Hartawan adalah orang di balik jabatan yang saat ini mereka jalani.
Mau tidak mau, Jaksa Ilham dan Handoko harus patuh dengan semua perintah dari Hartawan.
"Tugas kalian adalah memantau, melaporkan dan mengikuti apa yang saya perintahkan," lanjut Hartawan sambil beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi meninggalkan mereka.
"Jika Anda tidak bisa berpikir jernih, sebaiknya Anda diam! Dasar otak sampah!" kata Jaksa Ilham melotot ke arah Handoko setelah Hartawan pergi dari hadapan mereka.
"Anda yang lebih baik diam. Jangan ikut campur dengan masalah saya. Dasar jaksa gadungan!" sahut Handoko kepada Jaksa Ilham.
***
Tiba-tiba ada seorang pria yang berteriak meminta tolong ketika ia melihat sosok mayat sudah mengapung di sungai.
Beberapa warga langsung berdatangan untuk mengecek mayat itu. Mereka juga segera menghubungi pihak kepolisian untuk datang ke tempat itu.
Tim detektif segera datang ke TKP setelah mendengar berita ini. Namun jenazah sudah dibungkus dan akan dibawa oleh pihak forensik.
"Boleh saya melihatnya sebentar? Saya hanya ingin memastikan mayat ini tidak ada hubungannya dengan kasus yang sedang tim saya selidiki sekarang," ucap Ali kepada tim badan forensik.
"Baiklah, silahkan. Tapi jangan lama-lama!"
Ali membuka pembungkus mayat itu dan dia sangat terkejut ketika melihat jari kaki mayat tersebut menghilang. Ali dengan cepat menutup kembali pembungkus mayat itu.
"Terima kasih, kalian boleh membawanya."
Apa yang terjadi pada mayat itu, sama persis dengan kejadian yang menimpa Candra, ayah Azara.
Candra dibunuh dengan beberapa tusukan di bagian perutnya, serta jari kaki yang menghilang.