Di dalam mobil, Ali berdiskusi dengan timnya mengenai mayat yang mereka lihat dengan jari kaki yang sudah menghilang. Mereka meyakini pelaku pembunuhan ini adalah orang yang sama dengan pembunuh Candra, ayah Azara.
"Aku yakin pelaku ini sengaja mengerjai kita sekarang dengan teka teki yang sulit sekali dipecahkan," kata Arya pada timnya.
"Sekarang sebaiknya kita kembali ke kantor sambil menunggu tim badan forensik selesai memeriksa kasus ini," kata Ali kepada anak buahnya.
"Azka dan Azara mana? Kok mereka tidak terlihat?" tanya Angga yang celingukan mencari keberadaan dua rekannya itu.
"Mereka sedang aku perintahkan untuk mengecek CCTV di sekitar tempat kejadian ini," sahut Ali.
"Memangnya ada CCTV di daerah sungai seperti itu? Lokasi itu juga jarang dilewati oleh manusia," ucap Arya menaikkan alisnya.
"Maka itu aku meminta Azka untuk mengeceknya. Dia akan mencari bukti sekecil apapun."
Siang itu terik matahari begitu panas.
Azka dan Azara mulai melakukan pencarian CCTV di sekitar sungai tempat ditemukannya mayat tadi.
Namun tidak ada tanda tanda adanya CCTV yang terpasang di dekat sana.
Azka mulai menyerah, keringatnya mulai bercucuran membasahi wajahnya yang tampan.
"Minumlah!" kata Azara memberikan satu botol air mineral kepada Azka.
"Iya terimakasih."
Arya langsung meneguk air itu bersamaan dengan Azara. Terlihat di sekitar sungai jalanan sangat sepi. Tak ada rumah penduduk di sana.
Melihat keringat Azara yang menetes, Azka memberikan sapu tangan miliknya kepada Azara.
"Pakailah! Hapus keringatmu itu! Tenang saja, itu masih bersih kok. Belum sempat aku pakai," ucap Azka meyakinkan Azara.
Azara tersenyum lalu menerima sapu tangan itu.
"Terimakasih. Tapi rasanya aneh kamu bisa bersikap baik kepadaku."
Azka terdiam tanpa menjawab perkataan dari Azara lagi.
Semenjak Azara masuk ke dalam tim ini, Azka memang orang pertama yang menentangnya. Namun dia tidak punya pilihan lain karena ini sudah menjadi perintah dari atasan.
Mereka pun melanjutkan kembali perjalanan di area sungai demi mendapatkan bukti yang mungkin saja ditinggalkan oleh pelaku.
Mereka menyusuri jalanan yang sangat panjang.
Namun itu tidak membuat mereka jadi berputus asa. Keringat sudah kembali bercucuran di dahi Azara. Berjalan dari ujung ke ujung untuk menemukan petunjuk yang bisa mereka jadikan bukti. Tapi usaha mereka seakan sia-sia tanpa membuahkan hasil.
"Aarrrgghh sialan!" teriak Azka dengan keras. Membuat Azara yang berdiri di belakang Azka jadi terkejut.
'Dimana kamu pembunuh sialan? Membuat teka-teki yang begitu sulit seperti ini?' gumam Azka di dalam hatinya.
Suara hati Azka terdengar oleh Azara.
Azara menepuk bahu Azka dan mencoba untuk menenangkan emosi Azka serta mengembalikan semangatnya lagi.
"Ayahku dulu pernah berkata, kalau setiap penjahat itu pasti akan tertangkap jika polisi menerapkan 3S," ucap Azara kini berjalan di samping Azka.
"Apa itu 3S?"
"Semangat, semangat, dan semangat!" jawab Azara sambil tersenyum manis menghadap ke arah Azka.
"Kita harus tetap semangat, apapun yang terjadi. Ingat tugas kita sebagai polisi yang memberantas segala tindak kejahatan," lanjut Azara, meskipun dia sendiri sudah merasa lelah karena pelaku pembunuhan ayahnya masih belum ada titik terang hingga detik ini.
"Bukannya tidak semangat, tapi pelakunya sangat pintar. Sehingga aku sangat lelah mengerjakan kasus ini," kata Azka dengan langkah kaki yang terseok.
"Dia hanya beruntung saja. Entah apa yang membuatnya jadi beruntung seperti sekarang," sahut Azara yang memiliki dendam paling besar kepada pelaku.
"Mungkin. Tapi aku akan memastikan kalau aku akan mencarinya sampai ke lubang tikus sekalipun. Aku tidak akan membiarkan psikopat itu berkeliaran di luar sana."
Mereka terus berjalan menyusuri area sungai. Tidak disangka, Azara menemukan bekas galian tanah yang menumpuk seperti bukit. Lalu dia memanggil Azka untuk melihat tanah itu.
Azka berlari dan berhenti di depan gundukan tanah merah itu.
"Lihatlah! Ini sepertinya masih baru," kata Azara menatap mata Azka.
Azka mengangguk dan segera melepas jaketnya.
"Biar ku gali dengan tanganku."
Azka segera berjongkok dan mulai menggali tanah itu dengan kedua tangannya.
"Aku bantu ya," kata Azara ikut berjongkok dan menggali gundukan tanah itu dengan kedua tangannya yang mulus.
***
Di depan gedung kantor polisi.
Rama nampak berdiri sedang menunggu kedatangan Azara di sana. Rama sangat khawatir dengan kondisi Azara karena kepergian Candra dengan cara yang tragis itu.
Terlebih belakangan ini Azara sulit sekali dihubungi, membuat rekan kerja Azara yang sudah lama menyimpan rasa cinta kepada Azara itu menjadi semakin cemas.
Tidak berselang lama, mobil Azka datang. Dia turun dari mobil bersama dengan Azara.
Melihat Azara datang dengan pria lain, membuat Rama jadi terbakar api cemburu.
"Azara..." teriak Rama melambaikan tangannya menyapa ke arah Azara.
Azara tersenyum sambil berjalan menghampiri Rama.
"Hei... Ngapain di sini?" tanya Azara menepuk bahu Rama.
Belum sempat Azara memperkenalkan Azka kepada Rama, Rama sudah lebih dulu pergi meninggalkan mereka dengan wajah yang datar.
"Aku duluan ya," kata Azka melenggang pergi begitu saja.
"Sombong sekali," gumam Rama pelan.
"Aslinya dia baik kok," ucap Azara melirik ke arah Azka yang sudah jauh meninggalkannya.
"Ada apa kesini?" tanya Azara mengajak Rama untuk duduk di kantin.
"Kamu sulit sekali dihubungi. Aku khawatir dengan keadaan kamu."
"Aku masih sibuk mencari pelakunya," kata Azara dengan wajah yang sedih bercampur dengan lelah.
"Masih belum menemukan titik terangnya?"
Azara menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menceritakan hasil dari semua pencarian timnya selama ini karena itu adalah sebuah rahasia yang tidak boleh dibocorkan kepada siapapun.
***
Di rumah sakit
Lisa mengajak Mike untuk ke kantin rumah sakit pada jam istirahat.
"Tumben kamu mengajak aku ngopi di kantin. Pasti ada yang ingin kamu bicarakan ya?" tanya Mike sambil menyeruput kopinya.
"Aku hanya ingin meminta saran darimu."
"Ada apa? Cerita lah!"
"Jika nanti aku terpilih untuk ikut seminar selama dua bulan di Amerika. Apa aku harus pergi?"
"Memangnya apa yang kamu beratkan?"
"Aku khawatir dengan Azara jika aku harus pergi dan meninggalkan dia di rumah sendirian."
"Azara itu kan sudah dewasa. Apalagi dia sudah menjadi seorang polisi. Dia pasti akan bisa menjaga dirinya sendiri."
Azara memang tinggal hanya berdua dengan Candra, ayahnya. Ibunya meninggal dunia ketika melahirkannya ke dunia ini.
Semenjak kepergian ibunya, Lisa berperan sebagai ibu pengganti bagi Azara. Meskipun cinta Lisa bertepuk sebelah tangan kepada Candra karena Candra masih tidak mau menikah lagi semenjak kematian istrinya.
Kedekatan mereka sudah seperti anak dan ibu kandung. Terlebih semenjak kematian Candra, Lisa satu-satunya orang yang mendampingi Azara di rumah. Lisa merasa tidak tega jika harus meninggalkan Azara sendirian karena dia harus menjalankan tugas di luar negeri.