"Karena luka yang kau torehkan. Membuat hatiku mati"
Sequel : When the rain.
Rara el hasan
-----------------------------------
"Sayang...?"
Sepasang mata bola menatapnya penuh cinta. Seperti biasa, perempuan itu akan setia menantinya di meja makan. Membiarkannya yang lihai memasak mempertontonkan akrobat.
"Wah! Kau tampak seksi dengan spatula itu. Hari ini tidak ada kilatan api lagi?"
Jagat mengutas senyum. "Kau mau melihatnya lagi?"
Perempuan itu mengangguk semangat.
"Kapan kau akan membiarkanku memasak?" Pertanyaan yang selalu sama di setiap pagi, hampir satu bulan ini.
"Bukankah kita sudah sepakat. Selama kau mengandung, aku yang mengambil alih semua pekerjaan rumah."
Perempuan itu beranjak berdiri. Berjalan mengendap ke arah lemari pendingin, mengambil jus limau, melengakkan kepala dengan mulut terbuka. Bersiap mengalirkan air berasa asam itu melewati kerongkongannya yang kering.
"Hentikan Fawnia!"
Perempuan bernama Fawnia itu lantas mengembalikan kotak jus ke tempatnya. Melempar tatapan tak terima ke arah Jagat setelahnya.
"Kau sedang mengandung. Jus itu terlalu asam untukmu."
Jagat menghampiri meja makan. Meletakkan dua piring nasi goreng. Mendatangi Fawnia, lalu mencubit hidung perempuan itu gemas.
"Kau nakal sekali."
"Kau seperti Ibu Wita yang melarangku ini dan itu." Fawnia mencebikkan bibir, menyilangkan kedua tangannya di depan dada lantas membuang muka.
Melihat tingkah sang istri, dahi jagat berlipat ganda. "Tumben Kau protes mengenai Ibu. Bukankah kalian sudah seperti anak kembar, kemana-mana selalu bersama." Setelah itu Jagat tertawa cekikikan.
Fawnia tak peduli. Ia terlalu kesal pada Jagat. Setelah dinyatakan hamil, lelaki itu sudah seperti bodyguard. Serupa juga dengan mak-mak yang suka nyinyir bahkan tukang ngatur sana sini. Ia bukan tipe perempuan yang betah duduk berlama-lama di rumah. Pekerjaan sebagai model juga harus ditinggalkan, itu semua karena dokter memvonis kandungannya lemah.
"Fawnia... " Jagat menggoda sang istri. "Sayang... Hari ini aku ambil cuti, lho. Kau tidak ingin pergi jalan-jalan."
Fawnia menoleh antusias. Cekungan lesung pipinya terbentuk. Menambah kesan manis di parasnya yang cantik lahiriah. "Kemana? Boleh aku memilih tempatnya?"
Jagat mengangguk.
Fawnia. Perempuan bertubuh mungil yang dinikahinya satu tahun lalu. Fawnia seorang model. Pertemuan pertama mereka terjadi di New Zealand tiga tahun lalu. Perempuan riang nan aktif. Fawnia perempuan pertama yang mampu membuat bola matannya tak beralih pandang dalam waktu lama.
"Hanya kita berdua, bukan? Tanpa Ayah dan Ibu apalagi Neisya."
"Kau dan Neisya belum akur?"
Fawnia mengangguk. "Hanya karena aku mengalahkannya diajang pemilihan model sebuah majalah lima bulan lalu, dia memusuhiku sampai sekarang."
"Aku tidak kaget. Neisya itu perempuan dengan gengsi setinggi gunung."
"Jangan Om Fahat juga. Aku sampai bosan mendengarkan ceritanya tentang masa muda Ayah dan Ibu."
Jagat berdecak sembari menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa aku menikahi perempuan yang tidak suka dengan seluruh keluargaku."
"Karena kau terlalu tergila-gila padaku," sergap Fawnia sembari menjulurkan lidah.
Jagat memicingkan mata. "Begitukah?"
Fawnia mengangguk congkak.
Tanpa peringatan. Jagat menerjang bibir Fawnia. Menciumya lembut. Mengikrarkan kepemilikan. Fawnia istri cantiknya. Fawnia ibu dari anaknya. Dan Fawnia alasan utama mengapa Jagat menjadi seorang Psikiater.
"Bagaimana kalau kita pergi ke taman bermain?" usul perempuan itu tiba-tiba, di tengah panggutan.
"Kita bukannya sudah pergi ke taman bermain minggu lalu?"
"Kapan? Tidak... Minggu kemarin kita di rumah saja."
Jagat menghela napas panjang. "Sarapan dulu. Sebelum nasi gorengnya dingin."
Jagat menggandeng pergelangan tangan Fawnia. Mengajaknya ke meja makan. Fawnia duduk, begitupun Jagat. Mereka menikmati sarapan diselingi obrolan ringan. Sampai ponsel Fawnia yang berdering nyaring, mengalihkan perhatian.
"Biarkan saja."
"Angkat dulu, siapa tahu penting."
Fawnia mengangguk. Ia meletakkan kembali peralatan makan. Kemudian pergi ke kamar. Tak berselang lama, ponsel jagat lah yang kini berbunyi. Panggilan dari manager Neisya. Adik perempuannya itu sedang berada di kantor polisi karena terlibat perkelahian.
"Ini masih pagi, dan dia sudah membuat ulah?!" Nada suara Jagat meninggi.
"...."
"Baiklah aku kesana." Panggilan diakhiri.
Jagat beranjak dari tempat duduknya. Pergi ke kamar. Fawnia masih berbicang di telepon. Diraihnya jaket serta kunci mobil. Jagat sempat berpamitan pada Fawnia. Perempuan Itu memperbolehkan dengan anggukan kepala.
Untunglah jalanan tidak sepadat biasanya. Hanya dengan waktu tempuh tiga puluh menit, Jagat sampai di kantor polisi. Langkah panjangnya, membawa tubuh yang masih terbalut kaus dengan celana jeans selutut serta jaket kulit hitam. Menghampiri sebuah meja yang di depannya duduk seorang perempuan berpenampilan acak-acakan.
Jagat berdehem. Perempuan itu menoleh diselingi cengiran kuda. Lantas berdiri dengan jari membentuk huruf V.
"Jangan sampai ayah mendengar kejadian ini!"
Ultimatum Jagat itu dibalas anggukan kepala cepat, berulang kali.
"Makanya, aku meminta Ted menghubungi Kakak saja. Bukan Ayah."
"Apalagi sekarang ulahmu. Bukannya kuliah, malah jadi brandalan."
"Bukan aku yang salah. Dia... " Neisya menunjuk seorang perempuan diseberang meja. Perempuan yang sama acak-acakkannya. "Dia yang meledekku perempuan tidak tahu malu!"
Perempuan itu bangkit. Berteriak tak terima. Seorang wanita menahan tubuhnya yang hendak menghampiri Neisya. "Kau yang menghina Fawnia di media sosial. Kau iri dengan kesuksesannya."
Jagat tertegu. "Ini ada hubungannya dengan Fawnia?"
Neisya membuang muka. "Jangan memintaku berdamai dengannya."
Jagat mengacak rambutnya kesal. "Dia kakak iparmu. Dewasalah, Neisya!"
"Sekalinya Neisya tidak suka ya tidak suka."
"OK. Kalau begitu aku tidak akan menjaminmu."
"Kakak lebih memilih dia dari pada aku? Baiklah, Kak. Sekarang pergi saja dari sini."
Neisya langsung duduk. Tak menggubris Jagat yang mencoba menurunkan ke egoisannya. Bagi Neisya, Fawnia hanyalah musuh. Selama ini perempuan itulah yang menjadi duri di dalam karirnya.
Jagat membalikkan badan. Disaat yang sama Ted menghampirinya dengan tergesah. Jagat berkacak pingang. Air mukanya geram.
"Maafkan aku, Pak Jagat." Ted menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya naik turun secara belawanan.
"Aku membayarmu untuk menjaga dia. Bukan membiarkannya masuk penjara."
"Aku sedang mengatur jadwal pemotretan. Maafkan aku."
Jagat hanya mendengus kemudian berlalu pergi. Ia berniat menghubungi Fawnia. Selagi menunggu proses penjaminan selesai .Ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan istrinya itu.
Tersambung. Tapi tak ada jawaban. Jagat mencobannya lagi. Kali ini sembari berjalan-jalan kecil menjauhi kantor polisi.
Dihirupnya dalam-dalam udara pagi yang masih segar. Dihadapannya terhampar sebuah taman kota dengan beberapa orang yang sekedar lari pagi atau mengobrol santai dengan rekan sebelum memulai pekerjaan.
"Kau kemana Fawnia?" gumamnya.
Jagat mengedarkan pandangan. Kini manik matanya terpusat pada seorang perempuan yang cukup menyita perhatian. Perempuan itu mengejar seorang lelaki di warnai adu mulut. Awalnya samar, tapi semakin Jagat mendekat wajah perempuan itu semakin jelas.
Jagat berhenti. Senyumnya lebur. Tubuhnya menegang. Hatinya seakan diremas paksa. Perempuan itu Fawnia. Perempuan yang masih mengenakan sepasang sandal rumah dan piyama itu terlihat menyebrang jalan. Mengejar seorang lelaki berkaca mata yang sudah berada di seberang jalan.
Tanpa mempedulikan jika lampu lalu lintasnya sudah berubah merah. Fawnia berlari ke tengah jalan. Dan..
Kecelakaan itu tak terelakkan. Tubuh Fawnia terpelanting. Membentur mobil sebelum kemudian jatuh ke aspal.
***