Chapter 4 - Awal Baru

Sleeping Partners

Berdamailah dengan masa lalu dan bertemanlah dengan masa depan.

Sequel When the rain

Rara el-Hasan

----------------------------------------

"Kak, nanti pura-pura saja tidak tahu masalah kejutan ini, ya. Ibu Wita sudah menyiapkannya dengan susah payah," pinta Hanum.

Jagat hanya mengangguk sekenanya.

Pintu rumah terbuka lebar. Suara petasan ala-ala langsung meramaikan. Bukan percikan api, tapi taburan kertas yang dipotong kecil-kecil.

"Selamat datang...." sambut semua orang.

Ruang tamu disulap bak pesta ulang tahun anak TK. Penuh balon, kertas warna warni menjuntai di sana sini dan potret wajah Jagat yang di cetak besar tertempel di dinding. Tak ketinggalan berbagai hidangan lezat tersaji di meja yang sudah di hias sedemikian rupa.

Wita memeluk Jagat diiringi rinai air mata. Perempuan itu teramat merindukan putranya. "Ibu mengira kau tidak mau pulang lagi, Nak?"

"Jagat pasti pulang, Bu."

"Kakak...."

Jagat menggeser sorot mata, mendapati Nesya mendekat ke arahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Nesya rindu Kak Jagat."

Jagat melepas pelukan sang Ibu, berganti memeluk Nesya sembari mengusap punggungnya naik turun.

"Maafin Nesya, Kak ... maaf."

Jagat mencium puncak kepala Nesya, lantas mengeratkan pelukannya.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sya."

"Jangan pergi lagi ya, Kak.. di sini saja."

Jagat manggut-manggut. Ia tak akan pergi ke mana pun. Hidupnya ini perlu ditata ulang. Sudah dua tahun dan itu bukan waktu yang sebentar untuk meratapi diri. Mulai sekarang, ia wajib belajar berdamai dengan masa lalu dan bersahabat dengan masa depan. Cukup! Lagi pula Fawnia tak akan kembali meski ia terpuruk sekali pun.

"Sudah sedih-sedihannya. Sekarang waktunya bersenang-senang," sahut Maria.

"Iya. Sia-sia jadinya siapin pesta kalau malah tangis-tangisan begini," timpal Hanum.

Jagat mengangguk. Sembari mengusap perutnya yang datar, ia bertanya, "Jagat lapar, Bu... Ibu masak makanan kesukaan Jagat, tidak?"

"Semur jengkol sudah Ibu siapkan. Sebaskom."

Jagat terkekeh. Begitupula yang lain. Lama di New Zealand tidak merubah selerah lidahnya. Jengkol tetap menjadi jawarah.

Pesta penyambutan berlanjut. Setelah menyantap hidangan, Jagat memilih menepi. Keluar rumah, bersandar pada pilar besar di dekat taman depan.

Sejak tadi, perempuan bernama Freya itu menjejali pikiran.Bisa jadi karena kemiripan wajahnya dengan Fawnia, atau Freya memang telah berhasil menarik perhatian. Ia dan Freya berpisah setelah sampai di bandara. Ia ikut mobil ambulan untuk menemani laki-laki itu, sedang Freya entah pergi ke mana. Terakhir yang ia ingat, Freya memberinya kupon  sebuah cafe sebagai ucapan terima kasih.

Buru-buru Jagat merogoh saku celana.

"Kupon ice cream gratis," gumamnya.

Dibacanya deretan huruf yang membentuk nama sebuah jalan.

"Ini kan di depan rumah sakit Paman Fahat? Dia kerja di sana?"

Napasnya terembus kencang. Diremasnya kupon itu dan dibuangnya jauh-jauh. Freya harus dihindari. Jagat tak mau menganggap Freya sebagai Fawnia. Kenyataan jika rasa cintanya pada Fawnia begitu besar, bisa saja ia mencari sosok Fawnia pada diri Freya.

"Jagat..."

Si pemilik nama langsung membalikkan badan, sekilas. Karena ketika Jagat tahu siapa yang datang, ia berancang-ancang pergi.

"Terima kasih sudah pulang."

Jagat urung pergi. Sorot matanya nyalang menatap laki-laki tersebut. Rahangnya mengerat, giginya saling beradu menimbulkan suara gemeletuk. Susah payah Jagat menekan emosi. Jika saja laki-laki itu bukan suami Neysa, Jagat tak akan sungkan-sungkan melayangkan bogemnya.

"Nesya selalu menyalahkan dirinya atas kematian Fawnia. Aku tidak suka melihatnya murung seperti itu. Aku yakin kau menginginkan kebahagiaan Nesya sama sepertiku. Lupakan saja kejadian dua tahun lalu. Kejadian itu sudah lama terjadi. Demi Nesya..."

Ucapan tak bertanggung jawab yang berhasil menyulut amarah Jagat. Namun, bukan Jagat namanya jika tak mampu mengontrol emosi.

"Dalam kehidupan cinta, putus nyambung itu hal biasa. Lagi pula kami sudah putus sebelum aku bertemu Nesya. Aku dan Fawnia tidak memiliki kecocokan. Dan... Penyakitnya.. Keluargaku pasti menolaknya jika tahu Fawnia mengidap bipolar."

Jagat mengepalkan tangan hingga membuat buku-buku jarinya memerah. Jika terus di sini, ia tak bisa menjamin tak akan menyerang laki-laki itu.

Maka ia memilih bungkam, lantas pergi.

***

Sore menjelang. Jagat berpamitan pada Wita dan lainnya untuk kembali ke apartemen. Meski mendapat penolakan, Jagat bersikeras memilih tinggal di apartemennya saja. Selain tak ingin tinggal serumah bersama Reyhan. Jagat merasa perlu membiasakan diri tinggal di tempat yang penuh kenangan Fawnia. Inilah salah satu cara agar dapat berdamai dengan masa lalunya.

"Kau baru saja datang.. tinggalah di sini setidaknya untuk malam ini," pinta Itan.

"Aku akan sering-sering datang kemari, Ayah."

Itan mengusap bahu sang anak naik turun.

"Jaga diri baik-baik," pesannya. Kemudian mundur. Membiarkan Wita mengambil posisinya.

Wita mendekat lantas memeluk Jagat. Barangkali ini sudah kelima kalinya Wita memeluk Jagat. Bagi perempuan itu, perpisahan selama dua tahun tak cukup jika hanya ditebus pertemuan sesingkat ini.

"Kasih tahu password pintu apartemenmu. Ibu akan sering-sering datang mengantarkan makanan."

Jagat menganggut. Mencium kening sang Ibu, lantas memeluknya lagi.

"Jagat pergi dulu, Bu. Titip salam untuk Nesya."

Wita mengiyakan. Nesya dan Reyhan memang tak ada di rumah. Beberapa jam lalu mereka pergi ke dokter mengecek kandungan Nesya.

"Hanum boleh ketemu kak Jagat di rumah sakit, ya?"

Anggukan Jagat menjadi jawaban singkatnya. Laki-laki itu mencium tangan Itan, Wita dan Maria, sebelum kemudian pergi dengan mobil pribadinya.

Bercengkrama lagi dengan adimarga ibu kota yang tak pernah mati. Memaksa pula indra pembaunya disesaki udara penuh polusi. Tak ada yang berubah, semuanya tetap sama seperti dua tahun lalu. Gedung pencakar langit, bangunan pertokoan, bundaran hotel indonesia yang iconik, dilaluinya sepanjang jalan. Jagat mengulas senyum, singkat. Sangat singkat, mungkin hanya sepersekian detik. Biji matanya sesekali mengarah pada ruang kosong di sampingnya. Biasanya suara Fawnia yang mengomeli macetnya jalanan menjadi penghibur sembari mengemudi. Sayangnya, hanya rasa hampa dan kekosongan yang kini mengawani.

***

Ah! Rasanya ia muak menikmati pemandangan yang sama setiap harinya. Pertokoan, bangunan-bangunan besar, serta suara bising kendaraan yang sering kali memekakkan telinga. Wajar saja, karena sang ibu kota memiliki daya magis yang menarik para pendatang, menambah pula berjubelnya manusia dari tahun ke tahun. Sayangnya, semakin padat penduduk semakin menipis pula udara segar yang dapat dihirup. Bahkan diperparah dengan minimnya pepohonan dan polusi udara yang kian mencapai angka kronis. Indek kualitas udara yang dipasang di jalan-jalan sudah menyentuh angka ratusan. Angka mengerikkan menurutnya.

"Hah!" desahnya.

Langkah kakinya santai, sangking santainya ia membiarkan sol sepatunya aus karena sering bergesekan dengan aspal. Menghasilkan suara gisil yang mengundang orang untuk menoleh.

Perempuan berkemeja putih, dengan satu lengan bajunya tergulung sesiku itu, bergumam pelan.

"Dasar dokter gila! Apa dia sengaja menyiksaku karena sudah ku tolak. Menyebalkan sekali."

Freya mendelik. Tangan kanannya yang terkepal dipukul-pukulkan ringan ke telapak tangan kirinya yang terbuka. Sejurus kemudian ia berteriak kesal sembari menghentak-hentakkan kaki ke tanah.

"Aku harus buat perhitungan. Awas saja sampai ketemu. Akan ku buat hidupnya menyesal karena sudah menyusahkanku."

Sumpah serapahnya mengudara setelah itu. Leon, nama yang masuk daftar hitam di buku hidupnya. Dokter sinting yang sejak sebulan lalu membuat tensi darah naik terus. Kesialannya berawal ketika dokter sinting itu menyatakan perasaan. Dan dengan terang-terangan Freya menolaknya.

"Siapa juga yang mau jadi kekasih laki-laki playboy macam dia,"cerocos Freya amat dongkol.

Setelah itu, hampir setiap hari Leon membuat hidupnya tak tenang. Menyuruh ini lah menyuruh itu lah. Sampai menyuruhnya ikut pelatihan ke New Zealand . Untuk apa juga Leon membawa seorang perawat. Itu pelatihan untuk dokter-dokter spesialis. Kenyataannya, keikut sertaannya hanya sebagi kacung, alias jongos alias tukang wara-wiri, yang harus rela hati jadi budak tukang suruh-suruh itu. Freya dendam, waktu dua harinya di saat libur akhir pekan terbuang sia-sia.

Suara lonceng kecil yang selalu berbunyi ketika pintu terbuka, membuat seorang perempuan dengan baju serba pink dan rambut kepang dua menoleh. Deretan giginya yang rapi terlihat saat ia tersenyum lebar. Kesya, sahabat baik Freya, Pemilik kedai ice cream depan rumah sakit citra medika. Kedai berdesain shabby chic itu sudah berdiri sejak dua tahun lalu.

Freya tinggal di sana. Setelah sang ibu meninggal dunia satu tahun lalu, Freya memilih menyewa lantai dua kedai ini untuk menghidari ayah tirinya. Laki-laki mesum yang berusaha bersikap tidak senono padanya.

"Kau datang.."Keysa menghampiri Freya lantas memeluknya.

"Aku merindukanmu..."

"Hmm..." jawab Freya malas.

Keysa melepas pelukannya dan membawa tubuhnya mundur beberapa langkah. Matanya terbelalak kaget. 

"Apa yang terjadi dengan.bahumu? Ada bekas darah."

"Ah! Ada insiden kecil di pesawat tadi.."

"Sini biar aku obati."

"Tidak usah.. aku baru pulang dari rumah sakit. Ini sudah diobati."

Keysa manggut-manggut. Kemudian ia mengganti topik pembicaraan.

"Bagaimana dengan  New Zealand?"

Freya menggeleng. Keysa menyelidik. Wajah Freya yang ditekuk-tekuk laksana kertas kusut, membuat Keysa mendesah iba..

"Dokter Leon menyusahkanmu lagi?"

Freya mengangguk. "Aku sudah curiga saat dokter kepala memberi tahu kalau aku harus ikut menghadiri pelatihan di New Zealand. Kalau ada pelatihan, biasanya para dokter yang datang. Apalagi dari undangan yang sempat aku baca, kegiatan pelatihan itu di khususkan untu Dokter berpengalaman dari masing-masing departemen. Anehnya, kepala bersikeras aku harus ikut. Aku yakin laki-laki sinting itu yang memintanya." Freya menjeda sebentar, sekedar mengambiI napas.

"Tidak ada pelatihan, setidaknya untukku."

"Lalu untuk apa kau ikut ke sana?"

"Jadi jongosnya,"jawab Freya sembari mendaratkan tubuhnya kasar ke kursi dan berpangku tangan.

Keysa cekikikan."Rasa sakitnya padamu masih belum hilang juga rupanya."

Freya mengedikkan bahu, sejurus kemudian mendesah.Melepaskan segala kelelahan yang dirasakan batin dan fisiknya."Otakku ini sepertinya perlu didinginkan. Buatkan ice cream gelatin dong..".

"Siap bos.."

Keysa kembali ke mejanya. Menyiapkan ice cream permintaan Freya.

"Kenapa kau tidak meminta pindah departemen saja. Biar tidak bertemu dengannya lagi."

"Maunya sih begitu. Sayangnya belum ada perekrutan perawat untuk departemen lainnya."

"Kalau begitu kau harus bersabar bertahan dengan dokter Leon."

Freya manggut-manggut. Masih dengan mendumal kesal.

***