Chapter 3 - Swastamita

Sleeping Partners

Inilah kisah cintaku!

Sequel When the rain

Rara el-Hasan

----------------------------------------

"Sayang, coba lihat ... indah banget."

"Sayang...."

Merasa diacuhkan, Fawnia mengguncang lengan Jagat yang sedang sibuk membaca buku.

"Jagat!"

Jagat menutup bukunya. Menatap Fawnia yang sudah mengerucutkan bibirnya kesal.

"Apa, sayang?"

"Setiap kali kau membaca buku. Kau selalu tidak peduli dengan orang di sekitarmu. Termasuk aku," sembari bersedekap dan membuang muka.

"Begitu saja marah. Ada apa? Apa yang harus aku lihat?"

Fawnia nyengir kuda. Mengarahkan jari telunjuknya keluar pesawat dari balik kaca.

"Lihatlah warna langitnya."

Jagat mencondongkan badan. Menatap keluar jendela. Senja itu berwarna merah saga. Indah. Apalagi di ketinggian seperti sekarang ini, ia bagaikan berada di atas lautan awan.

Fawnia merupakan satu dari sekian juta manusia di muka bumi yang sangat menggandrungi Swastamita. Selama di New Zealand, hampir setiap hari Fawnia minta diajak ke laut. Apalagi kalau bukan untuk melihat matahari yang menghilang di bawah garis cakrawala.

"Ini yang membuatku selalu antusias ketika naik pesawat. Keindahan seperti ini tidak bisa kita lihat setiap saat."

"Dan, aku harus bersyukur pada Tuhan," sambung Jagat.

Fawnia menoleh. Dahinya tertekuk lengkap dengan alis yang bertaut karena penasaran.

"Di saat bersamaan.. Aku disajikan dua keindahan sekaligus."

Jagat mengedipkan satu matanya, menggoda. Fawnia tersipu malu. Dipukulnya bahu Jagat berulang kali. Jagat terkekeh ringan. Ia menikmati gelagat Fawnia yang selalu salah tingkah seperti ini. Dan, semburat merah yang menghiasi pipi putih Fawnia, mengingatkannya pada buah stroberi setengah matang.

Jagat merogoh saku jaket. Mengambil kotak kecil berwarna biru berbahan beludru, lalu menyodorkannya pada Fawnia. Fawnia tertegun. Ia langsung membawa telapak tangan menekan mulut agar pekikannya tak keluar dan mengagetkan penumpang lain.

Jagat membuka kotak itu. Sebuah cincin solitaire bertengger cantik di sana.

"Cincin yang cantik ini tidak akan terlihat cantik sebelum berada di jari yang tepat."

Fawnia benar-benar tak percaya dengan kenyataan yang tersaji di hadapannya. Entah, sudah berapa kali rayuan, seruan, bahkan permintaan tentang pernikahan itu ia kemukakan pada Jagat. Namun, Jagat selalu tak mengindahkannya. Sekarang, di saat ia mulai malas menyuarakan keinginannya itu, tiba-tiba saja Jagat membawa kejutan yang tak pernah ia perkirakan.

"Fawnia.. Jika kau memilih bersamaku. Maka konsekuensinya kau akan sering tidur tanpa kudampingi karena pekerjaanku yang terbilang sibuk. Bahkan, aku tidak akan bisa menjemputmu pulang bekerja dan menemanimu makan siang seperti pasangan lainnya. Apa kau tidak keberatan dengan hal itu?"

Fawnia terisak. Ia mengangguk cepat. Menyetujui semua pertanyaan yang Jagat ajukan.

"Di sini, Bukan kau yang beruntung karena bisa bersanding denganku. Aku yang sangat beruntung memilikimu di sampingku. Jagat, kau tahu siapa aku. Kau tahu bagaimana kondisiku? Apa kau yakin tidak akan menyesal nantinya? Karena sekalinya masuk ke dalam hidupku, kau harus siap jatuh dan sakit berkali-kali."

Jagat membawa satu tangannya yang bebas membelai pipi Fawnia. Meyakinkan perempuan itu jika tak ada yang perlu dicemaskan. Ia akan berada di sisi Fawnia apapun yang terjadi.

"Fawnia... Maukah kau menikah denganku?"

"Minggirlah! jangan mendekat!" suara ancaman seorang lelaki yang disusul teriakan beberapa orang, mengagetkan Jagat. Buru-buru di usapnya genangan tipis di sudut mata. Setelah itu bangkit berdiri dan memindai kesekitar. Ini pesawat kelas bisnis. Kebetulan juga kursinya tak terisi penuh . Di antara beberapa badan yang sedang berdiri menghalangi, terlihat seorang lelaki berperawakan tanggung dengan kondisi kumal menodongkan garpu ke segala arah.

Kepanikan terjadi. Pelengkingan yang didominasi suara kaum hawa begitu memekakkan telinga.

"Ada apa?" tanya Jagat pada pramugari yang kebetulan berdiri di sampingnya.

"Bapak itu tiba-tiba saja berdiri dan menodongkan garpu ke semua orang."

Jagat memicingkan mata penuh selidik. Beberapa orang berusaha menenangkan lelaki itu. Bahkan tampak juga seorang perempuan yang sok menjadi pahlawan. Mencoba menenangkan, walau garpu sudah terarah tepat di depan matanya.

Jagat keluar dari area tempat duduknya. Mendekati perempuan itu. Berhadapan langsung dengan lelaki yang makin menjadi-jadi, menusukkan garpu ke punggung tangannya sendiri. Kini jagat yakin betul apa yang terjadi pada lelaki tersebut.

"Aku mohon mundurlah! Kau bisa terluka! Aku tidak mau melukaimu!" pinta lelaki itu. Air wajahnya amat kalut.

"Kau bisa tenang.." perempuan berambut lurus sebahu dengan tubuh sedikit berisi itu berusaha menenangkan lelaki di hadapannya. Ia menghentak-hentakkan kedua telapak tangannya setinggi dada. Kakinya terus saja mengambil langkah mundur sedikit demi sedikit.

"Jangan menjadi sok pahlawan. Minggirlah," sentak Jagat.

Perempuan itu berjingkat, lantas membalikkan badan.

"Fawnia!" gumam Jagat lirih.

Kemudian, tiba-tiba saja suara jeritan terdengar bersamaan dengan noda darah yang merembes dari kemeja Perempuan itu. Jagat membelalak. Semuanya terjadi begitu cepat. Dengan sigap ditariknya perempuan itu mundur ke belakang tubuhnya. Lalu dengan sekali hentakkan ia mencengkeram pergelangan tangan lelaki itu. Memuntirnya dengan gerakan cepat. Garpu di tangan lelaki tersebut terlepas. Jagat menekan lelaki itu ke lantai.

"Ambilkan tasku, cepat!" pinta Jagat pada perempuan tadi.

Perempuan itu berbalik badan dan pergi. Pramugari yang tadi berdiri di samping Jagat, langsung meraih tas kecil yang tergeletak di kursi dan memberikannya pada perempuan tersebut.

"Cepat!" teriak Jagat.

Perempuan tersebut menyodorkan tas di tangan. Jagat menerimanya, lantas membukanya. Mengambil sebuah kotak kecil dan mengeluarkan jarum suntik. Dengan giginya ia melepas penutupnya. Bersiap menancapkannya ke lengan lelaki itu.

"Tunggu!" cegah perempuan itu. Raut wajahnya gusar.

"Aku seorang dokter." dan Jagat pun menyuntikkan obat penenang pada lelaki itu.

"Berapa lama lagi pesawat ini mendarat?"

"Sepuluh menit lagi, Pak," sahut salah satu Pramugari.

Ketika dirasa lelaki itu sudah tenang dan mulai terlelap tidur. Jagat berdiri. Meminta bantuan Pramugara untuk mendudukkan lelaki itu ke kursinya.

"Apa kau seorang pskiater?"

Jagat menoleh. Perempuan itu berdiri tepat di belakangnya. Seketika, manik matanya membeliak lebar. Jantungnya berdebar hebat. Mana mungkin perempuan di hadapannya ini, Fawnia. Fawnianya sudah tenang di sana. Bukan! Walau mirip, Jagat yakin perempuan ini bukanlah Fawnia. Fawnia tidak memiliki tahi lalat di sudut mulut sebelah kanan. Fawnia juga tidak bertubuh subur dan berkulit kemerahan. Fawnianya cenderung kurus dengan kulit putih pucat.

"Siapa namamu?" pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Ah! Saya Freya."

Freya.. Ulang Jagat dalam hati. Ia mencoba menyakinkan diri jika Freya dan Fawnia dua orang yang berbeda.

"Apa Bapak seorang dokter?" tanya perempuan itu kesekian kalinya.

Jagat mengangguk singkat kemudian berlalu pergi, kembali ke tempat duduknya.

"Terimakasih," ucap perempuan itu.

Jagat menoleh. Perempuan itu mengutas senyum. Mempertontonkan gugusan giginya yang rapi.

Hati Jagat terhimpit. Senyum itu, senyum Fawnia. Senyum yang selalu menyambutnya kala pagi. Ya Tuhan, apalagi ini. Kenapa ia harus bertemu seseorang yang mirip dengan Fawnia, ketika hati dan pikirannya berupaya mengubur kenangan akan Fawnia dalam-dalam.

"Terimakasih, pak Dokter," ulang perempuan itu, masih dengan cengirannya.

Jagat tak merespon. Ia memilih mengacuhkannya dan langsung duduk. Memasang pelantang telinga. Membuka majalah yang disediakan maskapai. Mulai hanyut dalam aktivitas pengalihan. Jagat berjuang keras menata hidupnya. Ia tak mau terjebak nostalgia. Sudah cukup ia menyiksa diri selama dua tahun ini. Menyiksa pula keluarga serta adiknya.

Siapa lagi yang akan ia salahkan sekarang? Semua anggota keluarga sudah terkena imbas ketidak stabilan jiwanya.

"Salahkan dirimu sendiri! Karena dengan arogannya kau merengkuh perempuan itu tanpa tahu perasaannya yang sesungguhnya. Adakah dirimu di hatinya? Ataukah penyakit terkutuk itu yang membuatnya melupakanmu? Kenyataannya, kau hanya memiliki sedikit tempat  di hatinya."

Telingannya berdenging. Jagat melepas pelantang telinga  kasar. Napasnya memburu. Ia seperti ini lagi. Menertawakan diri sendiri.

------------

Dengan langkah panjang-panjang Fahat menuju sebuah ruangan dengan bau khas karbol yang menusuk hidung. Jagat disana. Berdiri di depan ranjang rawat seorang lelaki yang tertidur dengan selang infus melekat di punggung tangannya.

"Ya! Jagat.. Kenapa kau letakkan lelaki itu di ruangan ini,"sergap Fahat.

Jagat langsung menoleh. Melemparkan tatapan heran.

"Kenapa, Paman?" bersamaan dengan kalimat itu Jagat mengedarkan pandangan. Menelisik kondisi ruangan yang penuh dengan pasien. Ini bangsal reguler. Dalam satu ruangan bisa dihuni lima sampai enam pasien. Sebagai pembatasnya hanya tirai-tirai menjuntai panjang sampai lantai yang dipasang di sisi ranjang.

"Apa kau tidak tahu siapa dia?"

Jagat mengedikkan bahu. "Memang dia siapa?"

"Dia itu aktor terkenal. Aktor yang sedang naik daun."

Jagat manggut-manggut singkat.

"Kalau itu begitu mempengaruhi paman. Aku serahkan dia pada paman. Masa kerjaku baru berlaku dua hari lagi. Sebelum dua hari itu, aku tidak mau kemari lagi," jelasnya. Lantas pergi melewati Fahat sembari melambaikan tangannya dari arah depan.

"Woy! Jagat.. Jagat!" Fahat berteriak-teriak. Jagat tak peduli. Lelaki itu terus saja berjalan keluar ruangan.

Rumah sakit ini  milik Fahat. Rumah sakit yang Fahat bagun untuk istrinya, Maria. Maria seorang perawat yang berhasil mengulik hatinya. Pertemuan mereka terjadi beberapa tahun silam. Pertemuan yang tidak di sengaja. Fahat hampir saja disuntik obat penenang oleh Maria karena berteriak histeris di depan ruang kerjanya. Saat itu, Fahat mengira Wita tak mampu membuka mata lagi. Dan Maria mengira Fahat pasien gangguan jiwa yang sedang tantrum. Karena kesalah pahaman itulah mereka menjadi dekat dan akhirnya menikah.

Jagat menghentikan langkah kakinya di lobi rumah sakit. Jemarinya sibuk menekan-nekan layar ponselnya, memesan mobil online untuk mengantarnya pulang.

"Kak Jagat!"

Suara yang tak asing di telinga Jagat. Ia mendongak. Di hadapannya berdiri seorang perempuan yang tersenyum amat manis. Dialah Hanum, putri semata wayang Fahat dan Maria.

"Hanum?"

"Iya ini Hanum, Kak. Kak Jagat mau pulang?"

"Begitulah. Ini masih mau pesan mobil online."

"Biar Hanum antar saja. Kebetulan Hanum bawa mobil. Bagaimana?"

"Kau tidak sedang ada kepentingan di sini."

"Ah! Hanum rencananya mau mengunjungi dokter kecantikan. Tapi itu bisa lain kali. Ayo, Kak...."

Jagat pun mengiyakan. Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir.

"Kakak tidak bilang kesiapapun kalau mau pulang?"

"Hmm.. Kejutan."

"Kejutannya sudah gagal karena Kak Jagat menelepon Ayah. Tahu sendiri, ayah itu tidak bisa menjaga rahasia. Apalagi yang menyangkut tentang kak Jagat. Ayah selalu antusias luar biasa. Sekarang, orang rumah sedang menyiapkan acara penyambutan untuk Kakak."

"Bagitukah."

Dan selama perjalan menuju rumah pun. Jagat tak bisa menolak untuk tidak menjawab pertanyaan Hanum. Banyak hal yang Hanum tanyakan. Dari kehidupannya di New Zealand. Alasannya pulang ke Indonesia. Dan rencananya bekerja di rumah sakit Fahat. Perempuan itu masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Ceria serta berpikiran sederhana. Jagat harusnya seperti Hanum. Lebih bisa menikmati hidupnya.

----------