"Kebahagiaan paling indah, ketika kita dapat berkumpul bersama keluarga."
Sequel : When the rain.
Rara el hasan
-----------------------------------
Aroma daging panggang menguar. Tawa dan obrolan ringan menjadi pemanis. Siang pun tak begitu terik. Beralaskan tikar serta berteman semilir angin yang menyegarkan, dua keluarga kecil itu mengadakan piknik rutin bulanan di belakang mansion megah mereka. Disibukkan pekerjaan, membuat perkumpulan seperti ini menjadi obat penghilang letih. Tak terkecuali bagi dua lelaki paruh baya yang sedang membolak-balik daging di atas panggangan. Piknik dijadikan kesempatan emas bagi mereka untuk melakukan transaksi terselubung.
"Sstt..." panggil Fahat lirih.
"Apa?" jawab Itan sama lirihnya.
"Itan ... jangan gosong ya dagingnya," teriak Wita dari arah belakang.
"Ya, Sayang. Tenang saja."
Fahat menepok bahu Itan kencang.
"Kau masih takut saja pada Wita."
"Seperti kau tidak takut saja pada istrimu."
"Kau parah! Aku masih bisa mengambil hati Maria."
"Wita bukan Maria yang mudah dikadali."
Fahat menonyor kepala Itan tak terima. Itan hendak membalasnya, tapi selembar tiket yang langsung dikeluarkan Fahat dari dalam saku celana, membuat Itan menarik mundur tangannya. Tiket itu bagaikan jimat, dan Itan vampirnya. Selama Fahat memiliki tiket itu, Itan tak akan berani macam-macam. Bahkan patuh padanya.
"Bagaimana bisa kau mendapatkannya? Bukannya sudah sold out satu minggu lalu."
"Yah! Kau lupa siapa aku? Si lidah emas (tukang ngibul) teman wanitaku salah satu promotor konser Black Pink."
"Syukurlah." Itan berdecak senang.
"Mahal! Ini kursi VIP." Fahat mengipas-ngipaskan tiket itu ke badan.
"Berapa duit?" Itan mengeluarkan dompet dari saku celana belakang.
"Nomer Marisa.."
Itan terpekik.
"Jangan gila! Kalau Maria tahu bisa jadi perang dunia ke-lima."
"Aku tidak sebodoh dirimu."
"Jangan Marisa. Nanti kalau kau ketahuan, aku juga bisa perang dunia ke empat part dua dengan Wita."
"Marisa atau tiket Black Pink?"
Fahat meniup-niup tiket di tangannya. Itan berpikir, lalu menimbang. Kemudian menyambar tiket itu.
"Aku kirimkan nomornya."
"Ok."
"Ibu! Ayah mau nonton konser Black Pink."
Fahat dan Itan menoleh cepat. Begitu pula Wita yang langsung bersungut-sungut.
Rupanya, sejak tadi Neisya dan Hanum menguping pembicarakan kedua Ayahnya itu dari balik pohon tepat di depan panggangan.
"Amsyong!"
Itan melepar segala apapun yang sedang dipegangnya. Termasuk tiket konset black pink, dan langsung berhambur mendekati Wita.
"Itan! Tiket konsernya hangus."
Itan menoleh dengan raut wajah kagetnya. Rupanya tak hanya penjapit yang ia lempar. Tiket konser itu pula. Lengkap sudah penderitaannya.
"Wita... Wita.. Maaf." sembari menggosok kedua telapak tangannya naik turun.
Wita duduk membelakangi Itan dengan menyilangkan kedua tangannya. Menghela napas berat, kemudian berujar penuh kekecewaan.
"Member mana yang kau suka?"
"Tidak ada, Wita.. Percayalah."
"Lisa, Ibu. Kata ayah Lisa mirip mantan pacarnya saat kuliah."
Fahat tertawa terbahak-bahak. "Putrimu memang tidak bisa menjaga rahasia. Perang dunia ke-lima Itan."
Itan mengusap wajahnya kesal. Neisya! Harus diberi pelajaran. Itan sengaja memberi tahu Neisya, Agar putrinya itu dapat membantu mengumpulkan pernak pernik berkaitan dengan Lisa. Bukan malah mengadukannya pada Wita.
"Jadi kau masih mengingat mantan pacarmu saat kuliah?" Wita meringik.
Itan makin kelabakan.
"Tentu saja tidak Wita. Hanya ada Sawita di hatiku."
"Bohong, Wit! Coba cek ponselnya. Pasti masih ada foto mantan pacarnya."
Fahat semakin menyulut api yang sudah terbakar.
"Ponsel!" Wita menegadahkan telapak tangannya. Sedikit menghentakkan ruas-ruas jarinya.
"Ketinggalan."
"Jangan bohong! Kau tidak mungkin meninggalkan istri keduamu itu."
Dengan ragu Itan menyerahkan ponselnya. Wita merampasnya. Lantas mengetuk layar ponsel itu. Tampillah pola sebagai pengunci. Wita terbelalak. Sebelumnya Itan tak pernah mengunci ponselnya.
"Kau?!" Emosi Wita sudah di ubun-ubun. "Tidur saja di ruang tamu," putusnya kemudian pergi meninggalkan tempat.
Itan kebakaran jenggot. Tergopoh-gopoh ia mengekori Wita, masuk ke dalam rumah.
"Jahat sekali kau ini? Kasihan ayah Itan," ujar Hanum sembari memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
Neisya menghentikan tawanya. "Ibu itu pencemburu besar. Sebelum semuanya terlambat, Hanum. Cukup satu orang saja yang hancur di rumah ini. Jangan ada lagi."
Hanum langsung diam. Ia tahu siapa yang sedang dibicarakan.
"Dia tidak pulang?"
"Entahlah. Dia lebih nyaman tinggal di sana, ketimbang harus bertemu denganku."
"Kau masih menyalahkan dirimu. Kejadian itu sudah berlalu dua tahun lalu, Sya."
Neisya mendesah. Kemudian menatap Hanum lekat-lekat. "Andai aku diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu. Aku akan memilih kembali ke saat itu, Num." Titihan air matanya lolos seketika.
Hanum mengusap bahu Neisya mencoba menenangkan.
"Bukan dia yang menghancurkan hidupnya, tapi aku yang menghancurkan hidup wanita itu. Termasuk hidup Kakakku."
"Ada apa, Neisya?"
Hanum menggeser bola matanya. Neisya membalikkan badan. Lantas secepat mungkin menyeka air matanya.
"Ah! Tidak ada apa-apa." Neisya menguntai senyum.
Laki-laki berkaca mata dengan setelan jas kantor itu menyipitkan mata penuh selidik.
"Kau menyalahkan dirimu lagi?!"putusnya. Apalagi yang bisa membuat perempuan seriang Neisya bisa menangis mendadak, jika bukan karena kejadian dua tahun lalu.
Neisya berusaha menepis anggapan Reyhan. Ia menggeleng. Melingkarkan tangannya di lengan lelaki itu, berlaku manja kemudian.
"Apa yang menyebabkan suamiku ini repot-repot datang kemari di tengah jam kerjanya yang sibuk?" Neisya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Piknik keluarga. Jika aku tidak datang. Bisa-bisa ayah mencoret namaku dari daftar menantunya."
"Memang ayah punya berapa menantu?"
Reyhan menarik-narik kerah jasnya congkak. Neisya dan Hanum terkekeh kecil.
"Jangan masuk dulu Kak Reyhan. Di dalam sedang ada perang dunia kelima," terang Hanum.
Dahi laki-laki itu membentuk lipatan. Matanya memicing. Tatapannya di arahkan pada Hanum dan Neisya bergantian.
"Bukan Ayah dan Bundaku. Ayah dan Bundaku baik-baik saja. Mereka masuk ke dalam baru saja."
"Ayah dan Ibu?" tanya Rayhan. Sorot matanya tertuju pada Neisya yang langsung di balas dengan anggukan kepala.
"Tumben?"
"Aku mengadukan pada Ibu kalau ayah akan menonton konser Black Pink."
Rayhan terdiam. Sejurus kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Kasihan, Ayah. Apa salahnya kalau ayah nonton konser. Biarkan saja. Setiap hari ayah harus di sibukkan dengan jibunan berkas kerja. Sekali-kali ayah berhak refresing, Sya."
"Semua laki-laki sama saja. Tidak ada bedanya."
Rayhan mencubit hidung Nesya. "Tidak sama. Karena aku tidak akan tertarik pada perempuan lain selain dirimu."
Nesya tersipu malu. Hanum berdehem tak nyaman.
"Permisi. Di sini ada anak di bawah umur. Mohon jangan cinta cintaan di tempat umum."
"Makanya nikah, Num," ledek Rayhan.
"Eh! Kak Reyhan jangan salah. Setelah lulus kuliah Hanum langsung nikah."
"Sama siapa?"
"Sama Kak Jagat," candanya.
"Jangan ngawur!" sergap Neisya.
Hanum tersenyum kecut. Jagat? Apakah bisa? Tampaknya itu akan jadi hayalannya saja.
***