Chapter 5 - LUAR BIASA

Jax tidak tahu sudah berapa lama ia menatap ke arah pintu yang tertutup setelah kedua petugas kepolisian menunggalkan ruangan rumah sakit dimana ia berada sebelum benar-benar memberitakan malapetaka yang harus ia hadapi.

Bahkan beberpa menit saja terasa seperti beberapa jam di dalam keheningan mematikan di ruangan rumah sakit ini. ia melakukan segalanya dari aktivitas sehari-hari hingga mengisi perutnya dengan makanan rumah sakit yang hambar ditemani dengan setiap pikiran kacau yang melintas di benaknya.

Dari semua pikiran itu, satu ide tertentu ini tidak akan meninggalkan kesadarannya tidak peduli seberapa banyak pun scenario yang disediakan benaknya untuk dipikirkan olehnya.

Lari!

Benar, melarikan diri adalah satu-satunya ide yang bisa disarankan oleh pikirannya yang kacau kepadanya saat ini dan Jax merasa bahwa dirinya bergantung dengan pikiran itu di dalam kepalanya.

Tapi bagaimana? Ia mengalihkan tatapan matanya ke arah tangan kirinya yang terikat dengan besi tempat tidur menggunakan borgol yang terbuat dari besi. Ia kemudian melirik ke arah pintu ruangan rumah sakit ini yang sedikit transparan, dan melihat seorang pria dengan seragam abu-abu berdiri di sana, dengan puggungnya yang terlihat sangat tegap.

Sejujurnya, lari dari ruangan ini sepertinya tidak terlihat terlalu sulit untuk diusahakan jika ia bisa menyingkirkan borgol dari tangannya ini dan menghindar dari seorang petugas polisi itu.

Tapi, seakan dunia sangat kejam untuk mendorongnya ke dalam kematian, seorang dokter yang datang untuk memeriksanya di pagi hari, membuka pintu dan masuk hanya untuk memperlihatkan dua orang polisi lagi yang berdiri tidak jauh dari pintu.

Luar biasa!

Apakah mereka semua berjaga di luar ruangannya untuk memastikan bahwa ia tidak pergi kemana pun?

"Tuan Black?"

Jax mendengar namanya dipanggil dan menoleh ke arah sumber suara itu, baru saat itu ia menyadari bahwa tuan dokter sudah berdiri di sebelah tempat tidurnya, memegang dokumen laporannya.

"Ya," Suara Jax hampir tak bisa terdengar. Namun hal itu sepertinya tidak mengganggu bagi sang dokter.

"Tuan Black, kau sudah sangat baik-baik saja untuk keluar sekarang. Namun kau masih akan merasakan sedikit rasa sakit di bagian lehermu, jika kau menarik luka itu terlalu keras." Sang dokter berkata kepada Jax dengan tenang dan menatap ke arah Jax dengan santai mendorong kacamatanya yang merosot dari batang hidungnya.

"Terima kasih." Jax tidak tahu kata apa lagi yang harus ia ucapkan.

Kemudian sang dokter itu berbalik, kembali berjalan ke arah pintu, tapi tidak meninggalkan ruangan seperti apa yang dipikirkan oleh Jax akan dilakukan oleh dokter itu. malah, ia mengundang seseorang masuk ke dalam ruangan.

Jantung Jax seakan melonjak hingga ke tenggorokan karena rasa takut saat ia melihat petugas polisi yang secara total berjumlah empat orang masuk ke dalam ruangan rumah sakit, menatap ke arahnya dengan tajam dan serius.

Dan dengan yakin, ia segera menyadari bahwa dirinya sudah dikawal keluar dari rumah sakit, dan masuk ke dalam sebuah mobil kepolisian yang disediakan untuk para pelaku kriminal.

Tak lama, ia sudah duduk di sebuah ruangan berbentuk persegi, di atas sebuah kursi dengan sebuah meja di hadapannya. Hanya itu saja! Tidak ada apapun lagi di dalam ruangan ini.

Itu adalah ruangan dengan tiga dinding yang dicat dengan warna abu-abu terang, dan dinding keempatnya menyerupai lantai untuk menyegel dinding kaca dengan sebuah pintu kaca, jika saja kaca itu diwarnai dengan warna hitam, ia tidak akan bisa melihat keluar dari kaca tersebut.

Di ruangan ini bahkan tidak ada satu pun jendela, hanya sebuah ventilasi kecil dan sebuah kipas angin di sebelahnya. Jax menatap ke arah tangannya, yang sekarang diborgol ke sebuah cincin kecil yang tertanam pada meja di hadapannya.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, pintu kaca dari ruangan ini yang sepertinya adalah sebuah ruangan investigasi yang sempit ini dibuka dengan suara decitan yang lembut, akhirnya menarik perhatian Jax yang sejak tadi sedang bertanya-tanya.

Jax menolehkan kepalanya untuk menatap ke arah sumber suara, dan melihat seorang pria yang mengenakan pakaian hitam berjalan dengan sebuah tas hitam di tangannya.

"Namaku adalah Peter Steve," ucap pria itu sebelum ia duduk di satu-satunya kursi kosong yang terletak di seberang Jax di sisi lain dari meja.

Ia membuka tas yang ia pegang, untuk mengeluarkan laptopnya dan beberapa dokumen sebelum merapikan mereka di hadapannya.

Setelah itu, kemudian sang pria mengangkat kepalanya dan menatap ke arah kedua mata Jax yang penuh dengan rasa takut.

"Aku adalah seorang pembela umum yang dipilih oleh pengadilan untuk membela kasusmu." Ia berhenti untuk sejenak. "Tuan Black, sebagai bagian dari protocol, aku bertanggung jawab untuk mengetahui kebenaran sebenarnya atas apapun yang terjadi di dalam apartemenmu, untuk membantumu agar dapat membela dirimu."

Jax mengulangi penjelasan yang sebelumnya telah ia katakan kepada kedua petugas kepolisian sebelumnya saat ia berada di rumah sakit.

Namun, lawan bicaranya tidak dengan secara langsung menjawab dengan cepat. Steve mencoba untuk mempelajari bahan-bahan kasus yang ia kumpulkan selama waktu yang ia butuhkan, sebelum ia mengalihkan perhatiannya kembali kepada Jax dan menjelaskan pendapatnya kepada Jax.

"Jadi, Tuan Black, yang kau katakan adalah kau tidak bersalah dan bahwa kau saat ini sedang dijebak? Tapi semua bukti mengatakan yang sebaliknya, dan demi kepentingan terbaik anda bahwa aku mengatakan ini bahwa kau sebaiknya mempertimbangkan satu kali lagi dan mengatakan kepadaku mengenai kebenarannya." Steve berkata dengan tidak bersemangat.

Dan lagi! Kenapa semua orang datang kepadanya menanyakan kebenaran tapi tidak ada satupun yang mempercayai penjelasan yang ia berikan dan kemudian menyarankannya untuk memikirkan ulang atas pernyataannya? Apakah ia seharusnya memang dengan siap mengakui tanggung jawab atas pembunuhan yang sama sekali tidak ia lakukan?

Saat ini, semua harapan yang ada telah meninggalkan pria muda itu dan membuatnya terperosok di atas kursi, merasa kalah. Ia berpikir bahwa ia setidaknya akan bisa membuat setidaknya satu dari mereka semua percaya kepadanya dengan apapun yang ia katakan adalah benar adanya, tapi kenyataan membuktikan bahwa ia salah.