"Jika kau ingin menang, kau bisa melakukannya dengan cara menggantikanku!" Gadis cantik itu mengucapkannya dengan serius.
"Hah!?" mendengar perkataan dari gadis imut ini, dia pun langsung terkejut seakan-akan tidak percaya. Lalu, dia menatapnya dengan tatapan malas, "Kau tidak sedang bercanda, kan?" lagian siapa yang mau menggantikan pekerjaan seseorang kalau bukan sang ahli dalam bidangnya, pikirnya dengan rasa enggan.
"Tentu saja tidak." Jawab gadis cantik itu dengan serius tanpa berkedip sekalipun.
Kemudian dia yang tidak melihat tatapan keraguan di wajah gadis cantik itu mulai sedikit gelisah, dan tekadnya untuk lomba menggambar desain pun goyah. Mungkinkah gadis cantik ini memiliki kemampuan khusus yang membuatnya bisa seyakin itu saat mengatakan sesuatu pada orang lain? Pikirnya, tapi dia tidak pernah melihat gadis ini memaksa atau bersikap demikian selama ini, karena Olivia yang dia tahu hanya gadis cantik yang baik yang sering menolong semua orang yang kesulitan tanpa mengabaikannya.
Dia mencoba untuk mempercayainya ....
Tapi, dia juga mencoba sedikit untuk meremehkannya, "Ah~ kau membuatku untuk melakukan hal itu karena kamu sekarang merasa kurang sehat, kan? Aku tahu kau melakukan ini agar dirimu tidak tergantikan."
Sifat asli gadis pemalu yang sering berkata pedas itu akhirnya keluar juga.
Olivia kemudian sedikit berterus terang pada dirinya, "Salah satunya itu tapi, bukan itu yang kumaksud di sini."
"…?" Dia menjadi bingung dengan perkataan sang gadis cantik jelita yang terlihat lesu ini.
"Jika kamu merasa tidak sehat, bukankah sebaiknya lapor ke guru sebelumnya? Maka kamu tidak akan–"
Belum sempat dia melanjutkan perkataannya, sang gadis cantik jelita itu memotong perkataannya dengan memasang tatapan serius ke arahnya.
"Sudah tidak ada waktu lagi!" Olivia mencoba untuk mempertegas perkataannya.
Dia pun bertanya-tanya, 'Apa maksudnya hal itu?'
"Kau tahu, aku memiliki deja vu. Hal itu terkadang terjadi saat aku tidur atau sedang bersantai lalu terbayangkan sesuatu, dan apa yang pernah terlihat di ingatanku itu akan terjadi di kemudian hari. Rasanya itu mengerikan apabila tidak segera teratasi. Mungkin kau tidak mempercayaiku, dan ini terdengar seperti kebohongan. Itu tidak masalah sama sekali."
"Kau boleh mempercayaiku, dan boleh tidak mempercayaiku tapi, aku telah melihat bagaimana caranya mengubah dunia yang diinginkan oleh orang lain itu …." Tambahnya sekali lagi, penjelasan singkat Olivia itu membuatnya merinding.
'Mengubah, katanya?' Dia mencoba menelaah perkataan Olivia. Secara nyata, gaya hidup dan kehidupan Olivia dengannya benar-benar bertolak belakang dengannya.
Dia menghela napasnya sejenak guna untuk menenangkan dirinya. Dia juga sempat bingung dengan perkataan gadis cantik itu. Apakah mempercayainya hal yang tepat? Ataukah itu hanya kebohongan belaka?
"…."
Namun, semenjak Olivia berkata seperti menjanjikan sebuah kemenangan pada dirinya itu, dia benar-benar ingin mempercayainya dari lubuk hati paling dalam.
Dia memejamkan matanya sejenak dan beralih memandang ke samping, ke jendela bus yang tengah melaju kencang ini.
Lalu dia membuat keputusan, dan menoleh ke arah Olivia lagi setelah memantapkan keputusannya, "Aku akan mempercayaimu, aku bersedia untuk menggantikanmu."
Dia fokus pada perkataan Olivia yang bilang 'Mengubah dunia' itu.
Dia tinggal di dunia berbeda dengan Olivia, dan Olivia mengetahui kehidupannya yang tidak biasa. Namun, dia belum pernah tahu hidup Olivia sebenarnya tapi, Olivia berniat mengubah dirinya.
'Apa itu benar-benar satu-satunya cara yang bisa mengubah hidupku?' melalui Olivia ….
"…!!" Olivia yang telah mendengar keputusan bulatnya itu tersenyum tipis dengan rasa begitu lega. Selama ini dia belum pernah menceritakan dirinya yang memiliki deja vu, dan selama ini … dia belum pernah bisa mengubah apa pun. Yang ada adalah semua berjalan apa adanya tanpa ada perubahan apa pun.
"Tapi, jika aku benar-benar bisa mendapatkan juara, kau harus menceritakan padaku suatu saat nanti! Pasti ada alasan di balik semua ini, kan?" ucapnya dengan sedikit ragu.
"Ya, pasti." Jawab Olivia dengan nada lembutnya.
Ketika mereka berdua sepakat dengan rasa tulusnya, mereka mencoba untuk berjabat tangan sambil tersenyum tipis.
Tapi, saat dia menjabat tangan Olivia, dia merasa gadis cantik ini sangat lemas ….
"Olivia, kamu–"
Olivia yang merasa dikhawatirkan olehnya ini segera melepaskan tangannya dari genggaman tangannya, kemudian dia menyibukkan dirinya untuk mencari selembaran puisi di dalam tas lalu memberikan padanya.
"Ini …!!" dia menyodorkannya dengan sungguh-sungguh. "Kau bisa menghafalkannya dari sekarang! Aku yakin kau bisa melakukannya, karena lombanya ini sangat mudah." Dia juga memberinya saran sekaligus memberinya dukungan yang nyata.
Di balik selembaran puisi yang telah gadis cantik jelita itu tulis, ada selembaran lagi yang berisi makna dari puisi yang telah dituliskan tersebut.
Dia mencoba membaca dan memahami puisi itu berdasarkan saran Olivia, kata Olivia lomba ini sangat mudah. Tapi, bagi dirinya yang baru mengikuti lomba mewakili sekolah itu merasa ini adalah lomba dengan penuh perjuangan yang sulit.
"…."
Beberapa menit kemudian, dia terhanyut pada kalimat-kalimat dalam puisi yang telah Olivia tulis. Gaya bahasanya, pemaparannya, serta penyampaiannya, "Ini …." Membuat dirinya terpukau dan dia merasa gadis cantik jelita sudah setingkat orang professional.
Kini dia sudah tidak meragukan Olivia lagi.
Olivia yang tampak tidak sehat itu benar-benar sengaja untuk tidak memberitahu kondisinya pada guru, dan yang dia lalukan malah meminta temannya untuk menggantikannya terlebih lagi dia punya alasan kuat tersendiri akan hal itu.
"Olivia menyuruhku menghafalkan ini …?" Dia mengatakannya dalam hati dan kali ini dia bersungguh-sungguh untuk melakukannya, 'Apa aku benar-benar bisa?'
"…."
"Bagaimana kau bersedia?" Tanya Olivia untuk memastikannya sekali lagi.
"Ya, tapi … aku benar-benar bisa melakukannya, kan? Dan apakah lombanya nanti benar-benar mudah?" tanyanya sambil memasang muka cemas.
"Ya, aku jamin itu sangat mudah. Jangan khawatir! Apabila kau sudah menghafalnya maka kau tinggal menuliskannya lalu menjelaskan makna puisi tersebut. Lalu, kamu pasti menang." Jelasnya dengan begitu optimis.
'Oh, kedengarannya sangat gampang apabila dia yang mengatakannya.'
Namun, tak lama setelah berbincang-bincang sejenak, mata Olivia yang lesu itu mulai terkatup-katup dan dia telihat berkeringat dingin dengan wajah begitu pucatnya.
"Olivia …." Kini dia menjadi sangat mengkhawatirkan kondisi sang gadis puisi yang cantik jelita itu.
"Tidakkah sebaiknya kamu melaporkan dirimu ke guru saja, dan nanti kamu menujukku sebagai pengganti–"
Belum sempat dia mengatakan pendapatnya, Olivia segera memotong perkataannya, "Tidak! Lebih tepatnya jangan sekarang!"
"Kapan?" dia menatap Olivia dengan cemas.
Olivia pun mulai menutup matanya dan dia mencoba untuk menyentuh kening Olivia, "Permisi …." Eh!? "Panas!!" sudah pasti dia merasa sangat sakit.
Beberapa menit kemudian, lokasi tujuan pun mulai terlihat dan bus merperlahan lajunya.
Kini mereka sampai ke medan perang yang sesungguhnya.
"Sudah tidak ada waktu lagi," gumam Olivia dengan nada lirih.
"Kuserahkan padamu, Cynthia …."
________
To be Continued