Chereads / Aku istrimu Mas!!! / Chapter 14 - Bekal Makan Siang

Chapter 14 - Bekal Makan Siang

2 minggu kemudian

Setelah beberapa jam menguras otak di dalam ruangan tes, aku keluar bersama beberapa peserta lainnya karena sudah selesai.

"Nanti kalau lulus kita sama-sama ya? Maksudku kita usahakan sekelas," seru Santi yang berjalan di sampingku.

Hari ini tanpa sepengetahuan Kai, aku diam-diam mengikuti tes mandiri untuk melanjutkan studi s2-ku sebagai mahasiswa ekonomi. Aku bangun jam 5 pagi untuk beres-beres dan menyiapkan semua keperluan Kai sehingga ketika pria itu bangun dia akan mandi, berganti, lalu sarapan pagi dan berangkat kerja.

Seharusnya seperti biasa aku menemaninya di meja makan. Ah, sudahlah. Lagian dia juga tidak peduli. Dia bahkan tak bertanya kemana aku akan pergi tadi pagi.

"El apaan sih?! Sibuk banget?" seru Santi melirikku yang sibuk dengan ponsel. Aku tahu santi sedang melirik layar ponselku yang sedang mengirim pesan kepada Kai.

"Kamu cinta banget ya sama suami kamu itu hingga dilukai pun kamu tetap kekeh!"

"Yakan dia suamiku," Aku menyahuti dengan yakin.

"Tapikan dia itu berani main 2 di belakang kamu, El."

"Suatu saat dia pasti berubah," tuturku tanpa pikir panjang. Aku tahu Kai bukan suami yang baik. Tapi sebagai istri tak pantas bagiku menjelekkan Kai di depan sahabatku.Lagian selama menikah Kai tak pernah main tangan. Dia... hanya tak mencintaiku.

"Ia tapi setelah semua mentalmu terkuras dan saat itu aku yakin kau takkan bisa berbuat apa-apa lagi, El." Santi mencolos geram. Sebagai sahabat ia hanya ingin aku mendapatkan kehidupan yang lebih baik dalam pernikahanku.

"Sudah lah, San. Daripada ngomel alangkah sebaiknya kita makan."

Aku segera menarik tangan Santi dan mengajaknya menguji restoran terdekat yang berada tak jauh dari Universitas.

Kami lalu masuk ke dalam bersama-sama dan duduk di salah-satu meja. aku menatap Santi yang sedikit mereda kemarahannya mungkin karena diajak makan hingga kemarahannya reda.

Aku memesan sifood sedangkan Santi memesan pasta. Untuk minumnya sama-sama ice tea.

Kami duduk sambil menunggu pesanan. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri kami yang ternyata adalah seorang pria.

"Hai, ketemu kalian berdua disini."

"Eh, Pak Dave!" ucap Santi sembari berdiri.

Aku yang sedang duduk termenung mendongkak dan menatap pria yang berdiri di hadapanku.

Seorang pria berpose tegap mengenakan kemeja berwana putih berdiri di depanku. Aku yakin Wanita manapun pasti akan terpesona melihat dirinya. Namun sedang apa dia disini?

"Dave..." seruku sedikit tertahan, tak menyangka bisa bertemu Deva disini. Sudah sebulan sejak pertemuan kami di terminal bus baru sekarang aku kembali melihatnya.

Aku menatap Santi yang mempersilahkan Dave dengan sopan. Sikap Santi kepada seakan mereka sudah saling kenal sejak lama.

"Kamu mengenalnya?" tanyaku kepada Santi yang telah kembali duduk.

"Siapa sih yang tidak mengenalnya. Asal sepengetahuan kamu aja nih, El. Pak Dave ini sebenarnya adalah dosen di Universitas M, dan beliau juga merupakan peserta yang mengikuti tes tadi loh!"

"Oh ya? Kok aku gak tau?" Aku kembali menatap Dave yang seperti biasa selalu memasang wajah manis dengan senyum ciri khas. Namun entah mengapa kali ini ku rasa senyumannya agak berbeda.

"Ya itu karena kamu terlalu fokus saat ujian tadi. Aku melihat Pak Dave beberapa kali mencuri pandang ke arahmu namun kau sama sekali tidak membalasnya."

"Oh begitu. Maaf ya," seruku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. Santi benar-benar... padahal tadinya aku biasa saja dengan Dave.

Aku ingin menanyakan aktifkan muncaknya, namun perkataan Santi malah membuatku canggung dengan Dave.

Yang aku tahu Dave sangat perhatian padaku. Lagian pria sempurna sepertinya mana mungkin menyukai diriku yang pasa-passan ini.

"Gakpapa, kok. Tak masalah," ucap Dave sambil tersenyum. Perkataannya memecahkan ketegangan yang sempat terjadi.

"Kalian mau makan apa biar aku yang traktir?" Tawar Dave kepada kami dan aku segera menggeleng.

"Eh gak usah... " Seruku ingin menolak. Namun secepat kilat Santi malah menyetujuinya.

"Benarkah? Wah Terima kasih, Pak Dave! Pak Dave sudah repot-repot, kami tidak akan menolak rejeki dari pak Dave!" serunya dengan riang.

Aku melirik Santi yang malah menghindari tatapan mataku. Mau tak mau aku terpaksa menyetujuinya.

Aku menatap Dave yang sedang memilih-milih menu makanan. Aku tak membalas pesan dan telepon darinya. Apa dia marah?

Karena makan telah datang aku memilih tak memikirkannya dan mencicipi makan dengan tenang sedangkan Santi terus mengajak Dave untuk mengobrol.

Mungkin karena lapar aku menghabiskan makanannya dengan cepat.

"Kalian mengobrollah aku akan ke toilet," ucapku sembari berdiri dan segera pergi menuju toilet

Aku tahu sepanjang melangkah tatapan mata Dave terus tertuju padaku.

Sesampainya di toilet aku segera membasuh wajah lalu mengecek SMS yang ternyata belum dibalas oleh mas Kai. Apakah mas Kai sedang sibuk? Kenapa dia belum membalas sms-ku?

Aku berencana membeli makanan di restoran dan membawanya ke kantor Kai. Namun pria itu belum membalas pesanku juga.

Ketika aku membuka pesan dari nomor lain, tatapan mataku menjadi layu. Desahan ku keluarkan perlahan. Berjejer puluhan pesan dari keluargaku dan juga ibuku yang lagi-lagi meminta dipinjamkan uang.

Aku merasa sedih. Mereka selalu mencariku ketika genting, padahal aku tak pernah merepotkan mereka.

"Halo bu ada apa?" ucapku ketika panggilan dengan ibu tersambung. Sebisa mungkin ku siapkam kuping, aku tahu apa yang akan dikatakan ibu.

"El, malam ini ke rumah ya. Makan malam sekaligus ajak suamimu!" ucap Miranda–ibuku.

Aku menghembuskan nafas kasar. Benar dugaanku mama menelepon dan mengharapkan hal yang aku mustahil dilakukan. "Maaf, ma. Ella gak bisa."

Aku bisa mendengar desahan kesal milik mama yang kembali membuatku sedih.

"Kamu itu tak bisa terus. Kapan kamu bisa? Sampai papa dan mama mati? Sampai kuburan kami berdebu kamu baru mengajak suamimu datang kesini?!"

Aku menghapus air mata yang mengalir tanpa kehendakku. Tega sekali mama mengatakan hal ini. Biar bagaimanapun aku adalah anaknya. Darah dagingnya. Tapi dia selalu pilih kasih kepada Kak Afgan dan Kak Mutia, membuatku merasa sebagai anak pungut.

Sejak dulu aku selalu kekurangan kasih sayang mama. Kasih sayangnya hanya diberikan kepada kedua kakakku saja. Aku selalu menjadi batu loncatan terhadap kesalahan yang mereka perbuat sesuai saran mama.

Aku hanya berharap suatu saat perlakuan mama kepadaku berubah.

"Al apa kau dengar mama?"

"Aku dengar mah. Tapi ma aku... "

"Tak ada tapi-tapi. Kamu jangan tidak tahun diri kamu, El. Kamu bisa sukses sampai sekarang karena keluarga kamu. Kamu pikir tanpa kami kamu bisa jadi ratu di rumah itu," serang mama membuatku terdiam.

Aku memang tak pernah menang berdebat dengan mama.

"Mama gak mau tahu. Malam ini juga kau harus datang bersama suamimu. Jika tidak jangan anggap kami sebagai orang tuamu."

Aku menghembuskan nafas berat. Mama selalu seperti ini. Aku sih mau-mau saja datang ke rumah, namun keluargaku hanya mementingkan Kai. Ada tidak adanya aku itu sama sekali tak penting.

Aku segera menulis pesan kepada Santi dan mengatakan bahwa aku harus pergi karena urusan mendadak.

Aku pun segera menuju basemen dan menaiki mobil. Mobil Lamborghini ini adalah pemberian almarhum papaku dan merupakan satu-satunya barang yang tersisa.

Aku tahu kemungkinan besar ditolak, namun aku akan tetap mencoba membujuknya.