Mata tajam mas Kai menatapku dingin. Bisa ku lihat kebencian dari matanya. Entah kesalahan apa yang telah ku perbuat. Namun aku hanya bisa diam dan menunduk.
"Aku akan memberikan semua kemauanmu termaksud 30 persen saham perusahaan asalkan kau mau berpisah denganku."
Jantungku serasa mau copot dari tempatnya. Sudut mataku telah berdesakkan air mata yang siap meluncur. Aku tak mau menangis di depan Mas Kai.
"Jahat kau, Mas!" Aku menggeleng dengan kuat dan segera berlari meninggal mas Kai.
Kai menatap kepergianku dan diam hanya diam.
Di lobby aku menyeka sudut bibirku. Sentuhan bibir kami bahkan masih terasa namun dia sungguh tega mengatakan hal menyakitkan tadi.
Entah apa kesalahanku. Aku berpikir mungkin keputusan menjadi istrinya adalah dosa terbesar sehingga dia bersikap begini padaku.
"El!" ucap seseorang membuatku menghentikan aksi lari-lariku.
Aku berbalik menatap seorang pria yang berada di basemen.
"Dave!" seruku menahan getaran. Aku segera menghapus air mataku jangan sampai Dave melihat aku sedang menangis.
Aku hanya diam menatap Dave yang melangkah ke arahku. Hingga pria itu berhenti di hadapanku rasanya aku tak kuasa lagi. Tubuhku berhamburan memeluknya.
Namun tak lama kemudian segera ku lepaskan pelukanku dan mengambil beberapa langkah darinya.
"Ada apa? Kau menangis?" tanya Dave dengan prihatin. Sikapku membuatnya menjadi berhati-hati agar tidak terlalu mendekatiku.
Aku menggeleng dan memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja "Dimana Santi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Kami berpisah di restoran. Katanya kamu memiliki urusan mendadak."
Dave menatapku yang hanya diam. Sejujurnya aku hanya ingin segera pergi darisini. Aku mengangguk dan berbalik
ingin pergi namun Dave menahanku.
"El, apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengatakan sesuatu," ucapnya. Aku bisa melihat keseriusan di wajahnya.
"Katakan saja aku menunggu," seruku penasaran sembari melepaskan tangan Dave.
Ku perhatikan Dave menjadi sedikit gugup. Selama mengenalnya aku tak pernah melihatnya seperti ini. Hembusan nafasnya bahkan menjadi tak teratur.
Aku terkejut ketika Dave menggenggam kedua tanganku. Aku sedikit enggan melepaskannya dan memutuskan tuk menunggu.
Dave mengeluarkan sebuah kotak persegi berbentuk love lalu membukanya. Aku terkejut menatap sebuab cincin berlian hingga refleks menghempaskan tangannya.
"Apa maksudnya ini?!" Ku tatap Dave yang juga terlihat gugup sama sepertiku.
Aku menghindari tangan Dave namun dia tetap menggenggam tanganku dan berkata, "Aku tahu sikapku mungkin tak benar. Tapi El, aku tak tega dan tak tahan melihatmu selalu menderita," ujarnya.
Aku terpenjat mendengar perkataan Dave. Apa yang sedang dia katakan. Aku sama sekali tak mengerti.
"Mulai sekarang aku ingin hidup bersamamu, El. Aku ingin membahagiakanmu. Menikahlah denganku dan tinggalkan suamimu yang tak bertanggung jawab itu," ucap Dave.
Aku terkejut dan langsung melepaskan tangan Dave. Segera ku putar otakku untuk mencerna perkataan yang barusan dikatakan Dave. Dalam satu waktu 2 pria telah mengatakan perkataan yang mengejutkan.
Otakku berputar, aku tak tahu harus berbuat apa.
"Apa Santi yang mengatakan padamu," seruku setelah beberapa saat terdiam.
Dave hanya diam. Aku tahu Santi-lah yang menceritakan semuanya kepada Dave. Namun kenapa dia menceritakannya? Aku harus bertemu Santi untuk membahas hal ini.
Ku tatap Dave yang terlihat sedih. Sikapku kepadanya pasti telah membuatnya patah hati. Apa yang harus ku lakukan. Ini sama sekali tak benar.
Dave mendekatiku dan memakaikan cincin di jariku. Ku lihat senyum manis di wajahnya yang terlihat menyejukkan namun aku tahu itu bohong.
"Aku akan menunggumu meninggalkan pria sialan itu," ucap Dave berbalik dan pergi memasuki perusahaan Adm corp.
Aku menatap kepergian Dave. Bisa ku lihat sirat kebencian di matanya ketika mengungkit suamiku.
Entah apa yang dilakukan Dave di perusahaan Kai. Otakku rasanya akan pecah. Aku segera memutar badan dan pergi darisana menggunakan mobil.
Saat ini aku perlu menenangkan diri.
Aku terus menjalankan mobil tanpa tujuan hingga berhenti di persimpangan dan menangis.
Aku tak mau menangis di depan orang lain dan menujukkan sisiku yang lemah ini. Ku pukul dadaku yang terasa sesak dan sakit.
Puluhan panggilan dan SMS dari ibu dan kakak-kakaku tak ku pedulikan. Aku segera menscrol dan memasuki aplikasi berlogo pink. Segera ku ketik nama kedua pria yang berhasil menghujam hariku, Kaian Haris Buhran dan Daveian Madop ternyata adalah rekan. Keduanya terlihat sangat akrab di foto.
Aku menutup mulutku lantaran terkejut.
Dengan rasa takut yang menghantui segera ku putar mobil kembali ke perusahaaan.
***
Beberapa menit kemudian
Aku terbaring di ranjang dan menatap surat dan barisan kalimat di ponsel yang berisikan sebuah pesan 1 setengah tahun lalu yang dikirim oleh mas Kai.
Di dalam SMS itu membahahas kontrak pernikahan antara aku dan mas Kai. Dan di dalam amplop ini adalah surat kontrak pernikahan, mas Kai juga memiliki 1 yang sama.
Dering serta notif yang masuk di ponsel tak ku pedulikan. Aku baru mengaktifkannya dan itu pasti pesan dari mama dan kedua kakakku.
Rasanya aku ingin menangis dan berteriak kepada pria itu dan mengeluhkan segala isi hatiku.
Belum dengan yang ku lihat di perusahaan tadi. Kai dan Dave bukan sekedar rekan namun teman dekat.
Aku takut hubungan mereka renggang karena diriku.
Ponselku sejak tadi terus bergetar. Segera ku raih benda pipih itu dan menerima panggilan mama.
"Sialan kenapa lama sekali kau menerima telepon mama?!" Saat ini aku benar-benar mengharapkan dukungan, namun yang ku dapatkan malah makian dari mama.
"Maaf, ma. Aku ketiduran," sahutku lemah.
"Ssttt mama gak peduli. Mama udah masak banyak, keluarin uang dan tenaga, mama lelah kamu malah engkeh-engkeh tiduran."
Ku hembuskan nafas berat. Mama yang terlalu bersemangat seperti ini ku takut dia akan kecewa.
"Seh lupakan. Sekarang katakan kamu mendapatkan uangnya kan."
Aku melirik notif mbanking di atas layar ponselku dengan total 250.000.000 jt yang baru dikirim oleh sekretaris mas Kai 15 menit lalu.
"Ada, mah," ucapku. Aku bisa mendengar seruan mama yang terdengar puas.
"Cepatlah datang. Mama tunggu di rumah," ucap mama yang langsung mematikan telepon secara sepihak tanpa mendengar jawabanku.
Aku menghembuskan nafas berat. Sebisa mungkin ku tepiskan rasa kecewa ke mama.
Kapan pulang, Mas? tulisku dan ku kirim pada mas Kai. Aku menunggu namun mas Kai mesin belum membalasnya.
'Aku akan ke rumah mama. Terserah mas mau datang atau tidak.'
Karena belum dibalas oleh mas Kai aku pun memutuskan untuk bersiap-siap untuk pergi ke kediaman mama.
Setelah siap aku segera ke depan dan meluncur menggunakan taksi yang ku pesan. Sebenarnya Aku ingin menggunakan mobill pemberian almarhum papa, tapi mama pasti marah jika tahu mobil itu masih bersamaku dan tidak ku jual.