Chereads / Aku istrimu Mas!!! / Chapter 17 - Keluarga Linta

Chapter 17 - Keluarga Linta

Sesampainya di kediaman mama. Aku segera berjalan memasuki halaman rumah.

Aku menuju ke ruang tamu dan benar dugaanku semuanya sedang menungguku.

Ku lihat raut mereka berubah, terutama mama yang melihat aku hanya sendiri.

"Hei dimana kakak ipar!" teriak Kak Mutia di meja makan.

Aku tak mempedulikannya tetap berjalan karena ingin segera duduk. Rasanya tubuhku letih dan lelah namun mama menghalangiku.

"Dimana menantuku?" tanya mama dengan sengit. Bisa ku tebak selanjutnya mama akan marah lagi.

"Maaf, mah. Mas Kai sedang kerja dia gak bisa datang."

Mama mencelos dan berdecak di depanku, matanya remeh menatapku. "Kerja atau kamu yang gak becus jadi istri. Masa bujuk suami aja gak bisa. 3 tahun menikah baru sekali dia ke rumah kita, dan itu udah 2 setengah tahun lalu."

Aku mencelos mendengar perkataan mama. Ya, benar. Mas Kai kesini 2 setengah tahun lalu dan itu menjadi pengalaman memalukan yang tak terlupakan di ingatanku ketika mama menggadai-gadaikanku seperti barang padahal sudah diberi 1 M sebagai mahar.

Aku pikir waktu dapat membuat mama berubah, ternyata dia tetap mata duitan.

Aku menatap mama bertongkat tangan di depanku bersiap-siap memarahiku lagi.

"Sudahlah, mah. Itu gak penting," ucap Afgan berjalan mendekati aku dan mama.

"Dek apa kau membawa uangannya?" Aku menatap Kak Afgan. Umurnya mungkin lebih tua dariku, namun dia samasekali belum dewasa.

Aku menggangguk dan melirik wajah mama yang sedikit membaik ketika Afgan menyinggung uang.

"Sudah ku transfer ke rekening mama."

"Oh ya. Sudah bisa dicairkan dong," ucapnya dengan bersemangat kemudian mencium tanganku.

"Terima kasih banyak adikku yang manis. Kamu sangat berguna tidak seperti yang satu itu."

Aku hanya diam memperhatikan Mutia yang terlihat kesal.

Aku menatap mama bertongkat tangan di depanku bersiap-siap memarahiku lagi.

"Sudahlah, mah. Itu gak penting," ucap Afgan berjalan mendekati aku dan mama.

"Dek apa kau membawa uangannya?" Aku menatap Kak Afgan. Umurnya mungkin lebih tua dariku, namun dia samasekali belum dewasa.

Aku menggangguk dan melirik wajah mama yang sedikit membaik ketika Afgan menyinggung uang.

Ku keluarkan uang dan memberikannya kepada Afgan yang tergiur menerimanya.

Afgan dengan bersemangat mencium tanganku.

"Terima kasih banyak adikku yang manis. Kamu sangat berguna tidak seperti yang satu itu."

Aku hanya diam memperhatikan Mutia yang terlihat kesal.

"Seharian mama pontang-panting di dapur seharusnya kau membantu mama. Tangan mama sampai luka teriris pisau."

Aku yang khawatir menyentuh tangan mama ingin mengeceknya. Namun dengan kasar mama menghempaskan tanganku.

"Aku gak bisa datang. Tapi apakah kak Mutia gak bantu mama?" tanyaku prihatin sedikit melirik ke arah kakak perempuanku.

Mutia melipat tangan di dada dan berkata, "Aku sibuk dengan urusanku. Seharusnya kamu bantu mama. Kamu telah menjadi nyonya dan enak-enakkan di rumah itu, sedangkan kami 'Menderita!" jawab Mutia tak mau kalah.

"Seharusnya kau tau diri, transfer uang belanja tiap bulan!" tuntutnya lagi. Aku melihat kakaku itu menjadi tak tahu diri.

"Benar tuh, dek," timpal kak Afgan.

Mama segera merampas uang di tangan Kak Afgan membuat pria itu mencelos.

Dengan sedih ku perhatikan mama sedang menghitung uang di dalam amplot. Mama yang mata duitan, teknik mengitungnya bahkan lebih cepat dari karyawan bank.

Ku lihat wajah mama menjadi masam ketika selesai menghitung uang. "Hanya ini?" Mama terlihat tidak puas.

Aku hanya diam bahkan tak menggaguk. Rasanya aku jengah dengan sikap mereka yang seperti lintah. Namun aku tak mungkin mengkhianati hubungan darah. Mereka kelurgaku.

Kadang aku bertanya-tanya mungkin sikapku mirip dengan almarhum papa, sedangkan kak Afgan dan Mutia mewarisi sikap mama. Kami bagai air dan minyak yang tak dapat bersatu.

"Kau seharusnya minta lebih untuk mama."

"Mas Kai gak bakal kasih," ucapku sebisa mungkin menahan kesal di dada. Sebenarnya tiap bulan aku selalu mentransfer 80℅ gajiku untuk mama, namun sepertinya gajiku terlalu sedikit untuk mereka yang terlalu royal. Aku harus memaklumi sikap mama yang sudah gak bisa diubah. Kerja kerasku tak pernah dihargai. Suatu saat aku akan lepas tangan jika mereka kembali meminta lagi.

"Masa? Kamu aja yang pelit." Mama mengibas-ngibas uang di tangannya dan berjalan hendak menaiki tangga.

"Kamu makananlah, mama ke kamar dulu!"

"Aku ikut, ma!" ucap Kak Mutia.

"Aku juga!" ucap Kak Afgan.

Aku memandang ketiganya dan menghembuskan nafas berat. Kemudian duduk di kursi. Saat itu aku baru sadar bahwa ada seseorang yang hanya diam dan menjadi penonton sejak tadi. Dia adalah ayah tiriku.

Namanya Karil, dan dia 10 tahun lebih muda dari mama. Umurnya 27 tahun saat menikah dengan mama dan sekarang sudah kepala 3 dan dia masih terlihat muda. Aku tak begitu akrab dengannya karena ku rasa pria ini hanya memanfaatkan mamaku saja.

Aku duduk dan menyantap masakan mama dengan tenang. Sedikitpun tak ku lirik pria di depanku.

Usai makan aku segera ke kamar untuk berpamitan dengan mama dan kedua kakakku yang sedang menghitung bagian mereka masing-masing.

Sedih sekali melihatnya. Dalam hati ku berdoa semoga mereka segera mendapat hidayah.

Aku berjalan keluar dari kediaman mama dan menuju jalan. Saat hendak memesan taksi mataku tertuju ke arah sebuah mobil yang mirip dengan mobil Mas Kai.

Aku melangkah mendekati mobil tersebut dan ternyata benar itu adalah mas Kai. Mas Kai duduk di kursi belakang kemudi. Jadi dia benar-benar datang.

"Sejak kapan Mas disini?" tanyanku penasaran. Kenapa Mas Kai tidak masuk jika datang.

"Sejak tadi," sahut Mas Kai.

"Gak masuk ke dalam dulu, mas?" tanyaku hati-hati.

Mas Kai menggeleng dan tak mengatakan apapun. Aku meraih handel pintu mobil namun sepertinya pintunya dikunci dari dalam.

"Cepatan masuk kita kembali ke rumah," ucap Mas Kai dengan nada perintah.

"Aku mau masuk mas tapi pintunya sepertinya dikunci," jawabku membuat Mas Kai yang tadinya memejamkan mata terbangun.

"Kenapa pintunya dikunci Pak Ser?" ku perhatian Mas Kai yang sedang bertanya kepada supir pribadinya.

"Anu Tuan Kai, Tuan sendiri yang memerintah agar dikunci supaya nona Ella berdiri di luar."

Aku terpenjat mendengar penutaran Pak Ser.

"Oh, sekarng buka pintunya," ucap Kai dengan santai.

Setelah itu aku baru bisa masuk dan duduk di sebelah Kai. Aku menatap Kai yang kembali memejamkan mata. Dalam keadaan tidur alisnya terlihat berkedut. Sepertinya hari ini dia sangat lelah.

Mobil pun berjalan meninggalkan kediaman keluargaku. Seperti biasa sepanjang perjalanan hanya keheningan yang terjadi.

Sekilas Aku menyadari mas Kai sedang menatapku. Tatapannya saat ini sangat tajam membuat nyaliku mencuit hingga tenggorokanku terasa kering. Kenapa dia menatapku seperti itu. Tidak, bukan aku. Melainkan cincin yang tersemat di jari manisku.

Segera ku tutup tanganku. Tentunya tanpa menambah kecurigaannya ku lirik mas Kai yang mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Aku lupa melepaskan cincin ini. Benar-benar ceroboh.