Setelah beberapa menit mengendarai mobil akhirinya sampai juga di perusahaan Adm gorp, aku segera memarkirkan mobil di basement dan segera masuk ke dalam perusahaan.
Saat melewati lobby beberapa orang sedang memerhatikanku, mungkin wajahku sudah tak asing karena beberapa kali berkunjung.
Aku juga membawa kotak makan siang untuk mas Kai.
Segera ku naiki lift lalu berhenti di lantai 7 dan berjalan menuju pintu ruangan yang di atasnya tertulis tulisan viip direktur.
Sambil berusaha mensterilkan pikran ku raih handel pintu namun suara seseorang menghentikanku.
"Maaf anda siapa? Saat ini direktur sedang bersama nona Mawar dan tidak boleh diganggu, sebaiknya anda pergi," ucap seorang wanita membuatku terdiam.
"Ma-mawar... " gumamku lirih. Mawar disini?
"Iya bu Mawar bersama direktur di dalam."
Aku meneguk saliva karena merasa tenggorokanku mendadak kering.
"Apa aku boleh masuk?"
Ku lihat wajah wanita itu berkerut. "Apa nona sudah membuat janji dengan direktur?"
Aku terdiam mendengarnya. Biasanya aku langsung masuk tanpa membuat janji apapun. Lagian aku adalah istri Kai. Apakah aku perlu janji? Meksipun terkadang harus menunggu di ruang tunggu, namun aku tahu saat ini adalah jam makan siang Kai.
Mawar juga berada di dalam. Aku sangat penasaran dengan sosoknya dan aku ingin melihatnya sekarang juga.
Namun entah mengapa mendadak aku tidak memiliki keberanian dan menjadi tidak percaya diri.
Mengingat janjiku pada mama, mau tak mau aku harus tetap masuk.
"Saya adalah babu di kediaman Tuan Kai. saya kemari untuk membawa bekal makan siangnya?" ucapku membuat wanita di depanku menyinggung senyum remeh.
Selama ini aku memang tak pernah mengatakan bahwa aku adalah istri Kai. Selain pada temanku, Santi.
Wanita itu menatapku dengan seksama dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dia mungkin berpikir aku sedang membual karena penampilanku yang terkesan formal.
"Akhir-akhir ini banyak yang mengaku sebagai kekasih dan istri direktur. Kali ini apa aku harus mempercayaimu? Jangan-jangan kau hanya berpura-pura sebagai babu untuk mendekati direktur. Dan setahuku biasanya direktur memesan makanan restoran bintang 5 bukan makanan rumahan," ucapnya dengan percaya diri.
Tatapan curiga yang dia berikan kepadaku benar-benar membuatku tak nyaman. Wanita ini tidak tahu sudah sebulan direktur mereka mencicipi masakanku.
"Merry, kenapa kau tak mengizinkan istri direktur masuk," ucap seorang pria yang entah kapan berdiri di dekat Ella.
Aku menatapnya lalu mengeryit.
"Tuan muda Hero!" Wanita itu terlihat terkejut dengan keberadaan pria itu.
Wanita yang dipanggil sebagai Merry membungkuk kepadaku. Dia menjadi segan sekarang.
"Maaf saya benar-benar tidak tahu. Maaf atas kecerobohan saya!" ucapnya sembari membungkuk.
"Iya gapapa," ucapku memaafkan.
Hero mendekati wanita itu. "Lain kali jangan ceroboh lagi," serangnya membuat wanita itu kembali membungkuk padaku.
Aku melirik sekilas ke arah Hero. Pria ini paling suka memanfaatkan situasi.
Setelah itu wanita yang bernama Merry segera berlalu menuju ruanganya sendiri. Dia pasti menyesal sekarang.
Aku menatap Hero dan berterima kasih kepadanya. "Terima kasih," ucapku ringan dan dia tersenyum padaku lalu berbalik untuk pergi.
"Kau... tidak masuk?" tanyaku. Bukankah dia ingin bertemu Kai.
"Tadinya sih iya. Tapi mendadakku batalkan."
Aku tak membalas dan membiarkan dia pergi. Dengan keberanian sekecil padi aku pun mulai membukakan pintu dan saat itu tatapan mata dua orang yang berada di dalam ruangan langsung tertuju padaku.
Ku perhatikan tatapan dingin Kai dan kemudian menunduk. Wanita di dekatnya begitu cantik. Sangat cantik hingga membuatku insecure. Apa dia Mawar?
Beberapa saat tak ada yang berbicara. Kami bertiga saling menatap dan diam dalam pemikiran masing-masing.
Aku tahu Mas Kai pasti terganggu dengan keberadaanku. Dia pasti kesal aku datang. Namun sampai sini aku juga gak mungkin balik kan.
Aku bagaikan istri yang sedang memergoki suami bersama selingkuhannya. Mawar memandangku dengan tatapan yang sulit ku artikan. Namun bisa ku tebak dia juga menunggu pertemuan ini.
"Aku... bawa makan siang, mas!" ucapku menahan rasa gugup. Aku gak boleh gugup di depan wanita simpanan suamiku. Sebisa mungkin aku akan bersikap biasa saja.
Bagaimanapun dia sangat cantik, penampilannya elegan, dan gayanya berkelas. Berbeda jauh denganku yang sederhana dan biasa-biasa saja. Namun dia hanyalah simpanan sedangkan aku adalah istri sah mas Kai di mata hukum dan agama.
Aku berjalan mendekati mas Kai yang terus menatapku dengan tajam. Tatapan matanya yang dingin membuatku ingin menangis.
Dengan penuh percaya diri ku tata makanan di meja lalu memasukkan nasi serta lauk ke dalam piring mas Kai. Semuanya ku lakukan dengan telaten. Namun saat ingin menuangkan saus ke dalam piring, serentak tangan wanita itu menghentikanku.
"Maaf. Tapi abang gak biasa dengan makanan kotak. Ini makanan rumahan, kan?" ucap Mawar dengan lembut.
Aku menggigit sudut bibir mendengar panggilannya kepada mas Kai. Ku tatap Mas Kai yang hanya diam memerhatikan kami berdua. Dalam hati ku berdoa, semoga mas Kai tidak mengusirku. Setidaknya jangan di depan wanita ini.
"Mas aku ingin bicara empat mata denganmu," ucapku sembari melirik Mawar yang terlihat tidak senang aku mengusirnya secara terang-terangan.
"Maaf tapi kami sedang kerja," serangnya lagi. Lagi-lagi Mas Kai hanya diam.
Aku menatap lembaran dokumen dan komputer milik keduanya. Bodohnya aku tak mengerti mereka sedang kerja.
Entah mengapa jiwa egoku menuntutku untuk kembali bicara, mungkin ini adalah insting mempertahankan suami. "Aku tahu ini adalah jam makan siang mas Kai. Dia gak boleh terlambat makan. Terlebih lagi aku tidak mau suamiku sampai sakit nanti," ucapku. Sengaja ku tekan kata Suamiku di depannya.
"Oh begitu ya," ucap Mawar lalu melirik mas Kai. "Gimana, mas? Batalin rencana makan siang kita aja ya. Aku gak enak sama istrimu. Dia sudah capek-capek menyiapkan semua itu," ujarnya lalu membereskan dokumen di meja.
"Kamu yakin?" ucap Mas Kai dengan lembut.
Rasanya hati ini sakit mendengar seruan lembut mas Kai kepada wanita lain. Terlebih ketika mas Kai meraih lengan Mawar lalu terlibat kontak mata antara mereka berdua.
Aku menahan desak di dada. Kenapa mas Kai tak menghargai perasaanku. Bagaimana bisa ia melakukan ini terhadap aku istri sahnya.
Akhirnya Mawar pergi, tersisa aku dan Mas kai dalam ruangan. Tak peduli dengan mas Kai mungkin jengkel padaku. Mungkin juga marah namun ditahan. Aku gak peduli.
Aku kembali memasukkan makanan untuk mas Kai dan duduk di depannya dengan manis.
Aku menemani mas Kai hingga dia selesai makan. Ku bereskan kotak lalu menyusunnya kembali.
"Katakan ada keperluan apa?" ucap Mas Kai yang sepertinya tahu kedatanganku kali ini sedikit berbeda. Mungkin karena aku terlalu sering meliriknya.
"Mama mengundang kita," ucapku.
"Uang ya?" seru Mas Kai dengan dingin.
Aku benar-benar terpojok mendengarnya. Seperti itukah keluargaku di matanya.
"Aku... gak tahu. Mama hanya menggundang kita," sahutku mulai gugup.
Mas Kai berdiri dan berjalan ke dekatku, namun karena ia tak mengatakan apapun membuatku akhirnya mendongkak hingga terlibat kontak mata dengannya.
Aku bisa melihat tatapan mencemooh di mata mas Kai. Tatapan yang semakin larut dan sulit ku artikan.
"Apa ada lagi yang ingin kau katakan, El?" ucapnya menatapku yang hanya diam dan kembali menunduk. Aku tak berani menatap mata Mas Kai lebih lama. Hal itu membuat keberanianku mencuit.
Detik berikutnya Aku terjengkit ketika tangan mas Kai mendarat di punggungku dan menenakan tengkuk ku. Aku begitu terkejut ketika mas Kai menciumku.
Namun semakin larut aku menyadari, ciumannya hanya di penuhi amarah dan kekasaran. Tak ada kelembutan ataupun cinta di dalamnya.
Air mataku luruh. Aku akan tetap menikmati ciuman ini.
***