"Rita usil banget Pram."
Pram hanya tertawa.
Begitulah realita jika kaum perempuan sedang berkumpul. Tidak akan ada batasan dalam berbicara, terutama jika hal yang dibicarakan adalah seks. Sama halnya dengan kaum Pria, bahasa vulgar dan nakal adalah hal yang biasa. Kata Tabu seakan hilang dalam situasi seperti ini. Rita berhasil menghiburku, membuatku lupa sejenak dengan beban pikiranku tentang Nova, putru kecilku.
"Pram, ibu pengen makan nasi goreng."
"Kita beli aja ya, dibungkus aja, biar nanti dimakan dirumah." sambungku.
"Iya bu."
Dari kejauhan, kami melihat sebuah warung tenda di tepi jalan, dan nasi goreng adalah salah satu menu yang tersedia disitu. Sambil menunggu pesanan nasi goreng kami, aku kembali berdiam diri. Kekhawatiran akan kehilangan Nova kembali mengganguku.
"Pram.. besok ibu pulang ya. Ibu kangen sama Nova."
"Iya bu."
"Ibu berangkatnya sendiri aja Pram. Ibu pengen lama-lama dirumah, mungkin malam baru pulang kesini."
Pram menatapku dalam-dalam.
"Besok pagi-pagi saya anterin ibu pulang. Kita pulangnya kesini malam gak apa-apa bu. Biar bisa ngabisin waktu lebih banyak sama Nova."
"Ibu gak enak ngerepotin kamu terus."
Pram hanya tersenyum.
"Nanti kita bicarakan di rumah ya bu."
Pram menyudahi pembicaraan karena nasi goreng pesanan kami telah selesai. Aku kembali berdiam diri diatas motor hingga kami tiba dirumah.
"Nanti makan sama-sama ya Pram."
"Iya bu."
Sesampainya dikamar, kutemukan ranjangku telah tertata rapi. Sprei yang menutupi permukaan kasur pun telah diganti dan wangi. Sepertinya Pram menghabiskan waktunya hari ini untuk mengurusi rumahku.
Aku benar-benar kehilangan gairah hidup. Kerisauan yang menghantuiku seakan melenyapkan harapan dan semangat yang telah hadir dalam diriku beberapa waktu belakangan.
Aku mengandung Nova berbulan-bulan dalam rahimku. Aku melahirkannya dengan perjuangan keras, dengan mempertaruhkan nyawaku. Aku menyusuinya dengan penuh cinta. Memeluknya dengan penuh kehangatan kasih sayang. Dan tiba-tiba, permata hatiku direbut dari kehidupanku. Aku takkan mampu menerima kenyataan seperti itu. Aku yakin, hidupku akan berakhir jika hal itu terjadi.
Nasi goreng yang kami beli pun hanya sedikit saja yang tertelah. Aku kehilangan selera makanku.
"Bu.. ibu harus makan. Kalo begini terus, ibu bisa sakit."
Pram beralih dan duduk dikursi disampingku, setelah sebelumnya ia duduk diseberang meja, berhadapan denganku. Pram nampak prihatin dan khawatir melihat keadaanku.
"Ayo bu, dimakan lagi nasi gorengnya. Diiiikkiitt aja lagi." Bujuknya setelah melihat nasi goreng yang masih banyak dipiringku.
"Apa mau saya suapin…??" sambungnya lagi.
Aku hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Dengan terpaksa, aku kembali melanjutkan makan, karena Pram mengawasi di sampingku.
"Sekarang ibu istirahat ya." Kata Pram setelah membereskan meja dan mencuci piring yang telah kami gunakan.
"Besok kita berangkat subuh, biar ibu punya banyak waktu untuk Nova." Sambungnya.
Jam di dinding menunjukkan hampir jam 8 malam. Terlalu dini jika kuhabiskan waktuku hanya untuk berdiam diri dikamar dalam sepi.
"Temenin ibu malam ini" gumanku lirih sambil memegang tangannya, tepat ketika ia hendak melangkah pergi.
Pram menganggukan kepala.
"Saya kunci pintu kamar saya dulu ya bu."
"Iya Pram."
Selepas kepergian Pram, aku memasuki kamar tidurku dan mengganti pakaian dengan baju tidur. Setelah menyikat gigi, aku duduk didepan meja rias yang terletak didepan ranjangku. Terdengar samar-samar suara pintu tertutup, lalu terkunci dari arah luar. Pram telah kembali.
"Ibu minum obat apa? Ibu sakit?" tanya Pram setelah melihatku menelan sebuah pil berukuran kecil.
"Enggak. Ibu sehat kok Pram."
Pram lantas berdiri dibelakangku dan membelai rambutku. Bisa kulihat raut wajahnya yang cemas lewat pantulan cermin besar meja rias.
Aku tidak sakit seperti yang Pram sangka. Tubuhku sehat, hanya hati dan pikiranku yang sedang sakit. Aku memikirkan Nova. Aku takut kehilangannya.
Pil yang kuminum hanyalah pil KB, sekedar berjaga-jaga jika malam ini Pram ingin menyetubuhiku. Tentu saja aku tak mungkin menolaknya, karena bagiku, Pram sudah seperti suamiku sendiri dan dia mengetahui hal itu, karena aku pernah mengatakakan secara langsung padanya.
Tentu saja aku tak mungkin menolak ajakannya jika ingin bersetubuh. Kebiasaan meminum pli ini baru kembali kulakukan pasca permainan panas kami dirumah orangtuaku. Aku hanya ingin berjaga-jaga. Aku tak ingin merusak hidup Pram, merusak rencana yang mungkin telah ia susun untuk masa depannya.
Usianya masih muda dan masa depannya masih panjang. Aku sangat menyayanginya dan tak ingin merusak mimpi-mimpinya. Dan entah mengapa, pasca kedekatan kami, aku bisa dengan mudah terangsang, sangat mudah mendadak bernafsu padanya. Aku berubah menjadi wanita yang seakan haus seks. Hal ini ini baru saja terjadi padaku beberapa waktu belakangan.
Ungkapan isi hatiku, perasaanku, sesaat sebelum persetubuhan panas kami di halaman belakang rumahku pun mendapat respon baik darinya. Ia seakan memberiku ijin, membebaskanku untuk melakukan semua yang kuinginkan. Tentu saja hal ini membuatku semakin nyaman, membuatku semakin bahagia bersamanya.
Selama ini, aku hidup dalam dunia yang bisa dikatakan lurus. Aku mengenal seks pun saat telah menikah dengan suamiku.
Bagiku, hidupku yang dulu berjalan sempurna dan penuh warna indah. Namun setelah perselingkuhan suamiku, dan kedekatanku dengan Pram yang berjalan secara alami, perlahan membawaku memasuki dunia yang baru, dan penuh warna.
Sebagai wanita dewasa, aku membutuhkan kehadiran seorang pria, yang mampu menjagaku, membimbingku, dan membantuku memenuhi hasrat seksualku. Dan semua itu kutemukan dalam diri Pram.
Bersamanya, warna indah yang dulu menghiasi hidupku akhirnya terasa hambar, terasa sangat biasa dan lebih cenderung membosankan. Pram hadir dengan warna yang lain, lebih indah dan mampu membuatku jatuh hati.
Usia muda, penuh perhatian, namun berpikiran dewasa, dengan cepat mampu merebut perhatianku, mengisi satu ruang dalam hidupku.
Harus kuakui, dalam urusan seks, Pram selalu membawa kejutan, selalu menghadiahi pengalam baru yang fantastis.
Pengalaman pertama di rumah orang tuaku adalah awal kegilaan kami. Lalu permainan panas di halaman belakang rumah yang berlanjut di ruang tengah dengan pintu yang terbuka lebar, membawa sensasi tersendiri bagiku. Pram, lelaki muda itu mampu memuaskanku, mampu mengeluarkan sisi liarku yang tak pernah terjamah sebelumnya.
"Istirahat yuk." Pram meraih tanganku, dan membimbingku menuju ke atas ranjang.
Rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi, semakin membuat suasana hatiku tak karuan. Sedih, takut, kalut dan beragam perasaan campur aduk menghantuiku.
Hawa dingin yang mulai merasuki kamar tidurku, memaksaku menutupi tubuh kami dengan sehelai selimut. Kepalaku beralaskan dada Pram, dan satu kakiku menumpang diatas pinggulnya. Satu tangannya memelukku, sementara tangannya yang lain terus membelai rambutku. Pram sedang mencoba memberiku rasa nyaman, ia ingin menenangkan hatiku.
"Pram.."
"Iya bu.."
"Maaf membuatmu khawatir." Gumanku lirih sambil menatap wajahnya.
Pram menatapku dalam-dalam sambil mengusap pipiku.