Chereads / Puber Kedua / Chapter 35 - 34

Chapter 35 - 34

jadinya rada sungkan mau ngobrol sama dia."

"Iya sih, Nina itu pendiam banget, tapi gak tau kenapa kok dia kayak seneng aja deket sama yang lain."

"Karena dia merasa nyaman kalo sama kalian." Kataku.

"Ibu juga nyaman sama kalian, seneng aja."

"Iya, Ibu bener. Saya juga seneng berteman sama mereka, walo sering dikerjain."

Tanpa terasa, langit telah terang walau matahari belum menampakkan wujudnya.

"Pram, nanti pulangnya kita mampir dipasar ya, belanja sayuran. Sayur dirumah habis lho."

"Iya bu. Berarti kita gak jadi pulang malam ya?"

"Pasarnya tetap buka sampai malam kok Pram. Nanti kita pulang jam 7 atau jam 8 aja, biar bisa istirahat buat besok."

"Iya bu."

Setelah hampir dua jam menempuh perjalanan, kami tiba di rumah orangtuaku. Nova sedang bermanja dalam gendongan bapak di halaman rumah. Dan ketika melihat kedatangan kami, wajahnya menampakkan keceriaan seketika.

Saat keluar dari mobil, aku lantas mendatanginya dan mengambilnya dari gendongan bapak. Kupeluk dan kuciumi wajahnya berkali-kali hingga ia merasa terganggu.

Hanya sesaat setelah melihat Pram mendekati kami, Nova lantas mengalihkan perhatian padanya. Ia ingin digendong Pram.

"Pak.." Sapa Pram dengan takzim.

"Nak Pram" jawab bapak sambil bersalaman.

"Ddddddduuuhhhhh… Nova gak kangen sama mama ya?? Kangennya sama mas Pram aja??" protesku saat Nova meronta ingin digendong oleh Pram.

"Hhaaaiiiiiii cantikkkkkk….!" Sapa Pram sambil menggendong Nova.

"Deeekkkkk.. mama masih kangen lhooooo." Protesku, namun tak diacuhkan olehnya.

Sama sepertiku, Pram pun menghujani wajah Nova dengan ciuman. Nova tertawa ria, kedua tangannya yang mungil sibuk menyentuh wajah Pram. Mereka sedang menikmati kebersamaan, sedang melepas rindu setelah sepekan tak bersua.

Aku pun turut merasa bahagia melihat mereka. Bapak lantas mengajak kami masuk kerumah, namun Pram menolaknya dengan halus karena masih ingin bermain bersama Nova dihalaman.

Di dapur, Ibuku sedang sibuk menyiapkan sarapan, dan ketika melihat kedatanganku, ia segera memelukku. Pelukan hangat seorang ibu yang sangat menentramkan hati, dan aku sangat menyukainya.

Pram masih sibuk dihalaman rumah, bermain dan bercanda bersama Nova. Aku dan kedua orangtuaku duduk bersama dimeja makan, menikmati sarapan buatan ibu.

Kuceritakan juga pada mereka bahwa aku telah bekerja di warung makan, sambil menunggu panggilan wawancara pekerjaan lain yang lebih baik. Mereka sangat senang mendengar hal itu.

"Bapak senang kamu sudah bisa mulai menata hidupmu lagi" kata bapak sambil memegang tanganku.

"Gak apa-apa nak, kerja apapun, yang penting halal. Sebagai pengalaman aja, sebagai batu loncatan untuk kamu nantinya." Timpal ibuku.

Dukungan mereka sangat berarti bagiku, sangat membantuku dalam menjalani hidup yang seakan semakin berat.

Aku juga menceritakan kejadian tentang kedatangan suamiku kerumahku, dan kerisaukanku jika Nova direbut olehnya. Bapak nampak geram mendengar ceritaku. Ia lantas meninggalkan kami, menuju ke kamar tidurnya.

Samar-samar kudengar bapak sedang berbincang dengan seseorang. Ia sedang menelpon seseorang. Aku dan ibu hanya diam, mendengar percakapan bapak dengan orang tersebut. Lalu terdengar bapak menceritakan permasalahan rumah tanggaku pada orang tersebut.

"Mungkin bapakmu lagi nelpon temannya yang pengacara dikota pelajar" guman ibuku.

Aku mengangguk.

"Sudah.. kamu tenangkan hatimu. Jangan khawatir lagi." Sambungnya lagi.

Beberapa saat kemudian, bapak menghampiriku dan menyerahkan ponselnya padaku.

"Ibu ini ingin berbicara." Kata bapakku singkat.

Aku menerima ponsel tersebut. Terdengar suara nan lembut menyapaku dari sana.

Sekali lagi si ibu menanyakan perihal keretakan rumah tanggaku, dan kuceritakan secara lebih detil, sesuai dengan apa yang aku ketahui. Informasi dari pihak kepolisian, maupun informasi yang kuperoleh dari Pram.

Setelah selesai bercerita, dengan didengarkan oleh bapak dan ibu yang masih menemaniku, si ibu menjelaskan tentang undang-undang perceraian, tentang hak asuh anak padaku. Aku tak begitu paham dengan apa yang ia jelaskan, namun ada kelegaan dihatiku, karena sepertinya, pada akhirnya Nova akan tetap bersamaku.

"Nanti, sesekali kita akan mengunjungi ibu ini." Kata bapak seraya menerima ponsel yang kukembalikan.

"Iya… terima kasih pak." Balasku seraya berdiri dan memeluk erat tubuh bapak.

"Nova adalah bagian hidup kita, bagian dari keluarga kita. Bapak akan melakukan apapun untuk mempertahankan cucu bapak agar tetap bersama kita."

Aku sangat lega mendengar ucapan bapak.

"Sebentar lagi, bapak dan ibu mau jenguk temen bapak yang sakit di desa sebelah, tolong anterin ya" kata ibu.

"Dedek mau ikut?" tanya bapak saat hendak berangkat.

Dan masih seperti sebelumnya, Nova masih asik bercanda dan bermain bersama Pram, di ruang tamu. Ia tak menghiraukan kami sedikitpun.

"Kalo udah ketemu nak Pram, dedek lupa sama semua orang" guman ibuku sambil tersenyum.

"Pram, titip dedek bentar ya. Ibu mau anterin bapak ibu ke desa sebelah."

"Iya bu."

Aku hanya mengantarkan mereka, dan setelah sampai disana, langsung melanjutkan perjalanan pulang. Mereka akan kujemput jika mereka menelponku kembali.

Aku kembali menemukan Pram Nova di ruang tamu, mereka masih terlarut dalam dunia mereka sendiri.

"Bener-bener ya.. gak kangen sama ibu sama sekali." Gumanku lalu mencium pipi nova dengan gemes.

Lagi-lagi, putri kecilku itu hanya melihatku sesaat, lantas kembali mengacuhkanku.

"Nova tau ada cowok cakep, makanya ibunya pun dicuekin."

"Hhuuuuuuuu….." protesku sambil mencubit lengannya.

Pram hanya tertawa, begitu juga dengan Nova karena melihat Lelaki yang tengah memangkunya itu tertawa.

"Kamu tolong jagain dedek dulu ya, ibu mau beres-beres di dapur."

"Iya bu."

Sebelum beranjak pergi, sekali lagi kuciumi pipi putriku.

Dari arah dapur, sesekali kudengar gelak tawa mereka saat sedang mencuci piring. Aku merasa bahagia melihat putriku bertumbuh dan berkembang dengan normal dan sehat. Kedua orangtuaku pun dalam keadaan sehat walaupun telah berusia lanjut dan mereka bahagia karena setiap saat selalu ditemani oleh cucunya.

Aku benar-benar beruntung bisa memiliki mereka dalam hidupku.

Beberapa helai pakaian Nova dan kedua orangtuaku yang berada didalam ember pun kucuci, sekedar meringankan beban ibuku yang setiap hari mengurusi Nova. Dan setelah selesai, aku melanjutkan kegiatanku lagi, memasak untuk makan siang.

Larut dalam kesibukan didapur, aku tak menyadari jika tak lagi mendengar suara canda tawa Pram dan Nova. Sunyi dan sepi didalam rumah.

"Lhooo si dedek udah bobo aja."

Pram tengah menimang Nova sambil berjalan dihalaman rumah.

"Kayaknya kecapekan main bu. Mungkin udah setengah jam tidurnya."

"Ya udah, ditidurin dikamar aja Pram, biar kamu bisa istirahat."

Pram mengikuti langkahku, memasuki kamar tidur, lalu membaringkan Nova diranjang.

Beberapa menit Pram berdiri mematung, memandang putri kecilku yang terlelap dalam damai.

"Tidurnya enak banget." Gumannya.

"Iya, mungkin kecapekan main sama kamu."

"Nova beruntung bisa kenal kamu, ibu juga beruntung bisa kenal kamu." Kataku lagi sambil memeluk erat tubuhnya dari belakang.

"Bukan.. saya yang beruntung bisa kenal ibu, bisa kenal Nova." Jawabnya sambil menoleh kearahku.

Kami lantas meninggalkan kamar itu, membiarkan Nova menikmati istirahatnya. Pintu kamarku sengaja tak kututup, agar bisa mendengar tangisnya jika terbangun.

"Ibu lanjutin masak dulu ya.." kataku pada Pram saat ia hendak bersantai di ruang tengah.

"Iya bu.."

"Kamu mau nonton tv?"

"Iya bu."

"Kamu gak pengen temenin ibu didapur?" bisikku ditelinganya.

"Ibu mau ditemenin?"

"Iya dong.."

Pram membatalkan niatnya untuk bersantai, dan mengikutiku ke dapur.