"Mau lagi??" tanyaku sambil memainkan pelan pentungannya.
Pram menggeleng.
"Ibu harus istirahat."
"Hari ini badan ibu udah terlalu capek." Lanjutnya lagi.
Pram benar. Tubuhku telah kehabisan tenaga karena percintaan panas kami sore tadi. Aku harus mengistirahatkan diriku
Kami berpelukan mesra, dan berkali-kali beriuman dengan hangat. Tidak ada nafsu disana, hanya sebuah peluk dan ciuman yang melambangkan perasaan terdalam kami.
"Pram, baju ibu ada dilemari bagian atas ya. Pakaian dalamnya ada di bagian bawah. Paling bawah." Aku berpesan padanya sebelum ia ke kamarku untuk mengambil pakaian.
Beberapa menit kemudian Pram kembali dengan pakaianku ditangannya.
"Makasih ya.."
"Udah nih? Ibu pakai baju sekarang?" tanyaku lagi.
Pram mendekatiku, lantas memeluk erat tubuhku.
"Sudah cukup untuk hari ini, sekarang ibu pakai bajunya. Kita masak." Bisiknya.
Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku, sebelum kami kembali ke rumahku.
Pakaian kami yang terserak dihalaman belakang pun masih tergeletak disana. Aku segera memungutnya, dan memasukannya kedalam mesin cuci. Dan Pram, lelaki yang beberapa jam lalu menyetubuhiku hingga tak berdaya itu sedang membersihkan lantai ruang tengah dari urine yang menggenag.
*
Aku dan Pram sedang sibuk di dapur, memasak makan malam untuk kami ketika suara ketukan pintu terdengar dari depan.
Aku bergegas kedepan dan membuka pintu.
Suamiku berdiri disana, sementara seorang perempuan sedang menunggunya didalam mobil, yang terparkir di pinggir jalan, di depan pagar rumahku.
"Aku hanya mampir sebentar. Mau ambil pakaian."
"Ada di gudang. Didalam koper." Jawabku singkat.
Ia lantas menuju ke gudang yang terletak dibagian belakang rumah kami. Aku mengikutinya dari belakang. Sekilas ia melihat Pram, namun tak memperdulikannya.
Pram menatapku dengan tatapan yang aneh.
"Dimana Nova?" tanya suamiku.
"Dia bersama orangtuaku."
"Kalo kamu gak mampu mengurusnya, biar saya yang mengurusnya."
Aku benar-benar geram dengan sikap suamiku. Ia seolah tak menyadari akan kesalahannya padaku dan Nova. Dan bahkan dengan mudahnya ia ingin mengambil dariku. Aku benar-benar emosi melihatnya.
"Tenang mas, Bu Rindi bisa mengurus Nova. Saya mampu mengurus Nova. Jangan Khawatir." Jawab Pram.
"Kamu siapa?!" Tanya suamiku dengan nada keras pada Pram.
Suasana menjadi sedikit tegang, namun Pram terlihat sangat tenang.
"Santai Mas. Duduk dulu. Akan saya jelaskan siapa saya." Balas Pram, sambil duduk dikursi meja makan. Suamiku hanya berdiri, matanya menatap Pram dengan sangat tajam.
"Pram.. sudah. Jangan diteruskan." Aku menegur Pram, agar membiarkan suamiku pergi dengan segera.
"Gak apa-apa bu, saya hanya ingin bicara."
Suamiku masih saja berdiri, ia hanya meletakkan koper berisi pakaiannya dilantai, di samping kakinya. Aku mendekati Pram, berdiri dibelakangnya.
"Mas mau tau siapa saya? Oke saya akan beritahu."
"Saya Pram. Saya kost disini. Saya kuliah dikampus yang sama dengan istri siri mas. Anita."
"Pram…?? Kamu…" tanyaku kaget.
Tiba-tiba Pram menoleh ke arahku. "Ibu harus tahu apa yang saya ketahui." Guman Pram.
"Oke, saya lanjutkan. Sebelum kejadian di kantor polisi, saya sudah tahu bahwa Anita adalah perempuan simpanan mas."
"Saya tidak tahu kapan persisnya hubungan mas dan Anita berawal, saya hanya mengetahuinya sejak bu Rindi mengandung Nova."
"Saya kebetulan kost disini, dan mas pasti tidak memperhatikan saya karena mas terlalu sibuk dengan Anita."
"Saya tahu mas membohongi bu Rindi dengan alasan tugas luar kota, padahal mas menghabiskan waktu bersama Anita."
"KURANG AJARRRR..!" teriak suamiku.
Pram hanya tertawa, terlihat begitu tenang, begitu santai.
"Dan tentang Nova. Saya mohon dengan sangat, mas jangan pernah berpikir untuk merebut Nova dari bu Rindi, apalagi sampai mencoba merebutnya. Selesaikan segera urusan mas dengan bu Rindi, dan jangan pernah menyakitinya lagi. Dia sudah cukup terluka dengan prilaku mas." Pram yang tadinya terlihat santai dan tenang berubah seketika menjadi sangat serius. Suaranya pun terdengar tegas.
"Jika hal itu terjadi, saya tidak akan segan untuk menghancurkan hidup mas."
"KAMU MENGANCAM SAYA??!"
"Tidak.. bukan ancaman. Tapi peringatan buat mas."
Tanpa berkata apa-apa, suamiku pergi begitu saja, dan ketika sampai di pintu depan, ia menutupnya dengan kasar, membantingnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Jadi sebelum mereka tertangkap dihotel malam itu, kamu udah tau ya??"
"Iya bu."
"Kenapa kamu gak beritahu ibu??"
"Saya gak ingin menghancurkan rumah tangga ibu, apalagi saat itu ibu sedang hamil. Resikonya terlalu besar bu. Saya gak berani. Lagipula, masalah itu bukan urusan saya."
"Ibu gak marah kan?" tanyanya.
"Enggak. Kamu melakukan apa yang menurutmu benar. Dan sudah terbukti, tanpa kamu beritahu pun, akhirnya perselingkuhan ini terbongkar."
Cukup lama kami melewati waktu hanya dengan berdiam diri, tanpa sepatah kata pun.
"Ibu takut dia akan merebut Nova." Gumanku lirih.
"Suami ibu gak akan berani melakukannya. Dan sepertinya dia bukan tipe orang yang tepat untuk membesarkan Nova. Jika memang dia perduli, seharusnya sudah sejak lama ia mengambil Nova dari ibu. Sejujurnya, saya yakin dia tidak perduli dengan Nova."
Jawaban Pram sedikit banyak membuatku tenang.
"Kalo dia sampai nekat gimana?"
Pram mendekatiku, kemudian menggengam erat kedua telapak tanganku.
"Selama saya masih ada disini, saya akan berusaha untuk membela ibu, memperjuangkan agar Nova tetap hidup bersama ibu. Ibu jangan khawatir."
Sisa malam itu kuhabiskan dengan perasaan gundah gulana. Aku begitu takut kehilangan putriku. Masakan yang telah kami masak pun akhirnya hanya sedikit yang tertelan olehku.
"Bu, kasurnya belum diberesin, sofanya juga masih basah."
"Malam ini ibu tidur dikamar saya aja ya.."
"Iya.. terserah kamu Pram."
Pram bisa menagkap kegundahan hatiku. Ia mengerti kekhawatiran yang tengah kurasakan. Sepanjang malam ia memelukku, membelaiku dengan penuh kasih sayang, hingga aku terlelap, demi menenangkanku.
Bagaimana nasibku jika Nova diambil dariku? Rasa-rasanya aku takkan sanggup menghadapi kenyataan itu. Dialah penyemangatku, satu-satunya darah dagingku, Nova adalah hidupku.
Sebuah langkah di lembaran baru hidupku baru saja kumulai, namun sekali lagi, ada saja gangguan yang yang datang, selalu saja ada penggangu hidupku.
Sangat tidak adil bagiku, jika harus menghadapi kehidupan ini dengan berbagai masalah seperti ini. Aku lelah.
*
Kuhabiskan malam dengan merasakan dekapan Pram. Tidurku tidak nyenyak karena perasaan takut yang menghantui. Aku takut kehilangan Nova. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa putri kecilku itu.
Pagi-pagi buta aku terbangun, aku tak bisa melihat jam yang terpajang tepat diatas pintu kamar Pram. Aku bangun dan duduk, berdiam diri dalam kegelapan, dan tanpa sadar air mataku mengalir. Aku benar-benar khawatir. Aku takut kehilangan Nova, putri kecilku.
Hampir satu jam berlalu, akhirnya Pram pun terjaga dari tidurnya.
"Ibu kenapa?" tanya Pram setelah setelah menyalakan lampu kamarnya. Ia duduk disampingku.
Aku hanya diam membisu, kepalaku menunduk dan air mata telah membasahi baju yang kukenakan. Pram menghela nafas, lantas memeluk tubuhku. Tak ada sepatah kata pun yang terucap hingga bermenit-menit kemudian.
"Ayo.." kata Pram seraya bangkit berdiri dan menarik lenganku. Ia membawaku kembali ke rumah.
"Sekarang ibu mandi. Saya buatkan sarapan." Pintanya.