Tiba-tiba aku malu pada diriku sendiri, pada prilaku yang seakan menjadi wanita murahan, menggoda lelaki hanya demi seks.
"Sudah selesai, saatnya kita makan" serunya, memecah keheningan.
"Kok ibu melamun sih?" tanyanya saat melihatku hanya diam.
"Makasih ya Pram, kamu udah baik banget sama ibu." Aku lantas memeluk pinggangnya saat ia berdiri disampingku.
"Saya hanya membantu semampu saya bu, sebisa saya." Jawabnya.
"Ibu gak tau harus baimana membalas kebaikanmu."
"Cukup doakan biar saya sehat selalu, kuliahnya lancar, dan bisa cepet lulus."
Aku terharu mendengar jawabannya yang cukup sederhana.
Kuueratkan pelukanku dipinggangnya dan tak terasa, sebutir air mata mengalir melalui sudut mataku.
"Kita makan yuk." Gumannya.
Kulepaskan pelukanku dan ia pun melihat jejak air mata dipipiku. Dengan lembut disekanya pipiku, kemudian mengecup keningku.
Tak banyak yang kami bicarakan selagi menikmati makanan hasil masakan Pram karena aku masih dalam situasi merasa bersalah. Berbeda dengan Pram, ia nampak lahap menyantap makanan yang ada di piringnya.
"Pram, ini rendam kaki sampai berapa jam?"
"Sampai airnya terasa dingin bu. Nanti airnya diganti lagi dengan air hangat."
Ia benar-benar memintaku untuk mengistirahatkan tubuh. Ia menolak ketika aku hendak membereskan piring-piring bekas yang kami gunakan.
"Sekarang ibu nonton tv aja. Saya bereskan dapur dulu." Perintahnya.
Kuturuti perkataannya dan menunggu diruang tengah sambil menonton tv. Hampir 15 menit kemudian, ia datang dengan menenteng ember berisi air hangat.
"Nah, sekarang direndam sambil dipijetin kakinya, biar besok pagi pegelnya hilang. Biar bisa siap kerja lagi."
"Eh…, gk usah Pram. Direndam aja cukup kok, uda lumayan enakan kok."
"Udah.. ibu rileks aja ya.. ibu santai aja." Balasnya sembari memasukan kedua tangannya kedalam ember yang berisi kakiku dan mulai memijatnya.
Pijetannya pada kakiku benar-benar membuatku rileks. Posisinya membelakangi televisi, berbeda denganku yang duduk disofa menghadap ke arahnya. Daster yang kukenakan hanya mampu menutupi sedikit bagian pahaku, dan ketika aku duduk, praktis daster itu akan tertarik keatas, hingga hampir sampai di pangkal pahaku. Beberapa kali kucoba menariknya turun agar menutupi bagian intimku, namun sia-sia saja karena beberpa saat kemudian daster itu akan kembali tertarik keatas.
"Ibu sih, pakai bajunya pendek banget." Gumannya sambil menunduk. Tak sekalipun ia menengok kedepan.
"Iya Pram.. maaf ya. Kamu risih ya? Kamu gak suka ya?" tanyaku sambil kembali berusaha menutupi selangkanganku. Namun usahaku sia-sia karena ujung dasterku segera kembali ke posisinya semula.
"Eh, enggak kok bu. Beneran.. biasa aja kok."
Jika saja Pram memandang kedepan, kearahku, aku yakin ia akan melihat celana dalamku. Dan ia pasti akan melihat samar bayangan kemaluanku, karena berbahan kain tipis dan sangat transparan. Namun Pram pernah mengangkat wajahnya. Pandangannya hanya berfokus pada tangannya yang sedang memijat kakiku.
Pijatannya benar-benar enak, dan rasa capek di sekitar betisku mulai berkurang.
"Nah.. udah selesai. Airnya udah dingin bu." Serunya.
"Iyaa, makasih ya Pram.. ini kaki ibu beneran udah enakan. Kamu pinter mijetnya."
Pram masih saja menundukkan wajahnya, kemudian berdiri dan membawa ember itu kembali kedapur, tanpa sedikitpun melirik kearahku. Ia menghindari menatap ke arah pangkal pahaku.
Ia kembali dengan sehelai kain lap bersih. Lalu meletakkanya didepan kakiku. Dengan lembut ia menuntun kakiku untuk berpijak diatas kain tersebut, agar lantainya tidak basah.
"Sudah hampir jam 10 bu, saatnya ibu istirahat."
"Iya, pijetan kamu enak, ibu jadi ngantuk."
"Besok Pagi sarapan disini ya Pram." Kataku sambil mengantarkan Pram ke pintu.
Kehadirannya disekitarku sangat berdampak. Setidaknya aku tidak merasa kesepian, walaupun ia bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Kebersamaan kami lebih banyak diisi dengan diam, atau sekedar obrolan ringan yang tidak penting. Dibalik sikap pendiamnya, aku merasakan kepeduliannya, merasakan perhatiannya begitu besar dan dalam terhadapku.
Tentang permainan panas kami beberapa waktu lalu, mungkin hal itu terjadi karena kami sama-sama terbawa oleh suasana, dan hal itu mengalir begitu saja, terjadi secara alami. Aku yakin akan hal itu karena setelah kejadian itu, sikapnya padaku pun tak berubah, tak pernah mencari kesempatan atau celah untuk mengulanginya lagi.
*
Aku tidur dengan sangat pulas berkat pijatan Pram. Aku sudah siap untuk bekerja di hari kedua. Pagi buta aku sudah terjaga. Setelah mandi, aku siapkan sarapan untuk kami berdua, seperti janjiku semalam padanya. Tubuhku hanya berbalut selembar kimono handuk, tanpa mengenakan pakaian dalam karena aku sendirian didalam rumah.
Hampir jam lima pagi, sarapan kami telah siap yaitu nasi goreng dan telur mata sapi. Aku sedang merasakan suasana pagi seperti yang pernah diajarkan Pram padaku ketika Pram mengetuk pintu.
"Kok pagi-pagi udah bangun sih Pram?" kataku, saat membuka pintu untuknya.
Ia hanya tersenyum. Wajahnya terlihat segar karena sudah mandi, walaupun pakaian yang dikenakannya masih belum berganti.
"Mau sarapan sekarang?" tanyaku lagi saat kami berada didapur.
Seperti kejadian sebelumnya, ia kembali menempelkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku. Ia memintaku untuk diam. Aku paham, ia ingin menikmati keheningan pagi.
Pram lantas membuka pintu dapur dan berdiri disisi pintu. Suasana diluar masih gelap, dan titik-titik embun nampak berjatuhan, membasahi bumi. Aku menyusulnya lalu berdiri disisi pintu lainnya, disampingnya.
Sekilas ia memandangku, lalu kembali menatap lurus kedepan, tanpa sepatah katapun. Beberapa menit berlalu dan hawa dingin mulai terasa menusuk hingga ke tulangku. Aku lantas beralih, berdiri tepat dibelakang Pram. Tubuhku sangat dekat dengannya, hanya menyisakan sedikit ruang, sehingga aku bisa menyandarkan daguku di bahunya.
"Dingin." Gumanku, seraya melipat kedua tangan didepan dadaku.
Pram melirik ke arahku, disertai usapan dipipiku. Ia lantas mengulurkan kedua tangannya kebelakang, mendesak tubuhku untuk lebih mendekat lagi, merapat dengan tubuhnya. Kuikuti keinginannya, dan tanganku melingkar dipinggangnya, menguncinya tepat diperutnya.
Lama kami berdiam, melihat dedaunan yang basah karena titik-titik embun, melihat redup sinar bintang yang perlahan ternggelam karena hari menjelang pagi.
Beberapa saat berselang, Pram memutar tubuhnya sehingga kami saling berhadapan dan tatapan kami akhirnya bertemu.
"Kakinya masih pegel" tanya Pram sambil menyingkirkan beberapa helai rambut dikeningku.
Aku menggelengkan kepala.
"Sarapan yuk." Pram masih bersandar disisi pintu sambil memperhatikanku saat mempersiapkan nasi goreng buatanku.
Tiba-tiba ia mendekatiku dan memeluk tubuhku dari belakang. Kuhentikan sejenak kesibukanku dan menikmati hangat peluknya ditengah pagi yang dingin.
Sisi pipiku disebelah kiri diciuminya berkali-berkali dan kurasakan perlukannya semakin erat. Aku bisa merasakan kemaluannya yang telah mengeras menempel dibagian belakang tubuhku.
Kecupan-kecupan itu lambat laun memantik gairahku, apalagi kecupan itu menyasar sisi pipi, yang dekat dengan telingaku.
Tak tahan dengan godaanya, aku membalikkan tubuh, lantas menatap matanya dalam-dalam. Aku sedang bergairah!.
Tanpa membuang waktu, aku langsung melumat bibirnya dengan rakus, seiring birahi yang mulai menguasaiku. Pagi itu semakin sempurna ketika ia membalas ciumanku, melumat bibirku dengan penuh nafsu. Hatiku semakin bersorak ketika satu tangannya mulai bergerak membuka ikatan kimono handuk yang melilit dipinggangku.
Tanpa tertutupi celana dalam, tangan Pram langsung menjamah kemaluanku. Begitu juga dengan tanganku, sibuk meremas pentungannya yang masih terbungkus celana pendek.