Sebuah alun-alun kecil berbentuk bundar dengan bangunan seperti menara yang cukup tinggi di tengahnya. Di batas pinggir sekelilingnya dipenuhi beberapa kursi besi berwarna cokekat tua. Setiap kursi membelakangi jalan. Belakangnya kursi terdapat satu pohon kurma berukuran sekitar tiga meter yang memutari tempat ini. Salah satu tempat favorit anak muda yang berada di kota Malang.
Sore itu aku duduk di kursi salah satu yang terdapat di sana. Memandangi ke arah seberang jalan di depanku. Berjalan cowok remaja tampan, manis dan tengil. Pacarku yang entah mengapa aku selalu pikirkan, Devano. Dia berjalan menuju ke arahku sembari membawa sekantong plastik bening.
"Yang nih makan dulu...!"
"Apa ini Yang?"
"Sosis bakar pedas manis."
"Makasih Yang."
Aku mengambil sekantong plastik itu dan mulai melahapnya. Baru setengah mulutku menghabiskan sosis bakar itu. Tubuh ini mengalami rasa mual seperti masuk angin. Aku muntah-muntah setelahnya.
"Nih...minum yang anget dulu."
"Iya Yang."
Devano memberikanku cokelat panas yang tadi dia beli bersama dengan sosis bakar. Aku bukan menjadi lebih baik karena minuman itu, justru tubuhku malah menjadi semakin mual. Muntahan untuk kedua kalinya menjadi tak terhindarkan, dan makin banyak.
"Balik aja Yang. Istirahat di rumah." kata Devano.
"Lah kan kita baru aja mau menikmati waktu berdua Yang."
"Besok-besok kan bisa lagi Yang."
"Apa nggak masalah Yang? Nggak enak aku sama kamu. Diajakin jalan malah kayak gini." Kataku dengan nada kesal.
"Nggak apa-apa, lebih penting kesehatanmu."
"Apa mau aku temenenin ke dokter?" lanjutnya.
"Nggak usah Yang, besok juga pasti sembuh kok."
"Ya udah yuk, kita pulang."
Rumah, 19.04
Sesampainya di depan rumah...
"Loh...kalian kok udah pulang? Katanya tadi mau jalan-jalan?" tanya Bunda yang sedikit keheranan karena kami pulang dengan cepat.
"Iya nih bun, Adina nya kayaknya masuk angin. Tadi mual-mual terus muntah," ucap Devano.
"Coba sini," telapak tangan Bunda mengecek dahiku.
"Kenapa Bunda?" tanyaku..
"Panas badanmu Din. Apa kita ke dokter aja. Biar kamu bisa sembuh. Kamu masuk angin ini kayaknya," pikir Bunda.
"Nggak usah Bunda. Aku mau istirahat aja di rumah. Lemas badanku, mau buat tidur aja"
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Bunda.
"Iya Bunda, Adina nggak apa-apa. Ini bentar kok."
"Bunda kompres aja pakai air anget ya."
"Iya Bunda."
"Ayo masuk." Bunda mengajak kami masuk ke kamar.
"Maaf Bunda. Aku nggak bisa lama-lama soalnya katanya mamah mau pulang dari Jakarta."
"Ya udah kalo gitu. Devano hati-hati di jalan ya," seru Bunda kepada Devano.
Aku di kompres menggunakan air hangat oleh Bunda di kamarku. Badanku rasanya dingin dari dalam, namun nyatanya sewaktu di cek aku mengalami panas demam. Ternyata selain itu aku juga merasakan mual-mual dan tersasa lemas. Entah seberapa kali aku mengunjungi kamar mandi karena aku muntah-muntah.
Malam ini aku di temani Bunda, kami tidur berdua. Sesekali Bunda ikut terbangun. Bunda begitu perhatian, peduli dan sayang kepadaku. Tidak seperti ayah yang hilang tidak ada kabar. Dadaku selalu sesak setiap kali mengingatnya.
Rumah, 05.11
Pagi ini aku terbangun dengan mata yang sembab. Bukan karena sakit. Karena tadi malam aku mengingat ayah. Lalu berakhir dengan menangis. "Seandainya Ayah ada bersama kami. Pasti bakal makin bahagaia hidupku." gumamku sendiri dalam hati.
"Eh..anak cantik udah bangun. Gimana badanya?"
"Mendingan kok Bun, aku udah mulai enakan."
"Uek...uekk...." Tiba-tiba aku merasa mual kembaki saat mencium aroma cokelat panas dalam cangkir yang bunda bawa di tangannya.
"Minum ini Din, kesukaanmu."
"Nggak usah Bunda, tadi sore aku minum cokelat langsung muntah-muntah."
"Kayaknya kamu harus perikasa ke dokter ya. Bunda takut sakitmu bisa parah nanti. Jangan disepelekan."
"Iya deh Bun. Nanti ya."
"Jangan gitu Din. Jangan nanti-nanti."
"Bentar ya," lanjutnya.
Bunda membawa minuman cokelat panas yang dia bawa menuju ke dapur. Kemudian menuju kamarku kembali. Membuka kantong celananya dan mengeluarkan benda pipih. Ponsel itu layarnya ditekan lalu ditaruhnya di telinga. Bunda mendengar dan berbicara kepada seseorang di telepon.
"Gimana Bunda?"
"Anak ganteng, bisa antar Adina ke dokter?"
"Doker mana Bunda?"
"Dia biasanya ke dokter Indra. Itu loh yang di deket swalayan."
"Oh iya tahu Bunda. Kapan periksanya?"
"Sekarang aja gimana? Soalnya Bunda mau pergi. Ada perlu pulangnya malam."
"Oke Bunda, aku meluncur."
Aku bertanya-tanya siapakah orang yang diajaknya mengobrol di telepon. Suara itu seperti tak asing bagiku. Namun aku hampir tidak bisa menerka siapakah pria itu. Apakah itu Devano?" gumamku sendiri.
"Bunda teleponan sama siapa?"
"Pacarmu, hehe." Bunda tersenyum kecil saat menjawab tadi.
"Hah.?"
"Iyaa anak ganteng itu loh. Devano pacarmu bukan?"
"Bunda tahu aku pacaran darimana?"
"Devano sendiri yang minta izin sama Bunda."
"Hah..?"
Aku makin bingung. Ada sesuatu yang belum aku tahu. Kenapa bisa Bunda tahu kami pacaran? Kenapa pula Devano meminta izin bunda? Ah sial, cowok tengil itu emang nyebelin. Diem-diem nggak ngasih tahu apa-apa." Pikiranku menjadi kemana-mana seketika.
"Oh iya Din. Bunda kan nanti ada perlu. Jadi nanti kamu dianter Devano ke dokter ya. Kamu mandi dulu. Udah bunda buatin air panas di kamar mandi."
"Lah kan ini minggu Bunda? Bukannya libur kok malah ada perlu?"
"Ada perlu gathering bareng karyawan. Schedule-nya emang dibikin minggu Din. Tahu tuh, Bunda juga agak kesal. Aish...managemen perusahan Bunda apa nggak punya keluarga ya? Nggak mau gitu kumpul keluarga di hari minggu?" Bunda menjelaskan, dan Bunda juga kesal karena kegiatan itu.
"Jaga kesehatan Bunda. Hati-hati di jalan," kataku.
"Makasih ya cantik. Bunda tinggal dulu. Bentar kok, nggak lama. Malam udah pulang."
"Nanti Devano dijakin makan di sini dulu. Bunda udah buat sarapan di meja dapur, buat kalian." lanjutnya.
"Oh iya Bunda."
"Bunda jalan dulu. "
"Iya Bunda, hati-hati..."
"Cepet sembuh cantik."
"Iya Bunda..."
Hujan biarkan kami saling mencintai hingga tua, katakan kepada Tuanmu. Aku mencintainya dalam dekapan rintihan hujan. Dalam dinginnya embun malam. Dalam indahnya pelangi setelah hujan. Dalam siang dan malam yang beredar pada waktunya masing-masing. Dalam satu atap yang sama bernama langit. Jadikan kami pasangan sehidup semati.
Rumah, 06.22
Pagi ini hujan cukup membuat rinduku terobati. Ah entah mengapa aku begitu mencintainya. Terlebih setelah kejadian di malam itu. Betapa aku takut sesuatu terjadi kepadaku, semoga itu idak akan terjadi.
"Pagi Sayang. Tolong bukain pintu," dari Devano.
Kalimat yang muncul di layar atas, bersamaan suara notifikasi chat masuk pada ponselku. Aku melihatnya tanpa membalas chat-nya. Lalu bergegas sibuk membersihkan diri ke kamar mandi. Ganti baju dengan baju yang cantik.
Aku berjalan dari pintu kamarku menuju pintu depan rumah. Aku melihat sesorang cowok remaja dengan kulit putih, badan tinggi, wajah tampan dan manis, dengan membawa mobil hitam keluaran Jepang. Dengan senyuman tampanya itu dia menyapaku terlebih dulu. Siapa yang tidak suka dengan senyum semanis itu? Ah." gumamku.
***