"Oh iyaa malam," sahutnya.
"Wah, pacarnya Devano ternyata cantik juga," puji Bu Nina.
"Biasa aja tante, tante malah lebih cantik," jawabku sembari memuji kecantikan Bu Nina di depanku.
"Pantes saja Devano tampan. Mamahnya aja lebih cantik daripada yang orang-orang bicarakan", gumamku sendiri.
"Makasih Sayang. Jangan panggil Tante dong. Mamah aja yaa...," Bu Nina meminta dengan wajah tersenyum.
"Oh..iyaaa, Mamah," kataku.
"Vano sayang, coba panggilin Bik Sarti. Tanyain udah siap belum masakannya," pinta Mamah kepada Devano.
"Iyaa Mah, bentar aku panggilin," ucap Devano sambil bergegas ke dapur.
"Oh iya.. Kamu sekelas kan sama Devano?" tanya mamah kepadaku.
"Iya tante. Eh Mah, kenapa Mah?" tanyaku kepadanya.
"Makasih ya Sayang, semenjak Devano pindah sudah banyak ke sini dia berubah," kata Mamah.
"Berubah bagaimana Mah maksdunya?" tanyaku
"Dia jadi lebih rajin berangkat sekolah, bolosnya dan mainnya nggak jelas itu udah berkurang, dan mamah beberapa kali dapat laporan kalau dia juga belajar di rumah beberapa kali," Mamah menocoba menjelaskan kepadaku.
"Kamu udah bisa merubahnya Sayang. Kalau kamu bisa bersabar sedikit dan menemani dia terus menerus bahkan selamanya. Mamah yakin dia bisa menjadi lebih baik, bahkan lebih sukses daripada Papahnya," lanjut mamah Devano menjelaskan.
"Dia penerus tunggal keluarga kita, dan satu-satunya penerus Escapra Group. Nanti kamu juga bakal jadi bagian keluarga ini," ucap Mamah.
"Iya Mah, semua berkat Devano sendiri kok," jawabku kepada Mamah.
"Betul, tapi dia belum pernah seperti ini loh. Dulu pas di Jakarta, sekolah aja sebulan sekali. Sekalinya masuk sekolah, pasti mamah dipanggil sama guru BK-nya. Entah berantem, tawuran atau ikut balapan liar. Banyak itu anak ulahnya di sekolah," bantah mamah Devano.
"Kamu udah tahu rahasianya Devano?" tanya Mamah.
"Apa rahasianya Mah?" tanyaku penasaran.
"Dia belum pernah pacaran," jawab Mamah.
"Masak Mah? Padahal di sekolah terkenal gonta ganti cewek," bantahku kepada Mamah, karena aku kurang percaya dengan apa yang baru aku dengar.
"Itu semua cuman temenan sayang. Nggak lebih. Devano nggak suka mereka semua. Belum pernah dia ajak main cewek ke rumah, kecuali kamu. Makanya mamah agak heran," kata Mamah.
"Serius Mah?" Aku sedikit syok dan baru tahu ternyata begitu sebenarnya yang terjadi.
"Ada lagi, Mamah mau bilang. Ini lebih dari rahasia. Sini lebih deket Mamah," Mamah memintaku mendekatkan telinga ke arahnya, Mamah berbisik pelan.
"Ada beberapa fotomu dia pasang di kamarnya di rumah ini," kata Mamah.
"Hah...? Beneran itu Mah? Sejak kapan?" tanyaku dengan penasaran. Aku syok mendengarnya.
"Udah lama itu. Mungkin sejak dia pindah ke Malang. Mamah lihat foto-foto itu udah terpasang di dinding, kira-kira sebulan setelah mamah anterin Devano daftar sekolah di sini," penejelasan Mamah kepadaku.
"Terus Mamah pernah tanyain?" tanyaku.
"Pernah," jawabnya.
"Terus dia bilang apa Mah?" tanyaku lagi.
"Cuman temen, gitu. Tapi Mamah ngerasa aneh. Kalau cuman temen kenapa sampai dipasang di dinding. Mamah tahunya ya kalian sudah pacaran, sejak saat itu" Mamah menejelaskan dengan wajah tersenyum.
"Ibu makan malamnya sudah siap," Bik Sarti tiba-tiba datang memberitahu Bu Nina dan memecah pembicaraan di tengah kami.
"Oh iyaa...makasih ya Bik," ucap Bu Nina.
"Hayoo.. pada ngomongin apa ini? Haayoo..ngaku? Ngomongin apaan?" Devano dengan penasaran bertanya pada kami berdua.
"Urusan cewek. Kamu mau tahu aja," bantah Mamah.
"Ayo kita makan Sayang," ajak Mamah kepadaku.
"Lah, yang diajakin cuman Adina. Aku malah nggak diajakin," Devano dengan nada kesal.
"Kamu udah sering diajakin," jawab Mamah sembari tertawa kecil.
Rumah, 19.20
Aku di samping mamahnya Devano, berjalan ke arah rumah utama. Suasana tempat ini sangat megah dan mewah, bahkan di dalamnya terdapat lift. Kami masuk ke sana. Salah satu jari Mamah menekan tombol bernomor dua.
Devano berjalan mengikuti kami dari belakang lalu masuk bersama, entah apa yang dia pikirkan sekarang. Hanya hitungan jam aku dan Mamah sudah sangat akrab.
"Cantik, nanti kamu tidur sini aja ya? Biar Bik Sarti yang nyiapin kamar buat kamu. Gimana Sayang?" pinta Mamah.
"Maaf Mah, besok ada acara kemah," jawabku.
"Belum bisa nginep sini. Belum beres-beres perlengkapan buat besok." Aku terpaksa menolak karena memang belum menyiapkan buat kegiatan besok.
Lift terbuka, kami berjalan ke arah ruangan melewati ruang keluarga, lalu masuk ke ruang makan. Meja makan dengan bahan marmer berwarna sama, perpaduan kuning keemasan dan cokelat tua. Sangat indah, mewah dan elegan. Terdapat sembilan kursi di sekeliling dari meja itu. Kami duduk bertiga di sana.
"Sini Cantik, duduk sebelah Mamah," pinta Mamah sembari mengarahkan tangannya ke kursi.
"Iyaa Mah," aku mendekatkan tubuhku ke kursi sebelah Mamah duduk.
"Biasanya aku yang di situ loh. Mamah kayaknya mulai sekarang bakal lebih perhatian sama Adina deh." Gerutu Devano yang sedikit cemburu dengan kedekatan kami berdua.
"Vano,..kayaknya kamu harus ngalah deh. Kamu udah tergantikan sama Adina, hehe." Mamah tertawa kecil sambil mengejek Devano.
"Ya udahlah..." Devano dengan nada cemberut.
"Bu, minumnya mau apa?" tanya Bik Sarti kepada Mamah.
"Minta tolong ambilin susu di kulkas Bik. Kita minum susu aja malam ini," pinta Mamah.
"Wah enak mah masakan Bik Sarti. Nggak berubah," kata Devano.
"Dia itu jarang makan di rumah Sayang, jadi ya gitu nggak tahu kalau masakan bibiknya tetep enak." Mamah menjelaskan sembari mengiyakan jika masakan Bik Sarti rasanya tidak berubah dan memang tetap enak.
"Iyaa Mah, emang enak ini masakannya," kata Mamah.
"Bik Sarti itu emang pembantu di keluarga ini. Udah lama Sayang, dia kerja bareng kami. Sejak kami menikah bersama. Dia sekaligus saksi perjuangan, papahnya dalam merintis bisnis dari nol," lanjut mamah.
"Wah...lama banget berarti ya Mah?" ucapku.
"Mungkin kisaran 20 tahunan ada." Mamah mengira-ira kemungkinan Bik Sarti kerja di sini.
"Dia udah jadi kepala ART di sini, gajinya yang paling gede. Dia kami tugaskan nemenin Devano. Tadinya dia di Jakarta, tapi kita pindahkan ke sini," Mamah menjelaskan.
"Aku udah gede, nggak ditemenin Bik Sarti juga nggak apa-apa," bantah Devano.
"Biar kamu diawasi, biar disiplin hidupmu." bantah Mamah.
"Iyaa-iyaa," jawab Devano ketus.
"Ayo dimakan lagi Sayang?" ucap Mamah.
"Udah kenyang Mah. Sepiring nih udah habi," aku sembari menunjukan piring milikku..
Sekolah, 09.00
Seharusnya ini adalah hari minggu di mana kami menghabiskan waktu di rumah. Minggu yang libur diganti dengan acara kemah, dalam rangka merayakan hari jadi sekolah. Namun mengikuti kegiatan penting ini juga sangat menyenangkan. Terlebih, ini adalah kegiatan di luar sekolah, berkemah di alam.
"Anak-anak apakah perlengkapannya sudah lengkap?" tanya bu Asih di lapangan.
"Udah Bu..." Kompak anak-anak 11 IPA 1 menjawab.
"Dicek ulang, jika ada yang ketinggalan kan bisa diambilkan keluarga. Mumpung masih ada waktu," kata bu Asih.
Beberapa anak mengecek kembali barang mereka dan menjawab pertanyaan dari Bu Asih. Wali kelas kami terfavorit ini sedang melakukan briefing kepada kami semua. Aku mendengarkan dengan seksama, semua yang dijelaskan Bu Asih untuk rincian kegiatan berkemah.
"Udah Bu, lengkap," jawab Ghandi dan anak-anak lainnya.
***