Chereads / Gadis Penyuka Hujan / Chapter 9 - Kehamilan

Chapter 9 - Kehamilan

"Pagi Kesayanganku..." Devano.

"Pagi juga Sayang." Aku berbicara padanya.

"Kamu bawa mobil?" Aku bertanya dengan heran, tak biasanya dia bawa mobil meski hujan. Tapi kali ini berbeda.

"Hujan Yang, kasihan kamu kalau naik motor pas sakit gini," jawabnya.

"Oh iya juga ya."

"Aku tadi ditelepon sama Bunda. Suruh nganterin kamu ke dokter Indra."

"Iya Yang. Aku tadi dengerin kalian ngobrol. Nggak biasanya Bunda gitu sama orang." ucapku.

"Ayo berangkat!" Devano.

"Bentar Yang, Bunda udah bikinin kita sarapan. Kita makan dulu. Aku tadi nungguin kamu."

"Wah istriku pinter ya. Nungguin suami pulang terus diajakin makan bareng, hehe."

Dia menggodaku sembari tersenyum kecil kepadaku. Sesekali melihat dengan gemas ke arahku, tanganya sibuk memegang kepalaku dengan mengusap-usapnya. Aneh anak ini, biasanya di sekolah terkenal sebagai cowok cool, cuek dan bercanda. Jangankan bercanda, ngomong aja irit banget.

"Aish...apan Yang. Kita baru pacaran. Sebulan belum ada loh."

"Nggak mau gitu. Jadi istriku?" bantahnya.

"Iya..mau," ucapku sedikit malu.

"Nah gitu, istri yang baik."

"Ayo makan aja," kataku.

Kami sarapan berdua di meja dapur. Ditemani rintihan hujan yang masih terus menemani kami di luar rumah. Dingin, tubuhku rasanya sudah mulai merasakan dinginnya pagi ini. Seakan tubuhku sudah membaik.

Devano membuka pintu mobilnya untukku. Aku duduk disebelahnya. Lalu di memasukan payung yang tadi dia bawakan untukku ke dalam mobil. Kami melaju dengan cukup kencang. Sesekali aku memperingatinya untuk jangan terlalu ngebut. Aku tak ingin kita ke dokter karena kenapa-kenapa.

Sebuah ruko kecil berada di sebelahnya Swalayan NonaMaret. Tempat yang ada di salah satu jalan protokol di Malang. Terdapat begitu banyak motor terparkir di depannya. Dengan plang bertuliskan Dokter Indra - Praktek Dokter Umum yang setiap harinya buka.

Aku berjalan menuju ke arah ruko itu bersama Devano. Devano memayungi tubuh kami, lalu aku masuk ke tempat praktek dokter tersebut. Devano menutup payungnya lalu meletakannya di pojok depan ruko.

"Oh ini yang namanya Mas Devano ya?"

Seorang perempuan dewasa berusia 30-an tahun bertanya kepada Devano. Dia adalah asisten dokter yang membantu dalam praktek mandiri dokter Indra.

"Benar Mbak."

"Mari langsung masuk aja," lanjutnya.

"Lah mbak, kita nggak antri dulu seperti biasanya?" bantahku.

"Tadi Mas Devano sudah telepon langsung sama Dokter Indra mbak. Doketer Indra ini sudah menjadi dokter keluarga Escapra sejak lama. Itu artinya setiap keluarga pasien atau setiap yang diantar oleh mas Devano akan diprioritaskan. Ini sudah sesuai dengan kebijakan praktek kami."

"Oh gitu. Kok kamu nggak bilang Yang?" aku bertanya pada Devano.

"Udahlah ayo masuk." Devano.

Asisten dokter itu pun membuka pintu ruangan dokter Indra untuk memeriksa pasien. Mempersilahkan masuk lalu meninggalkan kami bertiga sendiri.

"Selamat pagi mas Devano. Saya dokter Indra. Maaf dengan mbak siapa?"

"Namanya mbak Adina dok." Devano memperkenalkan diriku.

"Ini yang sakit dok. Tolong diperiksa. Takutnya kenapa-kenapa."

"Silahkan mbak Adina berbaring di sini."

Dokter memepersilahkan aku untuk berbaring sejenak di tempat tidur di ruang itu. Selang beberapa menit setelah aku diperiksa dengan teliti.

"Ini kamu nggak kenapa-kenapa kok Mbak."

"Oh tapi dia sakit dok!" bantah Devano.

"Itu biasa Mas Devano. Saat wanita hamil memang seperti itu gelajanya. Meski tidak semua gejala bisa sama, tapi mayoritas begitu. Selamat ya Mas sebentar lagi akan punya baby. Keluarga kalian akan menjadi ramai."

Dokter Indra mengira kami sudah menikah.

"Hah..??" Kami berdua kaget.

"Kalian belum berencana punya anak? Kenapa kaget begitu?"

"Oh iya dok. Kami emang kaget. Karena belum ada rencana. Tapi apa itu sudah pasti Dok?"

"Perlu di cek ulang ke dokter kandungan atau di tes menggunakan alat tes kehamilan. Silahkan bisa beli tespacknya."

"Oh iya udah makasih Dok. Kalau begitu kami langsung pamit. Biar bisa istrihat Adinya-nya."

"Ini tidak saya kasih resep apa-apa ya," ucap Dokter Indra.

"Sebaiknya memang di tes, dan alangkah lebih baik lagi setelah di-tespack langsung ke dokter kandungan. Biar diberikan resep vitamin dan suplemen penguat," lanjutnya.

"Makasih Dokter Indra. Mari dok."

Kami bergegas menuju pulang dengan perasaan yang aneh, cemas campur bingung. Khwatir sekali bila ini kejadian betul. Bahwa aku memang hamil. Namun di tengah perjalanan Devano berinisiatif untuk mampir di salah satu minimarket cukup terkenal di Malang.

"Gimana Yang?" aku.

"Nggak apa-apa. Kalau kamu hamil beneran, aku tanggung jawab."

"Makasih ya Yang."

"Pokoknya kamu jangan khawatir."

"Ini aku mau beli barang tadi yang dibilang dokter dulu ya. Biar bisa kita pastikan. Tadi namanya apa? lupa..."

"Tespack Yang."

"Oh iya bentar. Kamu di sini dulu."

Aku melalui kaca dalam mobil terlihat Devano masuk ke dalam minimarket. Berjalan lalu menuju kasir. Ah...begitu serius dan pedulinya dia dengan kondisiku, dengan semuanya ini.

"Mbak ini berapa?"

Devano mengambil tiga bungkus tespack lalu meninggalkan kasir dan keluar minimarket. Berjala menuju kepadaku yang berada pada mobil miliknya. Berbicara kepadaku.

"Nih.. Yang. Kita cari pom bensin."

"Kok banyak banget Yang?"

"Biar hasilnya makin akurat Yang."

Roda empat mewah keluaran jepang tahun 2018 itu melaju cukup kencang. Masuk ke area pom bensin di daerah itu. Lalu memarkirkan mobilnya tepat di depan mushola pom bensin.

"Aku tunggu sini ya Yang."

"Iya bentar ya."

Selang beberapa menit berlalu. Semua alat tes kehamilan ini menyimpulkan tanda positif hamil. Bahwa aku memang benar-benar hamil adalah kenyataan yang harus ku terima. Namun tetap begitu, ada seseorang yang bagiku begitu sempurna berani bertanggungjawab atas perbuatan kami berdua.

"Ini Yang, hasilnya."

"Tiga-tiganya Yang? Positif semua. Berarti beneran kata dokter Indra?"

"Iya Yang. Aku hamil."

"Nggak apa-apa Yang. Sementara ini kita rahasikan dulu. Aku bakal tanggung jawab. Aku yang salah."

"Aku bakal cari cara buat bilang ke Mamah sama Papah terus nikahin kamu. Lagian suatu saat kita juga bakal nikah kan? Nggak ada bedanya sekarang atau nanti," Dia menyakinkanku.

"Makasih Sayang."

Sekolah, 13.32

Ruang berpendingin berukuran cukup luas daripada kamar di rumahku. Dindingnya berwarna hijau muda, dengan beberapa poster tentang pentingnya menjaga kesehatan.

Terdapat tiga bilik kamar yang di dalamnya ada satu dipan tempat tidur, satu meja kecil dan satu kursi. Di depan bilik, terdapat ruang tunggu berukuran mini disertai dengan kursi tunggu yang memanjang, terbuat dari besi berwarna silver.

Satu temanku bernama Icha menunggu di ruang tunggu dengan wajah cemas. Memandangi kamar di Unit Kesehatan Siswa (UKS). Dia telah ijin kepada guru yang mengajar di kelas.

Sangat peduli kepadaku. Sudah sejak dari lama, teman setia dan saling mendukung itu mungkin merasa sangat khawatir. Maklumlah aku tidak pernah terlihat sakit.

"Gimana kondisinya Cha?" tanya Devano yang berdiri di ruang tunggu UKS, sedang bertanya pada Icha.

***