"Halah! aku sama Papa tidak jauh berbeda, Papa menikahi wanita itu aku tahu hanya nafsu!"
Ucapan Gavin pada ayahnya membuat Kinan melamun, dia tidak enak hati karena Gavin selalu berbicara tak pantas pada ayahnya Handoko, padahal awalnya Handoko hanya menasihati Gavin karena pria itu kerap kali sering melakukan hubungan terlarang dengan kekasihnya.
Bukan sekali dua kali Handoko mendapatkan kabar miring tentang Gavin, walau Gavin tinggal di luar negeri banyak sahabatnya Gavin yang melaporkan itu pada Handoko.
Gavin memang sudah satu tahun bekerja dan tinggal di Luar Negeri, semenjak Gendis ibu kandungnya meninggal, dan ayahnya memutuskan menikahi sekretarisnya Kinan.
Sejak pernikahan itu, Gavin tidak lagi pulang dan memilih menetap di sana, dia hanya bertukar kabar dengan Ayahnya lewat ponsel saja. Gavin benci pada Kinan dan menuduh wanita itu hanya ingin menguras harta kekayaan ayahnya saja. Bukan tanpa alasan karena umur Kinan memang cukup terpaut jauh dari ayahnya Handoko.
Kinan berusaha menenangkan suaminya. Dia selalu sabar menghadapi hal yang membelenggu rumah tangganya terutama kesalahpahaman yang saat ini terjadi antara Gavin dan dirinya.
"Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa aku sudah tahu sikap Gavin seperti apa."
"Anak tidak tahu diri! Mau bagaimana hidupnya jadinya jika nafsu saja yang dia utamakan!" Handoko terbatuk sambil memegang dadanya, pria itu memang sering sakit-sakitan semenjak Gendis istrinya meninggal, dia pun tidak lagi mengelola perusahaannya dan kini semuanya hanya wanita itu yang mengelola seorang diri.
Handoko bukan tanpa alasan menikahi Kinan, wanita itu sangat pandai dalam segala hal. Dan dia juga tidak menyangka jika saat itu Kinan tidak menolak saat dirinya berniat untuk meminangnya.
"Kamu sabar yah Kinan, aku tahu cepat atau lambat Gavin pasti akan menerima kamu."
Handoko langsung beranjak dari kursi roda sambil memegang dadanya dia hendak melangkah namun kakinya tergelincir.
"Astaga Mas ..."
Kinan langsung membantu mengangkat tubuh suaminya, kemudian membawanya ke kasur, dia juga berteriak meminta tolong pada pembantu di rumahnya.
"Inem, Tolong saya!"
Mendengar teriakan dari dalam kamar majikannya, Inem langsung masuk kamar kemudian melihat apa yang terjadi dengan Handoko, pria itu bernapas tersengal-sengal dan terlihat Kinan menangis memeluknya.
"Bu tuan ke-kenapa?" tanya Inem gugup.
"Tolong panggil ambulance kita bawa Bapak ke rumah sakit," titah Kinan sambil terisak.
Handoko terus menggumam nama Gavin saat napasnya tersengal, Kinan terus meyakinkan suaminya jika Gavin pasti baik-baik saja, dan dia pasti bisa jaga diri.
"Gavin ..."
"Mas, aku yakin Gavin baik-baik saja, Mas jangan cemas."
"Non ambulance sudah datang, petugasnya boleh dipersilakan masuk?"
"Masuklah, kamu jaga rumah yah Nem, saya ke rumah sakit dulu." Inem mengangguk, Kinan dengan cepat mengambil tasnya. Dia langsung masuk untuk mendampingi suaminya di dalam mobil ambulance.
Kinan tidak henti-hentinya menitikkan air matanya, dia menggenggam tangan suaminya dan memberikan semangat padanya.
"Kinan, hubungi Gavin dia akan menyesal saat dia tidak lagi melihat ayahnya."
"Mas ngomong apa sih Mas, jangan katakan itu."
"Mas titip Gavin padamu, Mas rasa umur Mas tidak akan lama lagi, ajari dia kasih dia pengertian agar dia jadi anak yang tahu diri."
Kinan menangis memeluk Handoko, dia tidak sanggup kehilangan suaminya karena pria itu begitu baik padanya.
Selama setahun bersama, Handoko menyayangi Kinan dengan tulus dan memberikan apa pun yang Kinan mau.
Begitu sampai di rumah sakit, Handoko langsung dilarikan ke UGD, Kinan menunggu suaminya diperiksa dia duduk di kursi tepat di depan ruang UGD, dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Gavin.
Dua pasangan sejoli Gavin dan Alisa rupanya sedang memadu kasih di apartemen Gavin. Alisa merupakan candu baginya sehingga tidak ada wanita satu pun menurutnya yang bisa seperti Alisa. Alisa mempunyai lekuk tubuh sempurna dia pun memiliki paras yang cantik.
"Gavin ... sentuh aku please," pinta Alisa sedikit memohon karena pria itu terlalu banyak melakukan role play di bagian sensitif tubuhnya hingga wanita itu meremang bergelinjang hebat, Alisa pasrah karena Gavin sudah mengatakan berkali-kali akan segera menikahinya dua bulan lagi, dia hanya sedang meminta restu ayahnya saja. Karena diam-diam Gavin sudah melamar Alisa di hadapan orang tua Alisa.
Gavin tersenyum, kemudian membuka pakaiannya dengan cepat, dia kemudian membaringkan Alisa yang tidak memakai kain sehelai pun. Wanita itu sudah tidak tahan ingin menjadi seutuhnya milik Gavin.
Gavin mulai menindih tubuh kekasihnya, Alisa tersenyum lalu mengalungkan kedua tangannya di leher Gavin. Dia memekik karena merasakan ada benda yang menerobos pada inti tubuhnya, namun saat Gavin ingin menghentakan miliknya ponselnya berbunyi. Suara yang nyaring membuat Alisa tidak nyaman karena benda tersebut berada di samping telinga Alisa. Di layar tersebut terlihat nama Ibu tiri Gavin memberi nama di ponselnya.
"Vin, Ibu tirimu."
"Biarkan saja, tidak begitu penting."
Gavin menghunjam tubuh kekasihnya hingga wanita itu meringis kesakitan, bersamaan dengan ponselnya yang terus berbunyi.
"Ini tidak lama sayang, sakitnya tidak akan lama."
"Ah ...Vin pelan-pelan."
"Aku akan melakukannya dengan lembut," ucap Gavin dengan sensual, pria itu sengaja mengatakan itu tepat pada cuping kekasihnya hingga wanita itu meremang. Gavin mengabaikan panggilan Kinan dan melanjutkan pertempuran panas dengan kekasihnya. Awalnya terasa sakit, namun semakin lama Alisa pun menikmatinya hingga keduanya mencapai puncak secara bersamaan.
Gavin menjatuhkan tubuhnya ke kasur bersampingan dengan Alisa yang sama terkapar berdaya, Alisa langsung memeluk Gavin dari samping dan mengatakan berjanji akan hidup bersamanya.
"Terima kasih Vin, aku menikmatinya kamu janji kan akan menikahi aku?"
Gavin tersenyum dan ikut membalikkan badanya menghadap Alisa dia mengecup pucuk kepala gadis itu meyakinkan kembali janjinya.
"Sudah hampir sepuluh kali aku mengatakan itu hari ini sayang, aku janji kita akan menikah dua bulan lagi, aku akan bawa kamu ke ayah untuk meminta restu."
Alisa tersenyum kemudian memeluk tubuh polos kekasihnya dan setelahnya ponsel Gavin kembali berdering dengan penelepon yang sama. Kinan menghubungi Gavin melakukan video call, wanita itu tidak mau jika dia menganggapnya berbohong, terpaksa akhirnya Gavin menjawab panggilan dari Kinan.
Kinan terkejut melihat Gavin tidak memakai pakaian, di sampingnya terlihat seorang wanita sedang memeluk tubuh polos Gavin.
"Gavin, Apa-apaan kamu!" ucap Kinan terlihat kesal. Dia langsung mengalihkan kameranya takut jika Handoko melihatnya.
"Halah norak banget pura-pura polos! Yang tua saja diembat!"
Kinan memejamkan matanya menetralisir amarahnya pada Gavin.
"Ayah kamu dirawat, tubuhnya tiba-tiba drop dan dia tidak sadarkan diri, dia menyebut nama kamu terus. Pulanglah dulu biar kamu tidak menyesal." Gavin langsung terkejut begitu Kinan mengarahkan kameranya pada ayahnya yang terlihat sedang beraling lemah. Dia langsung menutup ponselnya dan memesan penerbangan saat itu juga. Entah apa yang Gavin lakukan, padahal selama ini dia tidak pernah mendengarkan nasihat ayahnya. Namun melihat Handoko terbaring lemah pria itu langsung terenyuh.
"Ke mana Vin?" ucap Alisa, melihat kekasihnya bangkit dari tempat tidurnya. Pria itu mengambil ponselnya seperti hendak mencari sesuatu.
"Aku harus pulang, Ayah sakit keras."
"Aku ikut," kata Alisa dengan manja.
Gavin tidak keberatan, justru ini kesempatan yang bagus untuk bertemu ayahnya mengenalkan Alisa pada ayahnya. Pria itu langsung memesan dua tiket pesawat dan bersiap-siap menuju Jakarta.
Kinan tidak henti-hentinya menitikkan air matanya, baru saja Handoko sadar namun setelahnya Handoko mengalami kritis. Kinan tidak tahu harus bagaimana rasanya begitu sesak dadanya takut kemungkinan terburuk terjadi. Takut apa yang dikatakan suaminya barusan adalah nyata.
Hampir dua jam Kinan menunggu, namun belum ada perubahan apa pun pada suaminya, hingga tak disangka Gavin pun datang dengan seorang perempuan.
"Gimana Ayah," tanya Gavin basa-basi. Dia tidak menyalami Ibu sambungnya. Alisa pun tidak menyangka jika saat ini Gavin berbicara dengan ibu sambungnya. Karena yang dia lihat wanita di hadapannya ini masih sangat muda.
"Ayah masuk ruang ICU dia kritis."
"Kamu pasti berbuat sesuatu pada ayahku iya kan!"
Kinan menggeleng sambil terisak, sudah biasa jika tuduhan itu datang padanya.
Gavin tampak tidak bisa diam. Pria itu menengok pada kaca kecil ke ruang ICU tersebut hingga saat itu dokter yang memeriksa keluar dan bertanya pada keluarganya.
"Ada yang bernama Gavin dan Ibu Kinan?"
Keduanya langsung mendekat,
"Pasien baru saja siuman dan ingin bertemu dengan ibu Kinan dan Gavin, mari silakan masuk."
Gavin langsung berhambur memeluk ayahnya sambil berlinang air mata, hatinya merasa teriris saat melihat ayahnya sakit.
"Ayah maafkan Gavin, ayah harus sembuh Gavin tidak mau sendiri."
Handoko menahan rasa nyeri di dadanya kemudian terbatuk, sebelum akhirnya berbicara.
"Kinan mendekatlah," ucap Handoko menyuruh istrinya mendekat padanya.
Kinan langsung mendekat dan menggenggam tangan suaminya,
"Ada apa Mas," kata Kinan sambil menangis.
"Satu tahun kita berumah tangga, belum ada sedikit pun celah buruk yang aku lihat darimu. Kamu wanita hebat dan kuat Kinan." Napas Handoko terasa tersengal setelah mengatakan itu dia kembali beralih menatap wajah putranya Gavin.
"Gavin sebelum Ayah pergi, Ayah menginginkan kamu berubah. Tolong berubahlah kasian almarhum Mamamu. Papa juga ingin sekali saja kamu berkorban untuk ayah."
"Ma-maksud ayah?"
"Kinan gadis baik Nak, sebagai permintaan terakhir Ayah. Ayah ingin kamu menikah dengan Kinan."
DEG!