Gavin berlari menuju rumahnya, dia masuk di antara banyaknya tamu, dia melihat Inem tampak sedang sibuk, tak ada keluarganya satu pun yang bisa ditanya, tidak ada jenazah yang terbujur kaku di ruangan utama. Gavin mendekati Inem dia penasaran apa yang terjadi.
"Mbok ini ada apa?" Tanya Gavin, dia tampak terlihat khawatir dan kacau. Padahal jelas bendera kuning sudah berada di depan rumahnya.
"Astaga, Den Gavin, aden bikin kaget si mbok saja, "ucap si mbok, dia sedikit terisak karena sedih dengan kepergian Handoko, Handoko begitu baik pada si mbok.
"Ada apa mbok! Apa yang terjadi, kenapa banyak pelayat yang berdatangan?"
Si mbok tampaknya tidak tega mengatakannya, sampai dia menatap lekat Gavin. Karena terpaku, Gavin mengguncangkan kembali tubuh wanita paruh baya itu karena si mbok seperti enggan berkata dan malah membisu.
"Katakan Mbok!"
Gavin kesal, dia beralih menatap kamar ayahnya dan masuk ke dalamnya, semua terlihat tampak kosong bodoh sekali pikirnya. Terakhir dia melihat ayahnya berada di rumah sakit.
"Den ..."
Gavin menoleh ke belakang, melihat mbok Inem ternyata membuntutinya. Tampak derai air mata seketika keluar dari mulut si mbok.
"Tu-tuan Handoko ...ayah Aden sudah meninggal," ucap si Mbok terbata.
Bak disambar petir di siang bolong, jantung Gavin serasa hendak copot mendengar apa yang dikatakan pembantunya, ponsel yang sedang dipegangnya pun terjatuh begitu saja bersamaan dengan derai air mata Gavin, mulutnya menganga terlalu kaku untuk berbicara. Pantas saja berkali-kali Kinan berusaha menghubunginya, dia pun menggeleng lalu tertawa sulit menerima takdir yang begitu menyiksa.
"Mbok jangan bercanda, mbok pasti bercanda kan? Mbok mau buat aku prank?"
"Si mbok tidak bercanda Den, tuan saat ini sudah tidak ada. Dia sudah dimakamkan."
"Lalu kenapa tidak ada yang menghubungi aku!" Teriak Gavin, dia kemudian menangis.
"Non Kinan sudah berusaha menghubungi aden, namun tidak ada jawaban, tuan Frans pun sama sudah menghubungi Den Gavin lewat ponsel Ayah aden, tapi beberapa kali dihubungi aden malah mematikan ponselnya."
Mbok Inem langsung keluar setelah menjelaskan pada Gavin agar pria itu tidak menyalahkan terus ibu tirinya, dia kembali menjamu para pelayat. Sementara Gavin duduk di sisi ranjang ayahnya dan menangis, dia menyesali dirinya kenapa tidak menjawab panggilan dari Kinan dan Frans. Dia menyalahkan dirinya sendiri yang tadi siang malah asyik bercinta dengan kekasihnya Alisa.
"Bodoh!"
Sambil terisak, Gavin pun langsung keluar dan berlari menuju pemakaman umum, memori masa kecilnya tersirat dalam benak Gavin secara tiba-tiba, bagaimana Gendis dan Handoko dulu begitu menyayanginya, berlibur saat libur sekolah tiba, melerai pertengkarannya dengan temannya di sekolah saat sekolah dasar. Datang ke sekolah saat dipanggil guru BK. Semua perjuangan dan kasih sayang ayahnya tidak terhingga, pandangan Gavin langsung tertuju pada banyaknya pengiring yang mengantarkan jenazah ayahnya, dia merasa kesal dengan dirinya sendiri karena dia tidak ikut mengantarkan ayahnya pada peristirahatan terakhirnya. Kini dadanya begitu sesak melihat tempat peristirahatan terakhir ayahnya, betapa bodohnya saat dirinya menyadari jika dia tidak mampu berada di sampingnya saat ayahnya pergi untuk selama-lamanya.
"Ayah ..." tangis Gavin pecah, Kinan yang hendak pergi dengan keluarga, terkejut melihat sosok Gavin tiba-tiba datang lalu menangis dan memeluk gundukan tanah merah itu.
Frans menghela napas, tangannya terkepal ingin marah pada Gavin namun Kinan mengedipkan matanya agar Frans tidak melakukan itu. Kinan mendekat kemudian memegang tangan Gavin agar pria itu tabah, namun dengan cepat Gavin menghempaskannya, tatapan Gavin nyalang pada wanita itu dan berteriak kesetanan.
"Ini pasti gara-gara kamu Kinan, kamu pasti yang membuat Ayahku mati demi ingin menguasai seluruh harta ayah, iya kan!."
"Jaga bicaramu Gavin, sembarangan kamu kalau ngomong! "kata Frans angkat bicara,
"Dia istrimu!" Seketika keluarga besar terkejut mendengarnya dan bertanya satu sama lain.
"Demi Tuhan! Jika aku tahu ayah akan mati, aku tidak akan sudi menikahi dia!"
Air mata Kinan luruh seketika, Frans yang hendak menampar Gavin saat itu juga dihentikan oleh Kinan, dia tidak ingin ada pertengkaran di depan makam suaminya. Kinan pergi dari pemakaman tersebut seiring keluarga besar bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Handoko dan Kinan. Frans mengejar Kinan dan membiarkan Gavin meratapi kepergian ayahnya seorang diri.
Malam harinya setelah pengajian malam digelar, para tetangga dan keluarga sudah tidak ada, Gavin masuk ke dalam kamar Kinan, dia melihat Kinan masih menangis sambil memegang poto mendiang suaminya.
Gavin tersenyum miring,
"Sandiwara kamu sempurna Kinan hanya saja, aku bukan pria bodoh, aku tahu kamu hanya bersandiwara dan pura-pura sedih."
Kinan cukup terkejut dengan kedatangan Gavin ke kamarnya dan langsung mengatakan itu, namun saat ini dia tidak ingin berdebat. Dan menerima semua tuduhan Gavin.
Gavin tidak mau berbasa-basi, dia kemudian langsung melemparkan secarik kertas pada Kinan dan menyuruh dia membaca kemudian menanda tangan.
Kinan yang terkejut kemudian mengambil kertas tersebut lalu melihat kepada Gavin.
"Kamu baca dan tanda tangani."
"Apa ini Vin?" Kinan kembali menatap Gavin dan bertanya.
"Perjanjian pernikahan."
"Ma-maksud kamu."
"Pernikahan kita hanya terpaksa, saya akan menceraikan kamu empat puluh hari setelah ayah tiada."
DEG!
"Apa yang kamu lakukan Gavin."
Gavin tersenyum miring lalu tertawa.
"Jangan pura-pura bodoh Kinan, aku tahu kamu punya niat jahat kan, kamu tidak akan mau menerima ayahku dulu yang sudah tua jika kamu tidak memiliki satu tujuan yang licik!"
"Kita juga tidak ada cinta, dan ayah pun tidak ada, jadi buat apa aku menikahi kamu, aku pikir kamu pun sudah tidak berhak tinggal di sini karena ayah sudah tidak ada."
Kinan menggeleng dia hanya menangis dan tak mampu berkata-kata saat membaca bait per bait kertas di tangannya.
"Sudahlah jangan pura-pura cengeng di hadapanku! Aku tunggu kamu satu kali dua puluh empat jam untuk membaca dan menandatangani surat perjanjian itu."
Gavin langsung keluar dari kamar tersebut tanpa peduli bahwa Kinan hendak berbicara.
Namun saat Gavin keluar kamar Kinan, Frans datang setelah mengantarkan rekan bisnis Handoko menuju bandara.
"Besok kamu tidak usah ke mana-mana Vin, tadi pak Yohan menghubungi Paman, beliau akan ke sini besok untuk membicarakan harta gono gini, apa saja yang diamanatkan Ayah sama kamu untuk kamu kelola.
"Aku rasa tidak perlu ada notaris segala, sudah jelas anak semata wayang Ayah itu cuma saya paman."
"Entahlah paman pun tidak begitu paham, cuma ada hal yang harus diketahui oleh keluarga katanya, sehingga besok kalau tidak ada hal yang urgen lebih baik kamu tidak ke mana-mana."
Gavin mengangguk dia kemudian meninggalkan Frans begitu saja karena ponselnya berbunyi.
"Iya sayang kenapa?"
"Kamu di mana kok belum ke sini lagi Vin."
"A-ayah meninggal sayang, aku belum bisa keluar."
"Kamu serius Vin? Tanya Alisa sedikit tidak percaya.
"Iya aku pun tidak sempat menemuinya."
"Kalau begitu sekarang juga aku ke sana."