Sementara Pak Danang dan Binar sedang sibuk beradu argumen, Arga senyum-senyum memandangi foto Melia di media sosial twitter. Untuk menambah romantis suasana, ia sengaja memutar sebuah lagu lama milik Lingua.
~
Pabila tersayang jatuh di pangkuan
tiada keinginan hatiku menyayang
selain dirimu ....
~
Memang tidak ada selain dirimu Mel. Arga menggombal dalam hati dan tersenyum sendiri.
"Ngapain lo, senyum-senyum. Eh, tadi dipanggil Pak Danang, ada apa?" Novi mendekat, penasaran.
Arga menceritakan perihal kenaikan jabatan yang ditawarkan oleh bosnya itu.
"Widiw, selamat. Dih, kalah gue. Padahal duluan gue masuk ke sini. Traktir!" todong Novi yang memang dua tahun lebih tua dari Arga.
"Makasih, Nov. Ya udah, pulang kerja aku traktir makan." Arga tersenyum dan melakukan toss dengan Novi. Selama ini, mereka berdua memang selalu kompak. Saling membantu dalam pekerjaan, layaknya sahabat.
Arga membicarakan juga tentang Binar, gadis tidak punya sopan santun yang tadi tiba-tiba masuk dan marah-marah. Menurut Novi, hal itu sudah sering terjadi. Setiap kali ada masalah, Binar memang akan melampiaskan kesal, tidak peduli ia sedang berada di mana.
"Dulu waktu Pak Danang masih sering ke kantor, widiw ... bentar-bentar Mbak Binar nyusul, berantem. Sudah hafal orang sini, mah." Gadis berdarah Sunda itu bercerita dengan penuh semangat.
Selama beberapa menit, keduanya asyik bergosip tentang Binar, hingga sebuah suara memutus keseruan mereka.
"Mas Arga, dipanggil Pak Danang. Buruan." Salah seorang office boy menyampaikan pesan dengan mimik tegang.
"Hah? Lagi?" Arga beralih menatap Novi, menunjukkan kebingungan. "Jangan-jangan, promosiku dibatalkan, Nov."
"Hilih, udah buruan sana. Jangan mikir yang enggak-enggak. Mikirnya iya-iya aja." Novi mengibaskan tangan memberi kode agar Arga segera beranjak.
Sedikit tergesa, Arga melangkah menuju ruangan yang tadi baru saja ia datangi. Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Terdengar sebuah suara menyuruhnya masuk.
Ada yang berbeda dengan ekspresi Pak Danang. Terlihat tegang.
"Saya bukan orang yang bisa berbasa-basi, Ga. Jadi to the point saja, ya," ucap pria paruh baya itu tegas, setelah mempersilakan Arga duduk. "Kamu bilang, belum punya pacar, kan?"
"Betul, Pak. Apakah ada masalah dengan itu?" Arga balik bertanya.
"Kamu sudah bertemu anak saya beberapa kali, bahkan tadi bisa melihatnya dari dekat. Apa pendapatmu tentang dia?" Bukannya menjawab pertanyaan, Pak Danang malah mengajukan pertanyaan lain.
"Maksud Bapak?" Arga tetap tidak mengerti arah pembicaraan dan pertanyaan Pak Danang.
"Ya, jujur saja, apa pendapatmu tentang dia? Fisik, sifat, apa saja." Kali ini bosnya mau menjawab, melihat ekspresi Arga yang kebingungan.
"Kalau fisik, saya rasa semua orang pasti bilang dia cantik, menarik, modis. Bisa dibilang sempurna untuk seorang wanita, Pak. Kalau karakter, saya tidak tahu karena belum pernah berinteraksi secara langsung. Sangat tidak bijak untuk menilai apalagi melakukan judgement hanya dari menebak. Terlebih lagi, saya tidak punya indera keenam untuk itu, Pak," jawab Arga lugas.
"Hahaha! Saya suka kejujuranmu, Ga." Pak Danang tiba-tiba tertawa keras. "Ya, betul. Jawabanmu sangat tepat! Ga, kamu mau menikah dengan Binar?"
Hampir saja jakun Arga tertelan saking kagetnya.
"Bapak bercanda," katanya agak canggung.
"Kata siapa saya bercanda? Apa pernah saya tidak serius dalam menyampaikan sesuatu, Ga?" tanya pria gagah itu dengan tatapan tajam .
"Bapak serius? Tapi saya belum kenal anak bapak dan begitu pun sebaliknya." Arga bengong, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Pak Danang lalu menjelaskan keinginannya untuk menikahkan Arga dengan Binar. Sudah beberapa tahun gadis ini hidup tanpa arah. Setiap hari hanya jalan-jalan, belanja, nongkrong dan kegiatan tidak jelas lainnya.
Lebih parah lagi, Binar menjalin hubungan dengan seorang pemuda tidak jelas yang hanya bisa menyedot dana dari rekeningnya. Sudah lama Pak Danang memantau perilaku mereka, juga meneliti aliran dana dari tabungan serta kartu kredit Binar.
Di sisi lain, Pak Danang kagum melihat kemampuan Arga dalam mengatur perusahaan, walau baru sebatas di departemen finance. Ia melihat Arga memiliki bakat untuk mengelola bisnis, selain pembawaan dan disiplin kerja yang luar biasa. Potensi besar seperti ini sangat disayangkan jika harus lepas dari perusahaannya.
Menikahkan mereka akan mendatangkan banyak keuntungan. Sebagai pria yang bertanggung jawab dan tegas, Arga pasti mampu menjadi pemimpin perusahaan maupun keluarga dengan sangat cakap. Masalah Binar dapat terselesaikan dengan baik dan perusahaan tidak kehilangan sumber daya berharga seperti Arga.
"Mungkin Bapak belum mengenal pacar Mbak Binar dengan baik. Bukankah belum pernah bertemu, Pak? Apakah cukup menilai seseorang hanya dari data?" tanya Arga mencoba memberikan sudut pandang lain terhadap masalah bosnya ini.
"Memang tidak cukup, Ga. Tapi setidaknya kita tahu mana orang yang punya masa depan dengan yang tidak. Saya tidak bisa memaksamu. Pikirkan baik-baik tawaran ini. Orang lain pasti akan langsung menyanggupi. Kenapa kamu tidak?
Binar adalah anak semata wayang kami. Sebagai ayah, tentu ingin memberi yang terbaik untuknya. Perusahaan juga harus jatuh ke tangan yang mampu dan terpercaya untuk mengelolanya. Ini kerja keras keluarga kami berpuluh-puluh tahun. Saya rasa, kamu sangat memenuhi kriteria itu, Ga." Pak Danang menjelaskan dengan tenang tapi tegas.
"Kita jalani saja dulu, Pak. Anda juga belum tahu saya sepenuhnya seperti apa. Selain itu, ada satu gadis yang harus Arga temui. Jika dia menolak ... lagi, saya akan pertimbangkan tawaran Bapak. Tapi jika dia menerima, mohon maaf, Pak," tegas Arga.
"Inilah kenapa saya menyukaimu. Tegas, lugas, tidak bertele-tele. Kamu tahu apa yang kamu kerjakan, dan paham dengan rencana. Saya tunggu kabar baikmu. Kembalilah bekerja."
Arga melangkah kembali ke ruangannya.
Aku harus segera menemui Melia, agar semuanya menjadi jelas, tekad Arga dalam hati.
Diraihnya telepon genggam di saku. Sejenak ia ragu. Sudah bertahun-tahun tak pernah menyapa gadis itu. Sesekali saja menekan tombol suka pada cuitan Melia di twitter, tapi tak pernah sekali pun meninggalkan jejak komentar apalagi mengirimkan pesan pribadi padanya.
Kalau tidak sekarang kapan lagi. Arga meyakinkan dirinya sendiri.
Setibanya di ruangan, Novi tak ada di tempat. Arga mengarahkan ibu jari pada tombol bertuliskan 'pesan'. Jemari terasa kaku dan berat. Sambil menutup mata, ia menekan tombol tersebut. Matanya membuka perlahan, lalu mengembuskan napas berat.
[Hai, Mel. Apa kabar? Semoga di sana baik-baik saja]
Ah, terlalu kaku. Dihapusnya pesan itu, lalu kedua ibu jari mulai menari lagi.
[Hai, Mel, ini Arga. Bagaimana kabarmu?]
Dengan jantung berdebar, Arga menunggu. Ia putuskan untuk menyibukkan diri dengan bekerja. Tak sampai sepuluh menit, telepon genggamnya bergetar.
Hampir saja ia berteriak. Terlihat notifikasi pesan di akun twitternya.
[Baik, Ga. Masih inget lo ma gue?]
Arga membaca pesan tersebut berulang kali, memastikan bahwa ia tidak salah baca atau sedang berhalusinasi. Tubuhnya panas dingin membaca balasan singkat itu.
[Masih, dong. Tidak pernah lupa sedetik pun. Mel, boleh aku menemuimu di Jakarta? Ada hal penting yang ingin kubicarakan. Waktu dan tempat, kamu saja tentukan. I will be there.]
[Gaya lo tetep, ya. Singkat, to the point. Sabtu minggu depan gue free, gimana kalo ketemu di Kemang Village jam sebelas siang. Kita lunch sekalian ngobrol. See you there!]
Tak disangka Melia membalas pesan dengan cepat.
Yessss! Arga mengepalkan tangannya.