Suasana pagi ini begitu cerah, secerah hidupku yang dengan riang menikmati waktu demi waktu di rumah. Ponsel di tangan kanan, dan rokok di dua jari kiriku. Senangnya bisa saling mengabari, meski belum sampai satu hari di rumah, rasanya begitu menyenangkan.
Panas terik matahari semakin menjadi, sekitar pukul 11:25 WIS. Menjelang waktu zuhur. Jiwa mudaku masih berselimut dalam bahagia, meski berjalannya waktu kulewati, sia-sia. Perlahan, suara syahdu dari sepiker masjid mulai terdengar memenuhi telinga. Kubaringkan tubuhku, menghela napas panjang-panjang, berdesus mendengarkan lantunan itu.
"Bangun, sudah ada panggilan dari masjid! Mandi dulu," tegur Ibu.
"Iya, Buk, sebentar lagi. Capek!" Aku menggeliat kan tubuh. Akhirnya tanpa sadar, aku terlelap, terkapar. Kulalui teriknya matahari, dengan ciptakan mimpi.
"Min, Amin, bangun!" Ibu berusaha membanguni lelapnya tidurku menjelang sore. Kembali kubergegas mandi, segera melaksanakan Salat Zuhur.
Aku masih lalu-lalang di rumah, dengan ponsel yang tak bisa lepas dari genggaman tangan. Menjelang waktu ashar, aku beranjak ke dapur untuk makan. Perlahan kumelangkah, berusaha tidak mengganggu istirahatnya Ibu yang tertidur, kelelahan.
'Biasanya, jam segini masih asyik ngobrol. Sekarang, makan kapan pun bisa,' gumamku sembari menyentong nasi. Tidak lupa dengan ponsel yang masih menemani makanku, tarik-ulur beranda Facebook.
Keindahan senja, tertelan begitu saja. Belum puas aku menatapnya, lebih dulu disapa sang mega yang perlahan gelap. Aku menuju perkumpulan teman biasanya, di gubuk tepi sungai. Di sana hanya ada Hadi yang lagi duduk santai, sembari menatap ponsel.
"Makin kalem saja kamu, Bro," sapa Hadi teman di kampung.
"Eh, kamu Di, apa kabar?"
"Baik-baik saja! Kangen gua sama kamu, Bro."
Hadi menepuk pundakku, beriringan dengan tawa-tawa kecil, memamerkan sikap kegilaannya yang pernah diciptakan, kini hanya kecanggungan yang tak bisa lagi mengulang kisah itu.
"Ngopi di luar, yuk!" ajak Hadi.
"Ayo!" Aku menyetujui.
"Aku hubungi teman yang lain, ya, siapa tahu mereka mau ikut," ucap Hadi, memandangi ponsel tergopoh-gopoh.
'Seperti ini kalau sudah pulang. Main ponsel bebas, merokok pun juga bebas. Biasanya malam-malam begini tidak pernah lepas dari lembaran kuning, yang aku baca. Nikmatnya.'
Lalu-lalang banyak roda dua memenuhi keindahan jalan raya, menjadikan semua debu beterbangan tak kenal arah.
Aku kira ada yang berbeda, ternyata hanya akunya saja yang terlalu lama berlabuh dalam keindahan suasana di pesantren. Tempat tongkrongan itu terlihat semakin ramai pembelinya, pemuda-pemudi tertawa lepas, tidak kenal waktu.
Malam,
Sampai kapan engkau mau mengayomi mereka
Tiada kenal waktu berhura-hura
Lupa akan Sang Pencipta
Debu,
Engkau begitu rela menyaksikan mereka
Keindahan malam yang mereka sia-siakan
Sehingga tidak sadar, bahwa dirinya hidup di dunia fana
Hanya kata semoga yang bisa aku ucapkan
Agar mereka kembali ke jalan yang sebenarnya
Bukan hanya kehampaan yang kerap dilakukan
Menjadikan sikap buruk sebagai insan
Bagaimana dengan keadaanku?
Melihat mereka yang setiap hari membuang waktu
Tanpa keinginan sedikit pun untuk bisa menyatu
Dengan Pencipta yang Maha akan semua perkara baru
Sekitar jam 20:45 WIS. Aku pulang mendahului Hadi dan teman yang lainnya. Tidak sanggup dengan kemungkaran yang terus menahan adanya ingkar di hati. Mau mengingatkan mereka, tetapi apalah daya aku yang bukan siapa-siapa. Hanya seorang santri yang masih minim ilmu.
"Dari mana, Nak?" tanya Ibu.
"Ngopi sama Hadi, Buk. Amin pulang dulu, mau tidur," jawabku singkat.
"Iya, jangan terlalu malam ngopinya. Takut subuhnya susah dibanguni."
Aku masuk rumah mendahului Ibu, sambil memasukkan motor yang tadi aku bawa. Berusaha menyembunyikan semua keluhan yang aku alami di luar sana, meski hanya doa yang bisa aku panjatkan untuk mereka. Dengan harap Allah memberikan hidayat untuk mereka, dan bisa dibukakan pintu hatinya. Amin.
"Bangun-bangun! Tahajud kita, jangan tidur terus." Pengurus itu membawa gayung berisi air.
Aku berusaha membuka mata yang terlalu lelap dalam tidur. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur, meskipun sedikit berat. Aku memandangi sekitar tempat, yang terlihat hanya atap rumah, kelambu dan guling di sampingku. Ternyata, dan ternyata. Suara pengurus itu hanya sebuah bunga dalam tidurku. Dari sakingnya terbiasa di pesantren, sampai terbawa mimpi waktu pulangan.
Memang benar kata pepatah; Kebiasaan baik adalah awal dari jalan kesuksesan kita.
Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur, kulihat jam di ponsel masih menunjukkan pukul 03:35 WIB. Bergegas ke kamar mandi, kudapati Ibu sudah bangun terlebih dahulu, beraktivitas di dapur.
"Sudah bangun, Nak?" tanyanya, yang kutanggapi anggukan.
Aku membentangkan sajadah, bermunajat kepada Sang Esa, merayu malaikat-Nya, sekalian menunggu waktu subuh tiba. Lantunan zikir dari pesantren, menenangkan hati dalam kesendirian dalam kamar.
Kunikmati kesejukan di pagi hari, di depan rumah. Menghirup udara pagi, bersamaan dengan aktivitas beberapa saudara di sekitar rumah, yang beres-beres halaman rumahnya. Sebagian ada yang sudah siap dengan cangkul untuk pergi ke sawah, ada juga yang sudah rapi berbelanja ke pasar, pagi-pagi.
"Sarapan dulu, Nak. Ini sekalian kopinya." Ibu menyediakan sarapan di pagi hari.
"Biar Amin ambil sendiri saja, Buk. Jangan diantar seperti ini," kataku.
"Sudahlah, Ibu kasihan sama kamu, Ibu juga kangen sama kamu yang dulu susahnya minta ampun kalau disuruh makan."
Aku tersenyum sedikit malu. Kenakalan yang dulu aku perbuat, masih saja Ibu ingat.. Anehnya, Ibu masih saja sayang sama anaknya. Inilah keindahan hidup, di mana perjuangan orang tua tanpa pamrih. Meskipun bisa dibilang, anaknya masih di awal perjalanan apik, tetapi Ibu sudah merasakan kebahagiaan yang menarik.
"Nanti jangan lupa main ke rumah Nenek. Beliau tanya-tanya kamu terus, sebelum kamu pulang."
"Insyaallah, Buk."
"Alhamdulillah, Anak Ibu sudah bisa bilang Insyaallah. Berkah pesantren kamu ada perubahan, Nak. Giatkan lagi belajarnya!"
Lagi, lagi, dan lagi. Ibu kembali memuji dengan sikapku yang sudah mulai ada perubahan. Dari sini, aku mempunyai inisiatif yang tinggi untuk lebih giat lagi, demi membahagiakan Ibu dan Bapak.
"Bapak sudah sarapan, belum?" tanyaku sama Ibu.
"Bapak lagi ke sungai, sebentar lagi pulang. Kamu sarapan dulu, biar nanti Bapak sarapan sama Ibu."
Aku menikmati sarapan pagi, dengan pakaian yang masih rapi, tidak lepas dari ponsel yang selalu dibawa ke mana-mana setiap hari.