Chereads / Kisah di Bilik Pesantren / Chapter 6 - Ada Karma Tersendiri

Chapter 6 - Ada Karma Tersendiri

'Jangan meniru monyet yang suka melanggar peraturan pesantren.'

Siapa yang tidak malu, kalau ditakzir berdiri di atas gentong, dipajang di halaman pesantren. Apalagi dengan label tertulis seperti itu.

Semua pandangan santri tertuju terhadap pemandangan yang ada di halaman pesantren. Berdiri berjejer di atas gentong, setelah diinterogasi, dan digundul sebagai takzir. Sebelas santri yang tadi pagi melanggar, kini resmi untuk ditakzir sebagaimana ketetapan pesantren. Apalagi hari Rabu, yang sorenya banyak orang tua mengirim para santri. Sudah jelas, malunya bukan main.

Pesantren Salafiyah yang aku tempati ini, terkenal dengan kekeramatan kiai-kiai tempo dulu. Oleh karenanya, wali santri dan para santri yang punya niat lurus, pasti sangat berhati-hati, takut ada kesalahan sedikit pun. Tidak heran, jika wali santri yang mengirim anaknya terpaksa kembali pulang, disebabkan anaknya ditakzir karena pelanggaran. Alasan mereka simpel, malu dan takut tidak mendapat berkah dari kiai pesantren.

Seperti yang dialami oleh Rizki--salah satu dari sebelas santri yang melanggar--terpaksa tidak menerima kiriman dari orang tuanya, bulan ini. Makanan yang sudah dibawa oleh orang tuanya, terpaksa dibawa pulang kembali.

'Maafkan aku, Pak. Aku telah membuat Bapak kecewa,' gumam Rizki di saat melihat orang tuanya kembali pulang.

Tidak sengaja aku melihat tetesan air matanya jatuh, bergantian. Rizki tidak tahu lagi apa yang ingin ia katakan. Sangat terlihat, keadaannya terpukul dengan pahitnya kenyataan yang ia terima saat ini.

Aku meninggalkan pemandangan berjejer itu, kembali ke asrama. Mereka sangat menjadi pelajaran bagiku, supaya ke depannya aku bisa berhati-hati ada di pesantren ini. Bisa dibayangkan, bagaimana kecewanya orang tua kalau sudah seperti mereka.

Takziran itu berlaku sampai menjelang magrib, setelah itu diperintah untuk membaca Surat Yasin sebanyak 15 kali di asrama masing-masing, yang tak lupa dikontrol oleh ketua asramanya.

Semua santri berlalu-lalang untuk sekadar melihat ke sebelas santri yang melanggar, disertai bisik-bisik tentang mereka.

"Banyak sekali, ya."

"Santri baru juga ikut-ikutan."

"Untuk ke depannya, kita harus berhati-hati lagi ada di pesantren, jangan sampai seperti mereka."

Di sisi lain, di antara sebelas itu tidak ada satu pun yang berani mendongakkan wajahnya, semuanya menunduk menahan malu. Terlebih Rizki, yang pipinya terus dibanjiri air matanya. Ada juga salah satunya yang tiada henti menampakkan senyumnya, menganggap biasa-biasa saja.

"Ya, mau bagaimana lagi. Semua ini memang kemauan kita."

"Malu tauk."

Pemandangan di sore hari kian indah, di Pesantren Salafiyah. Sebagian dari mereka menikmati makanan dengan posisi kelompok melingkar. Begitupun aku, yang ikut kelompok Herman, menikmati kiriman. Indahnya tidak bisa lagi dipungkiri, saling diskusi di waktu makan, dan menertawakan kejadian yang kian menjadi pelajaran.

"Lucunya itu, di waktu mereka diinterogasi, mau nangis. Akhirnya saling menyalahkan," ucap pemuda bernama Herman.

"Untungnya Amin tidak ikut ajakan mereka," ucap salah satu mereka, dengan menatap ke arahku.

Sontak, pemuda dengan penampilan rapi itu menatapku, sinis. Tidak mau kalau aku bersikap yang tidak mengatasnamakan santri.

"Eh, kapan aku diajak mereka?" tanyaku.

"Kamu kan dekat dengan sebagian mereka? Apalagi Arif, teman kelasmu," ucapnya, terpaksa menghentikan makannya. Pemuda tegar yang selalu menemaniku, tiada henti menatapku. Seolah aku sudah mengetahui kejadian itu.

"Ternyata kau diam-diam menyembunyikan pelanggaran, Min?" Pemuda itu tampak tidak enak makan. Semua pandangan itu terlihat begitu sinis, menatapku.

"Ada di pesantren dan menjadi santri itu harus sebisa mungkin menampakkan sikap kesantriannya. Agar ketika kita lulus, bisa bermanfaat untuk sekitar kita. Intinya, santri itu mewarnai, bukan malah diwarnai."

Ketua asrama yang satu ini, sangat bijak memberikan solusi dan motivasi. Selain penampilannya rapi, tingkah lakunya juga patut diikuti. Karena itulah, dia bisa diamanati oleh pengurus dan juga kiai.

Azan Magrib sudah tiba. Semuanya bergegas ke masjid, lalu-lalang untuk mengambil Wudu bergantian, tidak lupa dengan pengurus yang berkeliling asrama mengontrol berjalannya kegiatan. Lantunan Selawat di masjid begitu indah, penuh ketenangan. Dihiasi seragam putih hijau, menyejukkan suasana.

***

"Pengajian pagi ini diliburkan, karena pengasuh memerintah kita untuk kerja bakti, membersihkan halaman pesantren. Supaya pesantren kita bisa lebih enak lagi untuk kita tempati."

Selesai Salat Subuh, ketua pengurus memberitahukan himbauan untuk para santri libur mengaji di pagi hari, diganti dengan kerja bakti.

Semua santri lebih senang untuk diajak kerja bakti, dari pada harus mengaji. Begitu pun yang aku rasakan. Sepertinya, kalau untuk mengaji setengah jam saja, rasa kantuk hadir begitu saja. Namun, untuk kerja bakti, secapek bagaimanapun, justru sangat menyenangkan. Biasalah.

"Min, setelah kerja bakti, kita belajar bersama, ya, soalnya tidak lama lagi kita ujian semester dua," kata Riyan menghampiriku.

"Insyaallah, Yan, soalnya aku mau cuci baju dulu," jawabku.

"Aku tunggu di tempat biasanya, ya."

Sedikit demi sedikit, Riyan sudah paham dan sadar tentang kehidupan di pesantren, dan dia mulai mengajakku untuk belajar bersama. Ini adalah salah satu penyemangat dalam kehidupanku di sini, aku bisa saling tanya jawab tentang pelajaran dan yang lainnya. Sama dengan apa yang pernah Herman katakan kepadaku, waktu itu. 'Belajar itu perlu tempat yang tenang, dan nyaman. Namun, kita juga harus punya teman untuk bisa saling tukar pikiran, tentang apa yang kita pelajari.'

"Tumben kamu, Yan, pagi-pagi begini," kata teman satu kelas.

Iya, seperti itulah kehidupan yang dialami. Tidak ada yang benar-benar menjadi manusia yang memanusiakan manusia. mau berperilaku sebaik apa pun, yang namanya komentar itu pasti ada. Apalagi, kalau sampai melakukan hal yang buruk.

"Jin Islam yang merasukiku," ucap Riyan sembari menenteng kitab yang akan dipelajari. Sementara temannya, Andi, dengan usilnya berusaha membujuk Riyan untuk tidak belajar.

"Sedia payung sebelum hujan," lanjut Riyan dengan niat menyindir.

Sudah tidak asing lagi, yang namanya setiap organisasi tidak semua bersikap sama, tidak semua harus rajin semua, dan juga tidak semuanya malas.

Sebagaimana pepatah ulama: 'Kalau di dunia ini baik semua, bagaimana nasib bumi ini? Yang buruk menjadi penyeimbang yang baik, dan begitu pun sebaliknya.' Oleh karenanya, dunia akan indah dengan adanya dua sifat ini.

"Aku yang sudah empat tahun ada di pesantren, baru kali ini aku paham maksud orang tuaku menempatkan aku di pesantren. Sedangkan kamu, Min. Belum satu tahun kamu ada di sini, sudah terlihat giat sekali belajarnya," Riyan membuka obrolan, sesampainya aku di masjid.

"Yang mendorong kamu bisa sadar seperti ini, apa?" tanyaku.

"Noda yang aku torehkan di pesantren. Bertahun-tahun aku melakukan pelanggaran di sini dengan sembunyi, dan aku merasa tidak tenang saat aku ingat semua itu. Apalagi aku membandingkan semua pelanggaranku dengan jerih payah orang tua," Riyan panjang lebar bercerita tentang kehidupannya di pesantren yang hampir semua santri sudah tahu.

"Aku pun tidak tahu, apakah pesantren ini akan mengampuni semua pelanggaranku, atau suatu saat nanti aku akan menerima pernyataan pahit dari pesantren, dan menjadikan aku anak yang tidak berguna untuk orang tuaku. Itu yang selama ini aku rasakan," lanjutnya.

Aku hanya menatap atap masjid, dengan keadaan terlentang sejajar dengan Riyan. Aku merasakan apa yang sebenarnya dialamiRiyan. Namun, sungguh. Aku sama sekali tidak menemukan solusi tentang ini. Secara, aku yang masih tidak tahu apa-apa dengan kehidupan di pesantren seperti apa, hanya melakukan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. Selebihnya, aku belum paham.

"Apa hubungannya pelanggaran yang kamu lakukan dengan pesantren? Kamu 'kan tinggal menyadari dan berusaha tidak mengulangi lagi, beres!" kataku.

"Bukan begitu, Min. Kata pengasuh waktu itu pernah bilang, "Kalau santri punya salah kepadaku dan suka melanggar di pesantren, aku sih bisa saja memaafkan. Takutnya, pesantren yang tidak rida dengan pelanggaran santri, bisa saja suatu saat pesantren mengubah kehidupan santri yang suka melanggar, dengan nasib yang tidak pernah diinginkan." Karena itulah aku kebingungan dengan keadaanku sekarang ini."

Seketika aku merasa terpukul dengan apa yang telah Riyan katakan kepadaku. Kesadaran Riyan, mampu menyadari aku juga, yang terkadang masih suka bermalas-malasan.

Pesantren memang tempat paling keramat, dan tidak bisa dibuat untuk main-main. Kualatnya mampu mengubah semua nasib santri, dan terlihat dari masing-masing kebiasaan yang dilakukan oleh santri