Chereads / Kisah di Bilik Pesantren / Chapter 9 - Kewibawaan itu Harus

Chapter 9 - Kewibawaan itu Harus

"Sudahlah, Min! Buat apa kamu ladeni dia sih." Pemuda sebayaku itu berusaha menenangkan.

"Terlalu memaklumi sifat kekanakannya membuat batin ini tersiksa."

"Nanti kita diskusikan lagi, setelah isya. Lebih baik kita tenangkan dulu," ucapnya, dengan memosisikan duduknya di depanku.

Seperti inilah dalam berorganisasi. Bahwa, tidak semua di dalamnya dengan jalan yang sama. Bisa saja dalam berorganisasi, justru bisa berantakan dengan orang yang ada di dalamnya.

Setelah beberapa menit, aku menyibukkan diri dengan mencoret-coret isi kertas, beberapa pepatah yang tiba-tiba muncul dalam pikiran, kuukirkan dalam lembar catatan.

Adalah santri sosok yang bisa sukses dunia akhirat, dengan niat yang tepat

Adalah santri sosok penerus bangsa untuk menyebarkan agama syariat

Adalah santri yang menjadi pengganti dari pada para nabi

Adalah santri sosok yang akan mengayomi semua umat

Santri

S elama tentang agama

A kan diperjuangkan tanpa kenal lelah, agar kelak

N anti bisa menjadi umat yang sebenarnya, bukan sekedar hidup

T etapi tidak paham tujuan di dunia

R abbi, tunjukkan jalan lurus-Mu, dan bantulah aku yang memperjuangkan agama-Mu

I zinkan aku mengubah sikap burukku dengan memohon ampun kepada-Mu.

====

Tahun 2019 kini menjadi pengalaman terberatku. Menjadi ketua kelas, sekaligus ketua kepengurusan seperti yang pernah Herman alami, di tahun 2017. Kini berputar balik terhadap aku yang sudah menduduki kelas enam Ibtidaiah.

Banyak yang bilang, kalau sudah menjadi pengurus itu enak. Bisa mengatur ini itu, sesuai kegiatan masing-masing. Namun, mereka tak sedikit pun ingin tahu, bagaimana rasanya mempunyai tanggung jawab yang besar dari pengasuh langsung. Salah sedikit pun, bisa mengakibatkan fatal. Begitulah alur cerita dalam hidup, yang semua orang alami. Segiat apa pun berusaha agar tidak ada kesalahan, yang namanya komentar dalam hidup pasti akan mengetahui titik kesalahan yang akan dialami, meski itu sedikit.

"Jadi pengurus, jangan mentang-mentang, ya," kata salah satu ustaz.

"Maksudnya bagaimana, Ustaz?" tanyaku pada sosok berjubah putih, rapi. Biasanya dipanggil Ustaz Ali.

"Kalau kamu membanguni teman-teman santri, usahakan setelah mereka bangun pengurusnya jangan tidur! Takut mereka susah untuk diatur."

Siapa yang tidak merasa kaget? Kalau dalam satu organisasi mendapat komentar yang kurang apik. Di sisi lain, pengurus juga mengutamakan amanahnya untuk bisa semaksimal mungkin mengurusi teman-teman santri. Namun, apalah daya kalau semuanya itu hanya sia-sia.

'Apa semua pengurus tempo dulu, mengalami hal yang sama? Atau hanya terjadi terhadap kepengurusan yang sekarang aku alami,' gumamku di saat berhadapan dengannya.

"Tanpa kalian sadari, banyak bawahan kalian yang suka mengomentari. Itu pasti. Sedikit pun kesalahan yang kalian lakukan, mampu mengubah semua kebaikan yang kalian usahakan. Berhati-hatilah untuk memperbaiki diri sendiri," lanjutnya.

Ustaz Ali. Beliau memang jarang mengurusi kegiatan di pesantren. Meskipun, di tahun-tahun sebelumnya, beliaulah yang menjadi ketua dua kepengurusan pesantren. Karena seiring berjalannya waktu, dan beliau disibukkan dengan kesibukan keluarga, akhirnya digantikan kepada Ustaz Zainul. Namun, kalau sudah ikut mengurusi kegiatan pesantren, pastinya semua masalah bisa diatasi. Selain penampilannya rapi, juga baru menikah, beliau diselimuti ketegasan dalam sikap tanggung jawabnya.

***

Sang fajar menampakkan keindahan cahayanya menjelang Salat Dhuha, dengan pemandangan indah di Masjid Baitul Muttaqim dipenuhi jamaah santri, melaksanakan Salat Dhuha. Setelah itu, Kh. Hamid, berjalan menuju halaman pesantren, untuk melihat keadaan pesantren yang beliau bangun dari awal tahun 2003. Sekaligus ingin mengetahui kegiatan-kegiatan yang berjalan, akhir-akhir ini.

Semua santri yang berada di sekitar halaman pesantren, menunduk takzim menyambut langkah demi langkah beliau. Halaman pesantren yang dari kemarin-kemarinnya terdengar gemuruh, tanpa kenal waktu, kini sunyi tanpa suara sedikit pun. Bukan hanya suara obrolan, suara batuk pun tidak terdengar, jika pengasuh mulai memantau halaman pesantren.

"Teman-teman santri harus membaca Nazam lebih awal, sebelum gurunya masuk kelas. Jangan sampai ada santri yang telat!" ucapnya, melihat para santri perlahan memasuki kelasnya masing-masing, sambil duduk santai di gubuk (khusus) yang ada di depan halaman kelas.

Serentak. Semua santri yang mulanya masuk sekolah terlambat, kini beranjak terlebih dahulu, tanpa mementingkan lagi apa itu mandi. Tidak seperti biasanya, yang masih terlihat lambat kalau diperintah oleh pengurus, atau gurunya. Kini, tanpa pengontrolan lagi, semua santri masuk sekolah dengan tertib sebelum jam sekolah dimulai.

Pemandangan yang indah, nyaman dilihat. Hijau putih yang melambangkan kesantrian sangat menarik untuk dilihat. Cara berjalannya pun melambangkan sikap santrinya, dengan kitab-kitab yang dibawa dengan takzim, tanpa ditenteng.

"Kalau seperti ini terus, kan, enak? Masuk kelas dengan tertib, jangan lari-larian," kata wali kelas empat, Ustaz Zainul.

Para santri yang ada di kelas, duduk dengan tenang tanpa terdengar suara, kecuali suara ustaz yang menerangkan pelajarannya. Itu pun karena ada pengasuh. Jangan heran, kalau wali kelas berkata demikian.

Biasanya, sebagian ada yang telat, sampai lari-lari kecil untuk masuk kelas. Sebagian juga ada yang ramai di kelas, tanpa menghiraukan guru yang menerangkan. Namun, di pagi yang sangat cerah ini mengubah semua suasana kelas, tenang. Untaian demi untaian yang terucap dari ustaz begitu bijak, sesuai dengan syariat, tatkala menyampaikan sebuah nasihat.

Satu Setengah jam berlalu. Sebelum menutup pelajaran di kelas, biasanya wali kelas menyampaikan sebuah nasihat yang tertuju terhadap akhlaknya santri itu sendiri. Juga tidak lupa untuk mendoakan pengasuh, supaya diberi kesehatan dari semua penyakit, di usia yang sekarang ini. Sepuh.

"Jadi kita sebagai santri beliau, meniru bagaimana akhlak beliau, cara menyikapi kita sebagai santrinya. Beliau yang terkenal sabar dalam menghadapi semua masalah. Setidaknya santrinya juga tidak jauh berbeda dengan sikap yang selama ini beliau ajarkan kepada kita. Kita doakan, semoga beliau tetap sehat, dan kita diakui sebagai santrinya, dunia akhirat."

Begitulah, penyampaian seorang ustaz terhadap muridnya, yang tidak jauh berbeda seperti dulu waktu aku yang masih tidak paham akan etika, menjadi santri. Karena tanpa nasihat yang disampaikan seorang ustaz, santri tidak akan ada kemauan untuk mengubah sikapnya yang penuh dengan kenakalan itu.

"Achmad! Bisa nggak suaranya dikecilkan? Ini masjid, bukan pasar," ucapku dengan nada tinggi, ketika lagi santai-santai di masjid dengan teman yang lain. Sementara, sebentar lagi adik-adik yang masuk mau istirahat.

"Cari muka!" katanya, memasang wajah andalannya, sinis.

"Sikapnya kekanakan banget," ucapku lirih, sembari menahan kepalan tangan.

ULAHNYA SENDIRI

"Ujian akhir sekolah sebentar lagi, kurang tiga bulanan," ucap Riyan, duduk bersanding di depan kelas saat istirahat kedua.

"Akhir-akhir ini aku sudah tidak ada semangat lagi membuka kitab," kataku.

"Kalau tidak lulus, bagaimana?" tanya Riyan.

"Jangan berpikir demikian. Kita usahakan semaksimal mungkin, mengajak teman untuk lebih giat lagi belajarnya."

Di mana pun, dan siapa pun pasti akan mengalami apa itu rembukan dalam organisasi. Apalagi yang menjadi kepercayaan dalam organisasi, pasti akan mencari solusi untuk mengharumkan nama baik organisasinya. Entah itu pahit atau manis. Entah itu dibenci atau dipuji. Tergantung siapa yang menyikapi. Belum lagi kalau dalam satu organisasi terdapat teman pemalas, dan susah diatur. Masih untung kalau yang malas, tetapi mudah untuk diatur. Bagaimana dengan yang sok pintar yang tidak bisa diatur.

'Ikhlas, dan sabar adalah kunci memetik kebahagiaan kelak nanti, karena yang namanya hidup pasti ada saja perasaan untuk menyerah dalam perjalanan. Namun, cobalah untuk bersabar dan ikhlas menjalaninya.' Petuah yang sempat Herman berikan, tiba-tiba teringat kembali.

Bercanda gurau dengan teman di depan kelas menjadi rutinitas, duduk berjejer ketika jam istirahat sudah tiba. Semilir angin di awal sore sangat menyesuaikan sekitar, dengan melihat pemandangan santri yang lalu-lalang mengisi kegiatan kebersihan.

"Jangan mengotori pesantren, jika kamu masih mau menuntut ilmunya. Peraturan yang kamu taati, tidak akan membuat kamu sesal kelak nanti. Bersabar, ikhlas, dan taat. Jika kamu punya tanggung jawab, tetapi dibuat kesempatan. Itu banyak percumanya," pesan dari Ustaz Malik, ikut duduk bersama.

Susahnya bukan main kalau sudah menjadi pengurus, jika ada salah satu santri yang melanggar, tetapi tidak menyadari. Seperti yang aku alami, ketika mengetahui santri yang punya tanggung jawab kebersihan berkomunikasi terang-terangan, menyalahi terhadap peraturan.

"Ngobrol apa saja dengan santriwati?" tanyaku padanya.

"Cuma bertanya, sampah-sampah yang ada di pesantren putri masih ada apa tidak."

"Kenapa sampai tersenyum yang berlebihan? Tidak masuk akal."

"Berarti kamu juga melihat, dong! Jangan mentang-mentanglah," katanya sinis.

"Aku cuma menjalani amanah, tidak bermaksud melihat juga."

Pengurus kebersihan itu langsung berlalu meninggalkan aku, yang masih mencurigai apa yang sudah terjadi. Selama bergantinya tahun, tidak pernah aku temukan anak kebersihan ngobrol bebas dengan santriwati. Selain yang dilakukan oleh Ahmad sore ini.

Aku yang mengetahui jelas tindak laku dari Ahmad, langsung melaporkan terhadap beberapa teman satu kelas yang sama memiliki jabatan pengurus. Guna untuk mencari solusi, enaknya bagaimana. Karena, tanpa ditindak, selamanya akan menjadi kebiasaan, turun menurun.

"Menjelang waktu magrib tadi, tidak sengaja aku melihat Ahmad ngobrol asyik dengan santriwati waktu mengambil sampah dari santriwati. Sampai-sampai dari keduanya tertawa kecil, membuat mata yang melihat mencurigainya. Aku sebagai ketua pengurus kelas enam, minta solusi dari teman-teman untuk menindak lanjut terhadap Ahmad."

Aku, Riyan, Arif, dan ketiga teman lainnya, mengurusi pelanggaran yang sudah terjadi. Kebetulan, Arif dulu juga pernah menjadi kebersihan pesantren. Sedikit banyaknya, mungkin Arif mengetahui jelas apa yang harus dilakukan oleh anak kebersihan, dan beberapa hal yang tidak perlu dilakukan oleh kebersihan, terutama cara berkomunikasi dengan santriwati.

"Waktu aku menjadi kebersihan, sampah-sampah dari santriwati sudah keluar terlebih dahulu sebelum Salat Asar dilaksanakan. Itu pun sampahnya sudah siap untuk diangkut, tidak ada santriwati yang masih mengeluarkan." Arif menceritakan pengalamannya di kamarku, C02.

"Lalu, ini bagaimana enaknya?" tanyaku mengerutkan dahi, penasaran.

"Kita sebagai pengurus pesantren harus bisa mengambil keputusan tanpa memandang siapa pun yang melanggarnya. Juga kata Ustaz Malik jangan takut untuk dimusuhi oleh santri. Apalagi Achmad satu kelas dengan kita, harus diberi tindakan ini." Riyan mencoba mengulang apa yang pernah dikatakan oleh Ustaz Malik.

"Apa perlu kita sowan ke pengasuh, untuk menindak keduanya?" kataku mengajukan solusi.

Pelanggaran kali ini sangat perdana, mulai dari tahun ke tahun masih belum ada santri yang melanggar berkomunikasi dengan selain mahram. Sementara untuk penindakannya, semua pengurus masih kebingungan.

"Sepertinya, kalau ada pelanggaran antara santri putra dan putri, pengasuh mempertemukan keduanya, dan dihukum bersamaan," imbuhku beranjak mengambil undang-undang santri. Tertulis, penindakan dilakukan oleh pengasuh.

"Kamu dan Riyan saja, Min, sowan ke pengasuh," kata Arif.

Pukul 19:35 WIS. Setelah Salat Isya, aku dan Riyan langsung ke dalem pengasuh untuk melaporkan apa yang terjadi tadi sore. Meskipun sudah menjadi bagian dari pengurus, bukan menjadi pengecualian dalam pelanggaran. Tetap harus mendapat tindakan.

"Ada salah satu santri yang melakukan komunikasi dengan santriwati di gerbang pembuangan sampah."

Aku dan Riyan duduk dengan tunduk, setelah dipersilakan masuk oleh pengasuh.

Spontan, pengasuh merasa kecewa dengan menahan amarah tentang pelanggaran yang sudah dilarang oleh pengasuh.

"Siapa?" tanya pengasuh.

"Pengurus kebersihan, Kiai," jawabku.

"Sekalipun anak presiden, kalau sudah jadi santri di sini dan melakukan pelanggaran yang sangat tidak aku harapkan, tetap akan aku tindak."

Aku dan Riyan menunduk sungkan mendengar ungkapan dari beliau, karena baru pertama kali aku melihat langsung pengasuh berkata dengan wajah menahan amarah.

"Panggil kedua santri yang tadi berkomunikasi. Baik yang putra maupun yang putri, suruh menghadap ke saya langsung!" perintah kiai, dengan mengernyitkan dahinya, penuh amarah.

Entah, tindakan berupa apa yang akan disangsikan kepada keduanya. Aku dan Riyan beranjak memanggil keduanya, meskipun tidak tahu siapa nama dari santriwati yang menjadi lawan bicaranya.

Riyan memanggil Achmad, sementara aku meminta tolong kepada pengurus santriwati untuk memanggil siapa saja yang bertugas menjadi kebersihan pesantren. Mau tahu jelas siapa nama yang tadi berkomunikasi dengan Ahmad.

Ahmad. Sudah jelas pasti akan menggerutu setelah mengetahui kalau saya melaporkan apa yang terjadi tadi sore kepada pengasuh. Siap tidak siap, harus dihadapi. Siap dimusuhi, ketika hal itu terjadi.

Plak ....

Plak ....

Plak ....

Aku menyaksikan tamparan keras yang diberikan oleh pengasuh terhadap Ahmad. Ia menangis sejadi-jadinya, sembari meminta maaf tidak akan mengulangi yang kedua kalinya. Namun, yang namanya tindakan dari pengasuh tidak akan bisa diurungkan. Tetap jadi dan harus diterima, apa pun risikonya.

"Untuk pengurus, segera menggundulnya dan takzir dengan membaca Surah Yasin sebanyak 44 kali!" perintah kiai kepada pengurus, setelah memberi sangsi tamparan.

Kanan-kiri terdengar suara gerutu dari teman santri, dengan dalih, 'kepengurusan sekarang jauh lebih ketat dari tahun kemarin.'

Aku hanya menjalani perintah, bukan menjadi hak wewenang pengurus. Peraturan pesantren menjadi tambah ketat, juga karena ulah dari santri itu sendiri. Pesantren tempat untuk mengubah semampunya, dari yang tidak baik akan diusahakan menjadi baik semaksimal mungkin. Karena, acuan pertama dari masyarakat adalah jiwa kesantrian.

'Yang taat akan berpangkat, yang berperilaku bejat tidak akan menjunjung kehidupan terhormat.'

Kata-kata Itu termasuk kesanggupan kiai, yang akan siap menanggung masa depan santri yang taat.