Chereads / Kisah di Bilik Pesantren / Chapter 8 - Petuahmu, Guru

Chapter 8 - Petuahmu, Guru

Pesantren

Tempat yang suci penuh rahmat

Menampung ribuan santri tanpa pandang sikap

Ada yang taat, ada pula yang bejat

Aku dengan santai berpijak di atas pundakmu

Meskipun terlalu banyak noda yang aku torehkan untukmu

Namun, kau tetap saja lapang tanpa menggerutu

Menjadikan jiwa santriku tegar tanpa rasa malu

Mungkinkah ribuan dosa yang aku lakukan terampuni?

Agar kelak, aku juga menikmati indahnya bertemu Sang Ilahi

Ini sungguh, bukan sekedar ilusi

Karena aku malu, dengan sikap seperti ini

Air mata itu menghujani tempat yang ternilai suci. Semakin banyak yang datang menghampiri, semakin deras pula air matanya membanjiri.

Mereka datang berbondong-bondong membawa kenakalan, mengotori tempat penuh berlian. Di pesantren, mereka seakan keterpaksaan tentang apa yang harus mereka lakukan. Sehingga, menyiksa tubuhnya dengan menahan isak tangis begitu dalam.

'Di mana letak keikhlasan kalian? Kenapa malah membakar hangus sikap santun yang mereka lakukan sebelum kalian? Kenapa, kenapa? Kalian tidak suka dengan peraturan pesantren, silakan! Asal kalian jangan menorehkan luka teramat dalam.'

Rintihan tangis itu perlahan terdengar. Semua santri mendengar, bergegas melantunkan Istigfar. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan. Kesantunan, kini terlantar. Keadaan pesantren semakin menggelegar, setelah semua santri berjejer menengadah, dengan harap suasana kembali seperti semula. Tenang, tanpa gundah.

Sekitar pertengahan hari, suasana pesantren seakan terjadi drama yang menggelegar. Di tengah-tengah asyiknya mengunyah ilmu di kelas, tiba-tiba suara gempa seakan menjadi bencana. Lebih-lebih, halaman pesantren yang perlahan retak, menggambarkan tindak laku dari para santri yang kurang beraturan.

"Sepertinya hanya di sini yang terjadi gempa, Ustaz. Soalnya di luar pesantren, aman-aman saja." Lelaki dengan postur tubuh yang kekar itu menghampiri Ustaz Zainul, selaku ketua pengurus pesantren.

Lelaki yang menjabat sebagai keamanan pesantren itu, terengah-engah memberi kabar aneh, kalau hanya di pesantren yang terjadi kejadian yang tidak bisa diterima akal. Semacam gempa, tetapi hanya terjadi di pesantren.

"Kita tunggu kiai saja, jangan khawatir! Kita baca Istigfar saja di sini, berjamaah. Semoga tidak terjadi apa-apa," ucapnya menenangkan.

Lantunan Istigfar masih terdengar, ditemani suara gemuruh, merobohkan beberapa pohon yang ada di sekitar pesantren. Bahkan, beberapa bangunan yang baru siap ditempati, atapnya mulai berjatuhan. Semua santri dirundung kekhawatiran, berharap tidak ada yang menjadi korban.

Tidak lama dari itu, sosok begitu gagah terlihat dari jauh dengan pakaian khasnya, berjubah, yang menambah pemandangan menjadi indah. Perlahan, sosok gagah itu melangkah menuju tempat yang dipenuhi para santri yang lagi baris berjejer dengan berbagai corak warna.

"Taati peraturan yang sudah ditetapkan. Hormati guru-guru yang mengajarkan kalian, meskipun hanya satu huruf yang tersampaikan. Karena tanpa kalian taat terhadap semuanya, banyak percuma kalian bertempat di sini. Pesantren pun tak sudi dengan sikap yang menetap dalam jiwa kalian, diam-diam melanggar peraturan yang sudah diterapkan. Apakah kalian masih menganggap santri? Apakah kalian di sini sudah sesuai dengan syarat menjadi santri? Yang dengan ikhlas berjuang di jalan Ilahi. Sungguh, bukan dengan seperti itu para ulama berjuang di jalan Ilahi. Kesadaran yang berawal dari tangis kebodohan, sehingga mampu menjadi unggul dalam semua pelajaran. Bukankah santri itu paham, dengan kehidupan yang dituntut dengan kepayahan; berakhir dengan kebahagiaan? Jika benar, kenapa masih ada dalam lubuk hati para santri, sifat kemalasan yang berujung dengan pelanggaran. Sungguh, miris sekali perjuangan para nabi yang dengan lancang telah terzalimi. Menuntut ilmu, tetapi dengan sikap yang tak sesuai dengan nama santri. Lantas, apakah masih pantas digelar dengan santri hakiki?" Sosok gagah itu memberikan sedikit wawasan kepada semua yang berada di depannya. Tidak peduli, baik santri dan yang sudah menjadi guru.

Semua pandangan tertuju terhadap sosok gagah itu, penuh kebijakan, pun kewibawaan. Kiai Hamid, yang dikenal dengan kekeramatannya, mampu menenangkan suasana, hanya dengan menaburkan sedikit garam di sekitar pesantren.

Semua mata tercengang dengan keadaan yang sangat tenang. Terlebih petuah yang diungkapkan penuh kekeramatan, ditemani derasnya air mata dari sebagian santri yang menyadari. Terlihat, semua santri gemetaran, penuh kekhawatiran. Petuah yang begitu menusuk relung hati, mendobrak semua hati dari pada santri.

"Apakah pesantren tidak memiliki kekeramatan? Sehingga tempat suci ini banyak yang tidak menghiraukan. Takzim di depan kiai, tetapi zalim saat di belakang. Apakah tanpa pesantren, santri dapat menikmati pendekatan bersama Ilahi? Cara merayu Tuhan, dengan syair-syair indah yang dengan mudah dilafazkan? Lalu, adakah tanda terima kasih terucapkan untuk pesantren yang menampungnya? Pesantren tidak butuh apa-apa, selain taat dan giat. Namun, kalau sudah diberi harus ada tanda terima kasih. Sudah itu saja, tidak lebih. Karena tanpa pesantren, para santri tidak akan tahu apa-apa, orang tua pun juga tidak akan mulia, tanpa santri yang mempelajari tentangnya." Petuah penuh wawasan itu terus mengisi masing-masing hati para santri, berusaha menyadarkan dengan apa yang sudah terjadi.

"Pengurusnya di mana?"

Aku kaget, setelah kiai menanyakan pengurus. Perlahan kumelangkah, dengan hati yang tiada henti kian berdebar-debar ketakutan.

"Usahakan lebih baik lagi adanya kepengurusan, jangan sampai terjadi hal yang sama. Jangan lengah mengurusi santri. Jangan lengah, terus aktifkan pengontrolan santri setiap hari."

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala, dengan posisi setengah membungkuk. Tiada daya kalau sudah berhadapan langsung dengan beliau. Melirik pun, seakan tak beraturan.

Beberapa menit, sosok gagah itu meninggalkan halaman pesantren. Setelah aku menerima beberapa petuah, yang tak hal ini sangat diharapkan oleh beberapa santri. Karena, sekadar bertatap muka pun merasa sungkan. Apalagi mendapat petuah yang penuh wawasan. Jarang-jarang.

Semua santri kembali ke asrama masing-masing, setelah keadaan sudah semakin tenang. Begitu pun dengan aku, mengajak teman kelas untuk kembali beraktivitas, yang terjeda bencana. Meskipun tidak sepenuhnya tenang, dengan isak tangis yang tersisa. Aku mengajak Arif dan Riyan, sebagai wakil dari pada kepengurusan.

"Sudahlah, jangan banyak drama di sini. Semua salah kita!" Suara itu disertai sedikit senggolan yang mengena bahuku.

Achmad. Dengan wajahnya kusamnya masih belum menerima semua yang diucapkan kiai. Keegoisan yang mendalam dalam jiwanya, sudah memutuskan untuk tidak memperbanyak diskusi, yang katanya sekadar basa-basi.

"Kamu bisa ubah sikap kamu sedikit, nggak? Sekali-kali menghargai organisasi. Ini tentang amanah yang kita jalani," ucapku setengah mengekor. Namun, ditahan sama Arif dan Riyan.

"Sedikit, sedikit, diskusi! Ada ini, diskusi! Tak punya jati diri," gerutunya, mencibirkan kedua bibirnya ke arah teman sebangku.

"Kalau kamu punya jati, kasih kita solusi! Banyak omong, otak kosong." Achmad hanya menanggapi perkataanku penuh ejekan.

Baru kurasakan ketenangan di dalam ruang, kini kembali gaduh, dengan ulah teman yang tak sepadan.