Chereads / Kisah di Bilik Pesantren / Chapter 2 - Kenapa Harus Masuk Pesantren, Pak?

Chapter 2 - Kenapa Harus Masuk Pesantren, Pak?

Suara apa itu? Gemuruh sekali aku mendengarnya. Seluruh tempat berlantunkan arab, memenuhi telingaku. Di segala arah terlihat rapi, mereka bersarung, dan berpeci. Tempat apa ini? Terlihat kumuh, tetapi mereka bahagia sekali. Cara mereka makan pun tidak seperti yang aku lakukan di rumah. Arrrggg ....

"Pak. Di mana aku sekarang?" tanyaku menarik baju Bapak.

"Sudah kamu diam saja! Tunggu pengasuh datang," jawab Bapak.

Aku bingung setengah mati, melihat mereka lalu-lalang memenuhi tempat yang menurutku tiada arti. Ada yang menenteng lembaran kuning, tebal, ada pula yang berjubah.

Tempat apa ini?

Aku melongo setelah melihat lelaki gagah bertubuh tegar datang menghampiriku dan bapak. Pakaiannya serba putih, tercium bahu wangi menyengat.

Isshhh ....

"Bagaimana, Pak?" tanyanya.

Bapakku langsung meraih tangan lelaki itu, bersalaman menundukkan badan. Sementara aku, masih dengan keadaan penuh pertanyaan. Siapa, dan siapa?

"Salim!" perintah Bapak.

Aku pun menurutinya dengan mencium tangan lelaki tersebut. Terlihat aneh, tetapi Bapak bersikap begitu sopan. Aku mengikuti gayanya dalam menyikapi. Meskipun tanpa aku tahu, siapa dan apa yang diharapkan Bapak selanjutnya.

"Mau memasrahkan anak kami, siapa tahu mendapat berkah dari pesantren," ucap Bapak.

Hah, pesantren? Ternyata tempat ini pesantren? Kenapa Bapak mau menempatkan aku di sini?

"Atas nama siapa, Pak."

"Aminulloh, Pak Kiai."

"Semoga betah ya, di pesantren. Semoga bisa menjadi anak yang membanggakan orang tuanya," lanjut mendoakanku.

Betah? Tidak mungkin aku betah di tempat kumuh seperti ini. Jangan samakan aku dengan mereka yang hanya berhura-hura tiada guna.

Satu jam setengah aku dan Bapak berada di tempat ini, setelah diantar ke salah satu ruangan. Ada yang menyambutku dengan menuliskan data-dataku. Setelah itu, Bapak pamit pulang meninggalkan aku sendirian. Hanya dibekali lembaran merah yang lumayan jumlahnya. Kenapa aku harus ditempatkan di sini?

"Amin masuk ke asrama C02, ya. Di sana lumayan banyak yang dekat dengan kota kamu," ucap lelaki seumuran kakak sepupuku. Aku hanya menoleh, sambil mengangguk setengah tidak mengerti.

"Ayo, aku antar," lanjutnya berlalu mendahuluiku.

Semua mata tertuju ke arah langkahku. Setengah berbisik, kalau aku anak baru di sini.

Sialan! Kenapa mereka suka nyinyir.

"Assalamualaikum, Herman. Ini dari kota Situbondo, dekat sama kota kamu, kan?" kata lelaki berbadan kekar itu, langsung masuk ke asrama.

"Waalaikumsalam, Dika. Siapa? Anak baru, ya?" ucap lelaki sebayanya.

"Iya. Aku pasrahkan ikut sama kamu, ya."

Ada tujuh anak yang lagi duduk santai di asrama itu, ada juga yang sedang tertidur pulas. Sementara aku, orang asing yang tidak mau berbicara, membisu dari beribu kata.

Semua pandangan mengarah kepadaku, dengan memasang raut penasaran, setelah bergantian berjabat tangan.

"Perkenalkan, namaku Herman. Aku dari kota Kraksan Probolinggo," ucap lelaki yang tadinya dipasrahkan.

Siapa yang tanya? Bodo amat kamu dari mana. Ah, membosankan. Apalagi semua orang terasa acuh tak acuh, sombong.

Pemuda berpostur kecil itu terlihat begitu tanggung jawab, meski tidak terlalu aku tanggapi, tetapi terus membujukku untuk mengajak bicara, satu lawan satu. Memperkenalkan setiap tempat, pakaian, tidak lupa masing-masing penghuni di kamar ini.

Akhirnya, beberapa menit aku menghela napas panjang, melepas semua beban. Resmi bertempat tinggal di tempat ini, bersama mereka. Termasuk kejutan paling menyebalkan, sebelum berangkat dari rumah, orang tuaku sama sekali tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau mau dimasukkan ke tempat yang bernama pesantren. Yang awalnya, aku tak mengenal apa itu pesantren.

Lelaki berkulit sawo, yang bernama Herman, menjadi pengarah jalanku ke mana pun kaki ini melangkah. Pagi sampai malam, Herman tak pernah bosan menemaniku dalam sendirian.

"Kamu kenapa, Min? Jangan terlalu memikirkan keluarga yang di rumah. Mereka bahagia, kamu mau berada di sini," kata Herman membuyarkan lamunanku, pagi-pagi.

'Bagi kamu sih, enak, beda dengan aku yang tidak suka tempat ini. Enak-enak tidur malah dibanguni Salat di masjid, kan subuh masih lama. Resek banget, sih.'

Aku masih terdiam di pojokkan kamar, tak menanggapi apa yang Herman katakan. Terguling-guling sendirian tanpa teman. Mau pulang, tempat ini jauh dari kampung halaman.

Bapak menempatkan aku di Pesantren Salafiyah, Pasuruan. Pesantren yang menampung ribuan santri dari berbagai kota, untuk menuntut ilmu dari berbagai kitab.

Pesantren ini dibangun oleh Pengasuh KH. Hamid dengan tujuan mempersatukan satu demi satu santri untuk bergotong royong menegakkan Agama Islam. Bangunan pesantren ini dibangun tanpa ada sumbangan, ataupun suapan dari pemerintah, agar santri yang menuntut ilmu menjadi bermanfaat, juga berkah.

Santri di pesantren ini terlihat begitu giat dalam mengunyah ilmu, yang disampaikan oleh guru. Tidak mengenal lelah dalam menjalaninya. Semua itu nasihat yang disampaikan oleh seorang ulama dalam satu kitab, yang artinya; "Jangan-lah kalian (para santri) bermalas-malasan dalam mencari ilmu."

Sudah jelas, mereka sudah yakin menjadi penerus para nabi tidak akan mungkin ada kata malas dalam menuntut ilmu. Berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan, tidak jauh berbeda dengan pesantren yang lain. Ada kegiatan membaca Burdah keliling, membaca Istigfar berjamaah (setiap jam 03:00 WIB), ada yang kursus metode qurani, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Mereka merasa tenang. Lalu, kenapa dengan aku? Aku yang sangat tidak betah di tempat ini. Aku yang gelisah berkerumun dengan mereka. Iya sih, tempat ini terlihat riang dengan banyaknya teman. Yang namanya hati manusia tidak bisa disamakan.

"Aku ingin pulang!" kataku menghampiri Herman, yang terlihat masih bertugas mengontrol jamaah.

"Kenapa mau pulang, Min?" tanyanya langsung menatapku.

"Tidak tahu, pokoknya aku ingin pulang," kataku menuntut Herman.

Herman terlihat gopoh mencari Dika, yang waktu itu mendapat amanah dari pengasuh.

"Pak. Lihat Dika?" tanyanya kepada orang yang ia jumpai.

"Kurang tahu, mungkin di kantin," jawabnya.

"Kenapa lagi anak asuhanmu? Bikin orang susah saja," kata lelaki yang satu jabatan dengan Herman.

Aku mendengar suara bisikan dari keduanya itu. Terlihat jelas kalau mereka tidak menyambut aku dengan ramah, seperti di saat berhadapan langsung dengan Dika. Bajingan.

Keindahan senja yang aku lihat, lenyap begitu saja ditelan waktu yang berlarut malam. Setelah Salat Magrib berjamaah di kantor dengan Herman, aku kembali ke asrama. Tiada hentinya, suara jamaah itu terdengar membaca Surat Yasin. Tiada lagi bunyi yang terdengar, kecuali suara mereka. Penuh tartil, sesuai panduan pengasuh.

Sementara aku? Masih terkikis menahan tangis. Tidak ada yang bisa mengerti perasaanku saat ini.

'Pak. Bapak jahat. Bapak tidak sayang lagi sama Amin. Kenapa Amin harus ada di sini, sendirian? Amin kangen sama teman-teman, ponakan, sepupu, juga masakan Ibu.'

Air mataku tak terasa membasahi pipi. Isak tangis tanpa ada yang peduli. Entah, mau ke mana lagi aku sekarang, hanya bisa duduk di pojokkan asrama yang ditemani selimut dan juga air mata

Teman Baru Itu Seru (Chapter 2)

"Min, ikut aku ke dalem Kiai!" Suara Herman membuat tangisku reda, tiba-tiba. "Ambil kopiahmu!" Herman masih berdiri di ambang pintu, sembari menatap lesu.

Aku beranjak malas mengikuti Herman ke dalem Kiai. Tidak ada pilihan lain, selain mengikuti apa yang Herman perintahkan. Secara, aku memang kebingungan tidak tahu arah mau dibawa ke mana langkahku saat ini.

"Kenapa lagi, Herman?" tanya Kiai, setelah masuk ke dalem Kiai. Herman dengan tunduk, mengutarakan apa yang selama ini aku alami.

"Amin ini tidak betah, Kiai. Dia ingin pulang terus," jelasnya.

Seorang berbadan gagah itu melihat ke arahku, kuyu. Seorang Kiai dengan pakaian berjubah itu, masuk ke dalemnya, yang entah apa yang akan dilakukannya kepadaku.

"Minuman ini kamu minum, ya! Jangan terlalu banyak memikirkan orang-orang yang di rumah. Kamu harus belajar mandiri ada di sini. Insyaallah Herman bisa menuntunmu, dan bisa menemanimu sampai kamu betah ada di sini. Kamu harus sabar, ya, kasihan orang tuamu telah membiayai kamu untuk belajar di sini," ucapnya setelah keluar dari dalem, menyodorkan sebotol air putih berisikan kertas, tertulis arab.

Aku tak bisa lagi menanggapi ucapan dari Kiai, hanya isak tangis menamaniku, yang dengan harap diizini untuk pulang. Beberapa nasihat yang aku terima dari sosok yang tegar itu

"Namanya juga santri baru, wajarlah kalau tidak betah."

"Kasihan. Mungkin masih ingat keluarga yang di rumah."

Begitulah yang aku dengar dari mereka, setelah keluar dari dalem Kiai. Bukan hanya malu, tetapi aku tidak sanggup dengan ocehan mereka yang hampir setiap waktu bicara tentang aku.

Satu pun tidak ada yang aku tanggapi dari mereka, saat aku berjalan di antara mereka yang lalu-lalang mengisi jam belajar setelah Salat Magrib. Sementara aku, satu pun aktivitas belum juga aku ikuti.

Nasibku terlantar, sendiri di dalam kamar. Waktu yang begitu panjang, kusia-siakan. Terseok-seok, kerap kali mau melangkahkan kaki melakukan aktivitas di pesantren. Aku orang asing, sama sekali tidak suka suara bising, apalagi suara yang terdengar tak mampu kupahami.

Kulalui semua perjalanan ini, meski dalam hati tak paham akan arti. Perlahan, sikapku berubah pendiam, setelah satu per satu orang sekitar saling memperkenalkan. Sementara sosok mungilku, memasang wajah kecanggungan, karena tak mudah mengawali obrolan tanpa pertanyaan.

Di sisi lain, pemuda berkulit sawo, bernama Herman, tiada hentinya mendorong aku untuk bisa bercengkerama dengan orang sekitar. Beberapa bujukan yang kuterima, agar bisa menyatu dalam lingkaran. Perlahan, namaku dikenalkan, cukup dalam satu ruangan.

Satu minggu setelahnya, aku mulai betah di pesantren ini. Setelah membiasakan dengan apa yang aku alami. Meskipun tidak bisa dipungkiri keberadaannya, tetapi dengan giat aku berusaha tegar dalam semua aktivitas yang dilakukan setiap harinya.

"Assalamualaikum." Salamku di depan kelas empat Ibtidaiah.

"Waalaikumsalam." Serentak mereka menjawab salamku.

"Silakan masuk, duduk di bangku yang kosong," perintah anak muda yang ada di depan, berseragam putih hijau.

"Alhamdulillah. Kita kedatangan santri baru, mudah-mudahan bisa betah dan bisa saling belajar di sini," ucap anak muda itu dengan ramah.

"Bisa perkenalkan atas nama siapa, dan dari mana," lanjutnya dengan padangan menuju ke arahku

"Aminulloh, Mas. Saya dari Situbondo," ucapku berusaha tenang.

Tidak tahu apa lagi yang ingin aku ucapkan. Hanya anggukan-mengiyakan, dan gelengkan kepala. Sama sekali tidak tahu apa yang mau dilakukan di ruangan ini. Hanya pandangan menghadap ke depan, tanpa tahu apa yang dipandang.

"Bagaimana, sudah betah Mas?" tanya teman sebangku. Aku hanya mengangguk, dan kembali menghadap ke depan.

Pemuda di depan itu dengan semangat menerangkan pelajaran hari ini, yang aku sendiri masih belum tahu jelas pelajaran apa yang diterangkan. Hanya bisa mendengarkan tanpa tahu maksudnya. Pemuda dengan wajah bersih itu, dengan tenang menyampaikan kata demi kata memikat pandang seisi ruang.

"Jadi kawan-kawan, kita berada di pesantren ini dengan tujuan, yang pertama; mencari rida Ilahi, dengan cara belajar Ilmu Syariat. Kedua; membahagiakan guru dan juga orang tua. Kita ada di pesantren ini, orang tua kita sudah sangat senang. Apalagi kalau kita mempunyai prestasi di pesantren. Namun, kita fokuskan dulu belajarnya saja, jangan memikirkan prestasi terlebih dahulu."

Semua mata tertuju ke arah pemuda itu. Tenang, tanpa suara sedikit pun yang terdengar. Aku pun sama, masih bertanya-tanya siapa pemuda di depan itu. Masih sangat muda, memesona.

Satu jam aku berada dalam kelas, akhirnya istirahat juga. Dengan rasa yang sangat menyebalkan. Sama sekali tidak bisa bercanda sebagaimana aku di rumah.

"Asli mana, Mas?" tanya salah satu murid, yang aku sendiri tidak mengenalinya.

"Situbondo. Kamu?"

"Aku asli Pasuruan sendiri, Mas. Dekat juga sama pesantren ini," katanya.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena memang tidak mengerti apa yang harus aku tanyakan lagi.

"Oh, iya, perkenalkan namaku Riyan, Mas. Mungkin masih malu mau bertanya-tanya tentang pelajaran, bisa langsung tanya sama aku saja. Kebetulan juga kita bersandingan asramanya."

Riyan. Dia yang pertama kali menyapaku, di kelas ini. Meskipun dia lumayan jauh dari tempat dudukku, tetapi dia lebih memilih untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu, daripada teman sebangkuku. Secara tidak langsung, aku yang masih kebingungan mau ke mana, dan harus bagaimana di kelas ini.

"Ayo kita keluar! Beli makanan," ajaknya.

"Iya, kamu duluan. Nanti aku susul," ucapku menanggapinya.

"Sudah, jangan malu-malu. Sekarang waktunya istirahat, dan ada waktu untuk sarapan." Paksa Riyan.

Kebetulan, tadi pagi juga belum sarapan. Tidak seperti di rumah, yang bangun tidur sudah disiapkan untuk sarapan. Aku pun ikut ajakan Riyan, menuju kantin. Itu pun Riyan yang pesani.

"Mas. Dipanggil Mas Herman," ucap anak muda sebayaku.

"Di mana? ada apa katanya," tanyaku.

"Kamu samperi dulu, gih! Mungkin ada perlu sama kamu," kata Riyan, datang membawa makanan, juga minumannya.

Aku langsung keluar, menghampiri Herman.

"Ada di kelas, ya?" tanyanya saat aku masuk asrama.

"Dari kantin, diajak Riyan."

"Oh, dari kantin. Bawa uang?"

"Ngga! Aku kan diajak."

Herman menepuk pundakku, mendengar ucapanku. Padahal aku sama sekali tidak melawak. Di mana yang lucu?

"Ambil uang dulu, Min. Ini pesantren bukan di rumah. Di pesantren Itu hidup mandiri. Kalau ada teman yang mengajak ke kantin, atau warung yang lain, usahakan kita bawa uang sendiri. Karena, kita sama-sama butuh uang untuk makan dan minum. Beda halnya kalau di rumah, yang mengajak harus bayari."

Herman kembali ketawa kecil. Sementara aku masih melongo mendengar ucapan Herman yang sedikit ada yang berbeda dengan yang aku kira. Setelah aku mengambil uang, dan tidak ada lagi yang mau ditanyakan, aku kembali ke kantin.

"Kenapa kata Mas Herman?" tanya Riyan, sampainya aku di kantin.

"Ngga. Cuma menyuruh aku makan," jawabku.

"saya kira ada apa."

Pagi ini ada yang berbeda dari sebelumnya, yang mana biasanya sarapan pagi ditemani Herman, kali ini aku memberanikan diri untuk saling berkomunikasi, sedikit demi sedikit berusaha kenal dekat dengan Riyan.

Makanan yang aku makan, sama sekali berbeda dengan di rumah. Aku yang awalnya tidak suka lauk tahu, kini mau tidak mau harus juga masuk ke perut.

"Menuruti gengsi, tidak akan membuatmu betah di pesantren ini. Makan seadanya, belajar mensyukuri apa yang kita terima. Masih banyak di luar yang ingin makan seperti kita."

Mantap. Nasihat Riyan begitu bijak pagi ini, ditemani satu porsi nasi putih beralas kertas minyak.

Inikah Hidupku, Tuhan? (Chapter 3)

Duniaku sekarang berubah total. Aku yang masih berumur 16 tahun harus menjalani hari-hariku dengan mandiri.

Pagi hari, yang biasanya aku disiapkan sarapan oleh ibu, kini harus belajar mengatur waktu kapan harus sarapan, dan mencuci baju. Perubahan yang aku alami di pesantren ini sangat menonjol. Tepatnya di waktu subuh, yang biasanya aku bangun tidur bersamaan dengan terbitnya matahari, sekarang harus bangun lebih awal, sekitar jam tiga pagi.

Tidak ada yang namanya malam minggu, atau hari liburan, yang biasanya aku nongkrong bareng di warung dengan teman-teman (Laki-Perempuan), kini sudah tidak bisa terulang lagi. Mirisnya, di pesantren ini sama sekali aku tidak melihat sosok perempuan, untuk penghibur semata.

"Min. Ikut makan dengan kita, yuk! Kebetulan ada yang dikirim hari ini," kata Riyan mengajakku makan, sepulang sekolah.

"Enggaklah. Aku makan di kantin saja," ucapku menanggapi ajakan Riyan.

Aku mencoba berlalu dari sapaan Riyan, yang masih makan melingkar dengan teman yang lain. Akan tetapi, Riyan tetap memaksaku.

"Jangan malu-malu, Min. Kamu sudah aku anggap teman dekat. Sini ikut makan!" Paksa Riyan menarik lenganku.

Tak bisa lagi aku menolaknya, aku ikut makan dengan teman-teman Riyan. Keinginanku ke kantin, aku urungkan.

"Kalau kamu diajak makan sama aku, Min, kamu harus mau. Di sini kita harus saling gotong royong. Siapa pun di antara kita yang masih mampu, kita bantu teman kita. Apalagi soal makan kiriman. Kalau nasi ini bisa habis, orang tua yang mengirim kita bisa senang, karena nasinya habis. Dari pada harus dibuang, kan mubazir!" kata Riyan sambil makan.

Sementara aku asyik makan, dengan posisi tidak tahu apa yang ingin aku tanggapi dari perkataan Riyan. Masih sedikit malu mau berkomunikasi dengan selain Riyan.

"Untuk santri baru, dimohon untuk berkumpul di depan kantor."

Salah satu pemuda berwajah bersih itu keliling dengan suara lantang, untuk mengumpulkan santri baru. Mungkin untuk mengurusi kitab-kitab yang diperlukan, seperti yang disampaikan oleh Herman, kemarin sore.

Sekitar 25 santri baru yang sudah berkumpul di depan kantor. Tidak ada satu pun yang aku kenal, tetapi sebagian ada yang satu kelas dengan aku. Itu pun belum kenal. .

"Kita satu kelas, kan? Kita sama-sama santri baru," katanya menghampiriku.

"Iya," jawabku polos.

Sambil menunggu antrean panggilan, aku memosisikan berdiriku dekat dengan pohon petai di depan kantor. Ke kanan-ke kiri, aku mengarahkan pandangan. Tidak satu pun yang ingin kukenal, sekadar percakapan.

Setengah jam berlalu. Kitab yang diperlukan kelas empat sudah di tangan, lumayan banyak. Ada Shorrof, Jurumiyah, Jazariyah, Fathul Qorib, khulashah Nurul Yakin (sejarah nabi) dan masih banyak lagi.

"Aku tak bisa memahami semua kitab ini, Bos. Mana kitabnya banyak lagi! Aku juga tidak pernah membaca bacaan arab," ucapku sama Herman, saat masuk asrama.

"Tidak ada yang langsung Alim, tanpa belajar. Tidak ada sejarahnya orang sukses, tanpa melalui rintangan yang sangat pahit. Kamu harus giat belajar di sini! Kalau kamu malas, kasihan orang tuamu banting tulang membiayaimu."

"Tapi—"

"Kebiasaan! Kalau dinasihati banyak tapinya." Herman menjewer telingaku.

"Mulai nanti malam kamu harus aktif jam belajar. Kamu harus giat, supaya bisa membahagiakan orang tuamu."

Aku hanya diam, terus berjalan menuju rak buku. Menaruh sebagian kitab, dan

Aku segera mandi, bersiap-siap masuk sekolah siang ini. Kembali beraktivitas seperti biasanya, berjuang bersama mengharap rida-Nya.

Jarum jam terus berputar. Kini kurasakan suasana pesantren terlihat baik-baik saja, seperti berada di kampung sendiri. Meskipun, di pesantren sama sekali tidak boleh pegang ponsel, tetapi suasana itu sudah mulai biasa.

Tidur bersama di lantai, mandinya antre, dan yang paling istimewa di pesantren, apa-apa selalu mendahulukan kerukunan. Meskipun terselip rasa bosan, karena terlalu lama menunggu antrean.

"Woi, kamu mandi lama banget," teriak antrean, di sore hari.

"Jangan lama-lama, dong! yang antre masih banyak, nih," kata sebelahnya lagi sambil ketok-ketok pintu, pelan.

"Baru saja masuk, kalau tidak sabar antre, kenapa tidak dari kemarin saja mandinya," jawaban dari dalam.

Iya, kadang bercanda, kadang emosi. Penuh warna-warni hidup di pesantren. Namun, meskipun ada rasa kesal, itu cuma sementara. Hanya berlaku di saat antrean saja. Selanjutnya, bercanda lagi tak kenal waktu.

Selesai Salat Zuhur, aku sudah bersiap untuk masuk kelas empat. Sambil menunggu wali kelas datang, semua murid masuk dengan tertib, diiringi lantunan Nazam bersama. Aku melirik mereka bergantian, mendengar irama arab yang dibaca tartil, penuh semangat.

"Assalamualaikum," salam wali kelas, baru datang.

"Waalaikumsalam."

"Ustaz, hari ini Firman tidak masuk. Sakit," kata salah satu murid yang mengacungkan tangan.

'Ternyata dia Ustaz di kelas ini, masih muda,' gumamku menatap datar ke arah Ustaz itu.

Pelajaran pun dimulai, setelah selesai pembacaan doa bersama. Aku dan teman yang lain kembali fokus mendengarkan isi keterangan dari Ustaz. Berulang kali, sampai semuanya bisa memahami.

Pelajaran hari ini, kebetulan kitab Fikih, Fathul Qorib. Menjelaskan kesucian, rukun-rukunnya, juga syarat-syaratnya kesucian.

****

Keindahan senja kunikmati, sepulang sekolah. Pelajaran yang ditempuh berjam-jam di kelas, membuat jiwa mudaku malas. Satu per satu murid dari masing-masing kelas, keluar bersamaan. Indah, rapi, syahdu. Pakaian busana hijau putih itu menghiasi keindahan senja di ujung hari.

Langkah demi langkah menyapa indahnya jingga, menatap leluasa tanpa beban yang ada. Hanya perasaan tidak percaya, menyelimuti jiwa. Siapa sangka, jiwa pemalasku bisa melangkah lebih awal menuju masjid, sebelum Azan Magrib.

Bulan,

Saksikan perjalananku kali ini

Duniaku yang dulunya bertebaran dengan waktu yang terbuang

Kini, aku berada di sekeliling bunga penuh keindahan

Tiada niat, tekad pun tak punya

Pilihan bapak, mungkin terbaik untukku

Meskipun dulu duniaku penuh kehampaan

Akan tetapi, aku tak bisa berkutik bila bapak yang menentukan

Mungkin bapak memperbaiki sikapku dengan ini

Yang tak kenal lelah, saat nongkrong di luar rumah

Sehingga pesantren tempat yang bapak hadiahkan

Yang semua waktunya, tidak ada yang terbuang sia-sia

Aku akan berjuang, Pak

Keluar dari kebodohan dengan segudang ilmu yang disiapkan

Cita-cita bapak, akan selalu kuperjuangkan

Belajar mandiri, sukses kelak nanti

Lalu lalang santri-santri berbenturan, mengisi kegiatan jam belajar. Memaksa tenar, dalam perasaan ambyar.

Sekitar jam sepuluh malam, aku menghampiri Herman. Dia sendirian di pojokkan masjid, sedang membaca kitab.

"Bagaimana aku bisa giat belajar sepertimu?"

"Duduk di sini saja, Min! Kita belajar bersama. Siapa tahu kamu tidak paham dengan pelajaranmu, bisa tanya sama aku. Itu pun kalau aku bisa, pasti aku jawab."

"Jam belajar, kan sudah habis. Kenapa kamu masih buka kitab, malam-malam begini."

"Jam belajar hanya jam kegiatan kita, untuk selanjutnya tergantung kita, mau belajar atau tidak," jawabnya sambil menutup kitabnya.

"Kamu jarang tidur, kalau malam?" lanjutku bertanya.

"Banyak tidur di malam hari, semakin rugi. Karena di malam hari kita bisa merasakan ketenangan, juga doa-doa kita pasti akan disaksikan para malaikat. Itu pun kalau kita Ibadah! Kalau tidak tidur malam hari hanya untuk begadang, percuma juga."

Aku mengangguk serius, mendengar apa yang Herman katakan.

Sepertinya dia santri teladan, yang giat belajar, juga jarang tidur di malam hari. Dia tak pernah meninggalkan Salat Malamnya. Selain menjadi kewajiban pesantren, dia punya inisiatif untuk menjadi anak saleh, yang bisa mengangkat derajat orang tuanya. Hebat.

Ingat kata-kata ini? "Semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah." Siapa pun dia yang mengajarimu, dia juga gurumu. Belajar atau mencari ilmu, jangan lupa sucikan dulu dengan mengambil Wudu. Agar apa yang kamu baca, juga bisa menjadi manfaat dan berkah.

Jalani Saja Takdir-Nya (Chapter 4)

Rabu siang, tepat pukul 02:00 WIS. Aku saling bercanda gurau dengan teman satu asrama, setelah turun dari masjid, Salat Jamaah Zuhur. Asyik, jika sudah saling kenal. Bisa bercanda gurau dengan saling menanyakan identitas, dan pengalaman saat masih di kampung. Sialnya, kalau dari mereka suka usil dengan postur tubuhku yang lebih pendek dari mereka.

"Min. Ada orang tua kamu, di pengiriman," kata teman sebelah asrama.

"Benaran?" tanyaku semringah.

Aku segera mengambil kopiah, menghampiri Bapak, dan Ibu. Aku kangen, sangat kangen.

Kedua malaikatku memamerkan senyuman indah, terlihat dari jauh kalau mereka berdua bahagia. Bergegas aku lari-lari kecil menghampirinya.

"Sehat, Nak?" tanya bapak setelah aku salim.

"Alhamdulillah, Pak. Bapak dan Ibu sehat juga, kan?" jawabku balik bertanya.

Kedua orang tuaku hanya tersenyum, tidak tahu maksud dari keduanya. Sementara aku, dengan menahan bendungan air mata yang sedari tadi ingin tumpah. Namun, aku harus kuat saat berhadapan dengan mereka. Aku tidak mau mereka kecewa denganku lagi, cukup kekecewaan itu mereka rasakan waktu aku masih di rumah, terlalu nakal.

Aku segera menikmati kiriman yang dibawa ibu. Sudah lama tidak merasakan masakan ibu, di pesantren. Karena memang benar kata pepatah, "Tiada ada yang lebih enak, dari pada masakan ibu."

"Kurang enak bagaimana kalau ada di pesantren? Banyak teman, tinggal mengaji, dan belajar. Bapak yang kerja di rumah, kamu tinggal tunggu kiriman," kata Bapak sambil menikmati rokoknya.

"Amin jangan nakal di sini, ya! Agar dapat berkah pesantren," imbuh ibu, mengingatkanku.

Tanpa arah, kedua mata Bapak melihat ke depan. Sepertinya Bapak sangat lelah, peluhnya tak bisa dibayangkan. Menahan panasnya matahari, banting tulang untuk aku, anaknya. Apalagi perjalanan dari rumah ke pesantren lumayan, jaraknya.

Apakah aku tidak akan mengubah sikapku yang penuh kenakalan ini?

Bagaimana nantinya, kalau aku tak mampu mengangkat derajat orang tuaku?

"Kamu harus giat belajar, Nak! Supaya jadi anak saleh kebanggaan Bapak. Jangan lupa doakan Bapak, agar rezekinya lancar, sehat dan kuat untuk bisa bekerja." Ibu mengelus kepalaku, lembut, tak lupa dengan nasihat yang selalu Ibu berikan, mendobrak pintu hatiku yang dari dulu terkunci rapat dengan kemalasan, juga kebodohan.

"Jangan seperti Bapak, yang sampai saat ini tak bisa mengaji," imbuh Bapak, menoleh ke arahku.

Kupandangi bergantian, kedua orang tua, kian menua. Pemilik jiwa tegar berkulit keriput itu, kian semakin renta, menaruh harap terhadap anak kecilnya, yang belum tahu apa-apa. Sementara dalam jiwa, ingin rasanya mengeluarkan kata demi kata, untuk meluapkan kegelisahan, bertahan di pesantren tanpa keinginan.

"Tidak betah harus seperti ini, Pak," ucapku memberanikan diri.

Kutumpahkan bendungan air mata dalam dekapan Ibu, disapa raut wajah yang perlahan mengernyitkan dahi. Bapak tidak suka mendengar ucapanku, teguran, bahkan petuah orang tua sahut-menyahut di telingaku.

"Wajar, Nak, kamu tidak betah! Sabar saja dulu. Suatu saat kamu tahu maksud Bapak dan Ibu memasukkanmu ke pesantren," ucap Ibu, sembari mengelus kepalaku.

"Senangnya orang mempunyai ilmu itu, bisa membuat orang tuanya bahagia. Tentu menjalani prosesnya tidaklah mudah. Ya sudah, Buk, kita pulang saja." Selesai memberi petuah, Bapak mengajak Ibu untuk pulang, dengan terpaksa aku raih kedua tangan kasar itu.

Belum puas kutumpahkan segala duka, kedua orang tua meninggalkanku. Perlahan, langkah demi langkah itu semakin menjauh, ditemani butiran netra yang kian membasahi kedua pipiku, tak rela.

'Apa yang bisa kupetik dari pertemuanku dengan orang tua, sementara kemauanku saja tidak membuat orang tua bahagia.' Aku beranjak ke asrama, lemas. Apa yang menjadi keputusan Bapak, jiwa nakalku sama sekali tidak bisa memberontak. Amarahnya terlalu besar. Apalagi, kalau keputusannya tidak dijalani.

Kunkmati suasana di pesantren dengan paksa, langkah yang tak tahu arah memaksa untuk tetap betah. Kegiatan pesantren kuikuti dengan perasaan yang entah, mengikuti alurnya saja. Waktu demi waktu terlewatkan begitu saja, menenggelamkan keindahan senja yang disapa gelapnya malam di awal malam. Rima demi rima berlantunkan arab memenuhi telinga. Mulai dari pembacaan Selawat, Surat Yasin, bahkan sampai gemuruh santri beraktivitas Jam belajar.

Seperti biasanya. Setiap malam aku tiada bosan menghampiri Herman untuk belajar bersama, sambil bertanya-tanya tentang pengalaman dari sosok pemuda tegar, Herman. Fokus, tanpa menghiraukan suara apa saja yang terdengar. Berbeda halnya dengan aku, yang tidak bisa fokus dengan kitab yang kubuka.

"Bos, ini makanan dari Bapak. Tadi aku kiriman." Aku menyodorkan roti yang dibawa Ibu tadi siang.

"Makan saja, Min! Aku masih kenyang," jawabnya.

"Ngga apa-apa, kok. Kamu simpan saja! Bisa dimakan besok pagi," kataku menggeserkan roti itu.

Aku masih kebingungan. Mau ke mana, dan ke mana. Hanya Herman yang bisa aku ajak bercengkerama. Selain Herman masih terlihat acuh tak acuh saat melihatku.

Aku berusaha fokus membaca kitab yang aku buka, malam ini. Kembali mengingat keterangan dari ustaz, tadi pagi. Sedikit demi sedikit, Kitab Fikih yang ada di depanku, kubaca perlahan. Ternyata mudah, jika sering dipelajari. Tidak sesulit seperti yang aku bayangkan sebelumnya.

Perjuangan yang tak kenal lelah, mendorong untuk tidak mudah menyerah. Di mana hari-hariku selalu terisi kegiatan pesantren yang tak pernah usai. Pagi sampai malam, kegiatan pesantren kulalui. Meskipun dalam hati, menolak untuk singgah di sini. Namun, kucoba untuk kuat dan ikhlaskan semua naluri.

Bel pagi pun berbunyi. Pertanda semua santri harus bangun dari lelap tidurnya, untuk mengikuti kegiatan wajib Salat Tahajud, Witir, sekaligus baca Istigfar bersama. Semua pengurus pesantren keliling, membanguni santri. Meskipun terkadang, sebagian ada yang pindah tempat tidur, baik di depan kamar mandi, ada yang tidur sambil berdiri, ada juga yang pindah tidur di pinggiran sungai.

Mereka terlelap? Jangan ditanya. Di mana pun, apa pun tempatnya, hanya santri yang dapat menikmatinya. Mereka terlelap, sangat nyenyak. Dari kesalnya pengurus yang membangunkan mereka, sampai disiram dengan air pakai gayung, dan ember.

Suara sepiker masjid lantang, dengan bacaan Istigfar para santri. Sambil menunggu waktu Salat Subuh, semua santri berbaris lurus memenuhi saf salat. Ada yang tertidur, ada yang menahan kantuk sambil mengaji, ada pula yang menghafalkan nazam.

***

Pesantren yang aku tempati, mewajibkan pembacaan Istigfar mulai jam 03:00 WIS. Sebagaimana sebuah hadis; "Allah suka dengan tiga suara, salah satunya membaca Istigfar di waktu sahur." (HR. Bukhari-Muslim)

Selain itu, ada pengajian Al-Qur'an setelah Salat Subuh, dilanjut pengajian kitab ke pengasuh setelah pelaksanaan Salat Sunah Dhuha yang diwajibkan. Waktu istirahat hanya beberapa jam saja. Belum lagi yang tingkat ibtidaiah, sekolahnya masuk sekitar jam 07:35 WIS. Sedangkan, yang tingkat sanawiah, sekolahnya setelah Salat Zuhur.

Pesantren Salafiyah ini tidak ada sekolah dasarnya. Hanya sekolah MaDin (Madrasah Diniyah), yang mana dibagi dua waktu, pagi dan siang. Pagi sampai zuhur, kelas satu sampai enam ibtidaiah. Siang sampai sore, kelas satu sampai kelas tiga sanawiah.

***

"Min. Ngopi di kantin yuk!" Riyan menghampiriku di asrama.

"Malas, ah, Ngantuk banget aku, Yan. Mending tidur dulu, persiapan untuk masuk sekolah."

"Tidur pagi-pagi itu tidak boleh, dampaknya ke rezeki orang tua kita bisa tidak lancar," katanya membujukku.

"Tapi aku enggak kuat, ngantuk banget!"

Riyan berusaha menarik-narik tanganku, yang malas banget untuk buka mata, pagi ini.

Kebiasaan yang hampir tak tertinggal, nongkrong di kantin pagi-pagi; menikmati hangatnya kopi, sambil bercanda gurau menghilangkan frustrasi. Tinggal cara kita bagaimana menghibur diri, agar bisa betah hidup di pesantren yang jauh dari segalanya. Belajar untuk bisa berhenti dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di rumah, sedikit demi sedikit. Meskipun, rasanya memang sangat menyakitkan, tetapi dengan meluapkan canda dengan sesama teman, bisa menghilangkan rasa stres yang tak tertolong.

Bait demi bait, kini dipelajari hampir setiap hari. Syair ulama yang menjadi jurus menuntut ilmu, perlahan bisa kulantunkan.

Hari-hariku penuh dengan religi. Berpakaian rapi dengan kopiah, dan jubah sudah mulai nyaman untuk dikenakan setiap hari. Sampai-sampai perjalananku pun tidak pernah lepas dari tasbih berputar, diiringi lantunan Selawat, menyertai setiap langkahku. Nikmat, indah, dan tenang, tatkala semua pikiran terbebani dengan hal yang tak berguna, kini hanya Nama-nama Mulia yang terucapkan.

Setiap langkah, setiap ucapan, bahkan setiap kali aku beraktivitas tidak pernah lepas dari Ibadah yang kupamerkan kepada malaikat pencatat amal, Rakib dan Atid.