Chereads / Sang Luna Yang Beruntung / Chapter 12 - Seperti Pernah Terjadi

Chapter 12 - Seperti Pernah Terjadi

Aku ke dapur dan membantu Melva merapihkan piring-piring, mencucinya sebentar, ku ambil bagian untuk membereskan bekas-bekas makan kami.

"Kamu sudah baikan? Jika belum, lebih baik kamu tidur saja lagi" Ucap Melva yang mengkhawatirkan keadaan diriku, karena dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja.

"Tidak apa-apa kok, aku rasa sekarang sudah lebih baik dari pada tadi" Ucapku tersenyum kepadanya, dia pun membalas senyumanku.

"Baiklah kalau begitu kita rapih-rapih terlebih dahulu kemudian kita memasak" Ucap dia yang melanjutkan percakapan di antara kami berdua.

"Oke aku setuju denganmu" Kami pun tertawa kembali bersama.

"Oh ya bagaimana jalan-jalanmu dengan tuan Belbatom kemarin?" Tanya Melva yang sedikit penasaran, karena aku belum menceritakan apapun tentang Belbatom kepadanya.

"Orangnya sangat sopan dan begitu ramah, dia juga sepertinya tipe seseorang yang sangat baik kepada banyak orang, terlebih lagi dirinya memiliki banyak kenalan di kota" Ucapku yang menjelaskan kepada Melva, sebab dia ingin tahu dengan apa yang terjadi sebenarnya.

"Hmmm… sepertinya kamu sudah menemukan seseorang yang cocok denganmu ya" Katanya yang meledek diriku.

"Ah belumlah, lagi pula itu baru pertemuan pertama di antara kami berdua, dan masih banyak yang harus ku lakukan di banding dengan hanya memikirkan orang seperti itu" Ucapku yang tidak terlalu ingin untuk membahas tentang Belbatom, lagi pula aku pun bahkan belum bertemu sama sekali dengannya dan dia pun juga belum mengenali diriku lebih jauh lagi.

"Hehe katakan saja bila kamu sudah mulai menyukainya, aku akan merahasiakannya kok," Melva kembali meledekku, aku pun hanya tertawa saja menanggapinya.

"Ayo cepat kita masak dulu makanan yang akan kita hidangkan, ini sudah semakin siang" Ucapku yang mengatakan kepada dirinya untuk memasak sesuatu lebih baik lagi sebab hari ini sudah semakin siang dan akan sangat sayang bila kami melewati sarapan.

"Tenang saja, kita bisa memasak makanan yang bisa matang dengan cepat" Ucap Melva.

"Oh ya, makanan apa itu?" Tanyaku sedikit penasaran.

"Telur ceplok, ditambah dengan kecap dan saus, tinggal di hidangkan nasi, maka rasanya akan sangat nikmat, mudah bukan" Ucapnya sambil memegang beberapa butir telur di tangannya.

"ya ya terserah deh makan apa, aku ikut saja" Ucapku kepadanya sambil mencuci piring-piring yang kotor.

"Kenapa kamu seperti tidak suka begitu sih" Katanya dengan wajah cemberut.

"Ih bukan begitu, namun aku kan sedang mencuci, jadi tidak terlalu kepikiran untuk memasak sesuatu hehehe" ucapku yang mencoba untuk menghiburnya.

"Kalau begitu biar aku yang memasaknya untukmu, setelah itu kita sarapan bersama" Ucap Melva yang sudah bersiap untuk mengambil beberapa perlengkapan memasaknya, penggorengan dan juga sebuah mangkuk untuk mengocok telur serta beberapa peralatan lainnya yang membuatnya tampak begitu cocok menjadi seorang koki, dengan celemek di tambah baju putih memanjang dan topi yang besar di kepalanya.

"Apa kamu berdandan begitu lengkap hanya untuk mengocok telur" Kataku yang meledek dirinya saat menggunakan pakaian yang serba lengkap.

"Walau bagaimana pun, meskipun hanya sebutir telur, kita harus memasaknya dengan penuh perasaan" Ucapnya sambil menyeplok sebuah telur ke mangkuk.

"Iya deh yang ingin menjadi koki" Ucapku.

"Sudah kamu fokus mencuci saja, biar aku yang memasak makanan untukmu kali ini" Dia pun fokus untuk kembali memasak makanan yang bisa untuk segera di hidangkan.

Ku pegang piring-piring yang kotor dan ku bersihkan, selesai dari mencuci, ku rapihkan semuanya, tertata dengan begitu baik di sebuah rak piring yang sudah tersedia, tidak lupa, aku menaruh semua piring dan sendok serta garpu-garpu di tempat yang sudah semestinya.

Rasanya lega sekali ketika kita sudah bisa menyelesaikan sebuah pekerjaan, membuatku bisa untuk menikmati hariku kembali.

Kami pun makan bersama di pagi hari, melihat dia yang seperti sosok ibu, sekaligus saudara perempuanku, membuatku merasa begitu dekatnya dengan dia, dan mungkin dia akan menjadi seseorang yang selalu ada di dekatku, meskipun aku tahu suatu saat nanti, kami akan memiliki keluarga kami masing-masing, namun setidaknya kami akan selalu mengingat setiap momen kebersamaan yang berharga di antara kami berdua, dan kami masih ingin untuk selalu mendapatkan sebuah tempat yang begitu bagusnya dan juga membuat beberapa hal yang menjadikan diri kami untuk bisa selalu saling bercerita satu dengan yang lainnya.

Melva yang selalu ingin untuk menjadi seorang koki yang hebat, yang bisa terkenal setidaknya di negeri kami, membuatnya terus bersemangat untuk memasak dan juga menjual masakan-masakannya di pasar, menjajakan masakan yang istimewa di sebuah kedai yang kami sewa, dan kami membukanya setiap sore hingga malam hari.

Di pagi hari biasanya kami akan membeli semua kebutuhan untuk memasak, membuat kami selalu ingin untuk bisa memberikan sebuah hasil yang terbaik, baginya memasak bukan hanya sekedar membuat sebuah makanan, namun memberikan cita rasa dan juga menuangkan perasaan terhadap makanan adalah sebuah bagian terpenting di dalam sebuah masakan.

Untuk seseorang yang memang terbiasa memasak, Melva merupakan seseorang yang memiliki ambisi dan juga keinginan yang begitu kuat, serta dirinya memanglah sangat pantas bila dia bisa untuk menjadi seorang koki yang hebat.

"Wah enak sekali masakanmu, meskipun hanya telur ceplok namun aku akui ini enak kok" Ucapku kepadanya.

"Hei kamu ini sebenarnya memuji atau menyindir makananku sih?" Katanya yang terlihat sedikit kesal karena hanya bisa memberikan sebuah telur ceplok.

"Memuji dong, untuk apa aku menyindirmu coba?" Tanyaku kepadanya.

"Karena hanya telur saja kan? Hayo ngaku aja kamu" Ucapnya yang memojokkan ku.

"Hehehe, ayo kita fokus untuk makan dulu, baru selesai itu kita rapihkan" Ucapku yang mengalihkan pembicaraan.

"Oh iya juga nanti keburu siang dan aku tidak sempat kepasar, kamu akan ikut aku kepasar? Atau masih trauma karena kejadian kemarin?" Ucapnya yang ingin mengajakku kepasar, namun dia mengerti dan paham kalau sepertinya aku masih ada sedikit trauma karena baru saja kemarin, orang-orang di pasar memperlakukan diriku dengan sangat buruk.

"Boleh deh, ayo kita ke pasar dan membeli beberapa persediaan" Ucapku yang menyetujui ajakannya.

"Eh aku saja deh yang kepasar, mungkin kamu bagian beres-beres rumah saja ya hehehe" Ucapnya yang mencoba untuk membagi tugas saja, mungkin dia mengerti aku masih sedikit merasa tidak enak bila harus berangkat kepasar lagi.

"Hmm.. Yasudah deh aku yang rapih-rapih, kamu yang kepasar" Ucapku.

"Nah gitu dong, baru tim yang kompak" Kata dia menyambungkan.

"Huu… Dasar kamu" Ucapku kembali.

Kami pun selesai sarapan pagi membereskan semuanya dan merapihkan semua perlengkapan memasak kami, membuat semua hal menjadi sangat rapih kembali, setelah kami mengacak-acak semua perlengkapan yang kami dapatkan, membuatku menjadi begitu sangat ingin untuk bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan.

Aku pun selesai untuk merapihkan piring-piring, dan juga sendok-sendok, ah lelah sekali rasanya, selesai itu semua, ku buka pintu kamar mandi, dengan guyuran air yang menerpa tubuhku, membasuh seluruh bagian mulai atas kepala hingga ujung kakiku.

Menuju kekamarku, ku langkahkan kakiku secara perlahan sambil mengeringkan rambutku dengan handukku, ku elap seluruh bagian badanku, tidak lupa memakai parfum dan juga kembali memakai bajuku, setelah semuanya lengkap, aku membuka jendela untuk membuat udara masuk ke kamar agar terasa lebih segar dan sirkulasi udara yang lebih baik.

Aku kaget dengan apa yang aku lihat, seseorang dengan jubah hitam berada di depan kamarku, ku lihat pakaian yang dia kenakan sama persis seperti apa yang aku lihat sebelumnya, begitu berjalan seperti seseorang yang mencari orang lain, terlihat langkah kakinya.

Aku takut untuk melihat ke arahnya, sebuah pancaran energi yang benar-benar membuatku merasa seperti seseorang yang ketakutan, membuatku sangat ingin untuk bisa pergi dan menjauh darinya, aku jadi sedikit ingin untuk lari.

Aku terjatuh karena kaget dengan apa yang aku lihat, ku ingin kembali menutup jendela kamar, namun langkah kakinya semakin dekat menuju ke jendela kamarku, bulu-bulu tanganku mulai berdiri, keringat mulai bercucuran secara tidak ku sadari.

Apa yang harus ku lakukan, dia benar-benar menyeramkan, wajahnya ada luka bakar di sisi kiri, membuatku tidak dapat melihatnya berulang-ulang, duh bagaimana ini, pikirku sejenak.

Dimana di lingkungan rumahku sangatlah sepi, karena kebanyakan orang-orang sudah mulai meninggalkan tempat kami, banyak yang berimigrasi ke sebuah tempat yang jauh lebih layak, karena di lingkungan tempat kami tinggal, begitu jauh untuk mencapai tempat-tempat yang bisa di singgahi, seperti pasar yang letaknya cukup jauh, butuh waktu tiga puluh menit dalam melakukan perjalanan, dikelilingi hutan belantara dan di apit oleh beberapa rumah, membuat lingkungan yang aku tinggali begitu terasa asing untuk di huni, mungkin hanya tersisa beberapa orang saja yang tinggal di sekitar sini, dan aku juga jarang sekali untuk menyapa mereka.

"Tok.. Tok.."

"Tok.. Tok.."

"Tok.. Tok..." Enam kali ketukan pintu terdengar dari depan, membuatku merasa akan sesuatu hal yang akan terjadi, aku pun menjadi begitu panik, sehingga langsung mengumpat ke bawah kolong tempat tidurku.

Tidak sempat aku menutup jendela kamarku, bulu-buluku tidak turun sama sekali, malah bertambah tinggi berdiri, merinding rasanya, benar-benar seperti terjebak di kamarku, semoga dia tidak melihat kamarku yang terbuka jendelanya.

"Verona, apa kamu ada di dalam?" Sebuah suara yang aku kenali terdengar dari sebuah pintu depan.

Jantungku mulai kembali normal dan aku merasa seperti kembali hidup setelah sebelumnya sempat sekali merasakan rasanya seperti ingin mati, membuatku benar-benar mengucurkan banyak sekali keringat.

Ku langkahkan kakiku ke depan pintu rumah, secara perlahan dengan langkah yang teratur aku mulai memberanikan diri untuk membuka pintuku.

"Siapa di luar?" Tanyaku dengan nada yang keras.

"Ini Aku Anderson" Sebuah suara yang ingin ku pastikan, apakah dia adalah Anderson, atau mungkin dia bukan Anderson melainkan orang dengan jubah hitam tadi.

Aku membuka pintu rumahku dan memastikan kalau itu benar-benar Anderson, membuatku merasa lebih tenang dan sangat nyaman ketika aku membuka pintuku dan ternyata benar kalau itu adalah Ander.

"Ah syukurlah, apa kamu tidak melihat seseorang dengan jubah hitam di luar sini?" Tanyaku kepadanya.