Nada dering dari sebuah ponsel terdengar dari atas meja nakas. Indira bergeming terduduk di tepi ranjang tempat tidurnya. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangan dan melihat ke arah ponsel yang masih terus berdering. Indira menyerah dan beranjak mengambil ponselnya. Sesuai dengan tebakannya dari tadi, kontak ayahnya tampil dilayar ponselnya.
"Halo."
"Apa yang sedang kamu lakukan sejak tadi? Berkali-kali papa telepon kenapa tidak diangkat?"
"Aku sedang sarapan dibawah, ponselku tertinggal dikamar."
"Selalu dengan alasan yang sama. Mau menghindar dari papa?"
Indira menghelakan napasnya pelan, "Ada apa papa menelponku?"
"Jangan berpura tidak tahu dan membuat papa terus mengulangi perkataan papa setiap kali bicara denganmu."
Indira terdiam. Sebenarnya dia memang sudah bisa menebak apa yang akan menjadi topik pembicaraan ayahnya. Selalu sama dan selalu dibicarakan.
"Menikahlah sebelum papa mati karena menyimpan aib sepertimu. Apa kau mau menjanda seumur hidupmu?"
Indira mengadahkan kepalanya ke atas. Dilihatnya langit-langit kamarnya yang perlahan kabur karena genangan air mata di pelupuk matanya.
"Kau harus kembali rujuk dengan Andrew dan meminta maaf padanya dan keluarga besarnya."
"Kenapa harus dia, pa?" suara Indira parau
"Karena tidak ada lagi putra konglomerat yang mau menerima wanita yang penuh aib di masa lalu sepertimu. Ditambah lagi dengan pribadimu yang aneh itu." ucap Tio Hartawan, ayah Indira dengan tegas.
"Jadi papa lebih suka bila aku menikah dan mati ditangan laki-laki itu dibandingkan melihatku hidup walaupun sendiri?"
"Kau tidak akan mati jika kau bisa menjadi istri dan menantu yang baik bagi mereka." Jawab Tio Hartawan, "Bisakah kau menjadi contoh yang baik bagi adikmu? Bahkan adikmu jauh lebih baik. Dia tidak pernah mengecewakan dan selalu bisa dibanggakan didepan semua orang. Dia memang pewaris tunggal Hartawan Grup yang akan lebih hebat dari papanya. Kebanggaan keluarga."
"Kenapa tidak dia saja yang kalian jodohkan? Pasti akan menambah rasa bangga kalian padanya." Indira tersenyum sinis namun getir.
"Pasti. Setelah dia menamatkan sekolah dan perkuliahannya, dia akan menjadi raja yang memimpin Hartawan Grup. Semua putri-putri konglomerat pasti akan berebutan ingin menjadi pendamping hidupnya. Dia membanggakan, tidak seperti kau, Indira."
"Sudahlah, pa. aku ada urusan pagi ini. Sepertinya baterai ponselku juga mau habis. Selat pagi, pa."
Indira menutup panggilan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari ayahnya. Tangannya terjatuh dipangkuannya. Lemas rasanya mendengar hal yang menyakitkan berulang-ulang kali.
Indira melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur dan beranjak untuk mandi. Siang ini dia ingin jalan-jalan dan melupakan semua perkataan ayahnya. Sebelum mencapai ke kamar mandi, Indira meraih tanaman kesayangannya yang ada di jendela kamarnya, "Selamat pagi anak-anakku yang cantik." Sapa Indira sambil tersenyum, "Nih, nikmati sinar matahari kesukaan kalian." Indira membuka tirai jendelanya lebih lebar. Setelah itu Indira melanjutkan renacananya ke kamar mandi.
Selesai mandi, Indira berjalan ke walk in closet. Inilah part yang paling disukainya. Memilih dan memadu padankan pakaian yang akan di pakainya berikut dengan model dan warna sepatu beserta segala perintilan aksesoris lainnya. Jika sudah dalam part ini, Indira akan menghabiskan berjam-jam waktunya. Dia memang sejak dulu bercita-cita menjadi disainer dan sempat menamatkan sekolah desainernya di Paris, namun cita-cita itu harus pupus karena keputusan sepihak ayahnya untuk menikahkannya dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya.
Indira berjalan ke depan cermin besar yang ada di kamarnya dan memastikan kembali penampilannya. Setelah cukup puas dengan penampilannya, Indira beranjak ke meja riasnya. Dipilihya warna yang sama dengan warna pakainannya dan memoleskannya ke wajahnya.
Tiba-tiba netra Indira melihat ke arah sebuah lipstik yang ada dipojok meja riasnya. Lipstik itu sudah lama dibelinya namun tidak pernah dipakainya walaupun sedikit. Padahal Indira sering ingin sekali memakainya karena senada dengan warna beberapa bajunya.
Tangan Indira perlahan mendekat ke arah lipstik itu dan mengambilnya. Dibukanya tutup lipstik itu dan diputarkanya perlahan. Sebuah lipstik berwana merah menyerupai warna darah muncul keluar. Indira melihat ke arah cermin lama. Dia menimbang-nimbang apakah dia telah sanggup untuk memakainya saat ini?
Dengan tangan bergetar Indira memoleskan lipstik itu ke bibirnya. Namun karena tangannya terlalu gemetar, polesan lipstik itu jadi berantakan dan tidak merata.
Indira menatap gambaran wajahnya di cermin. Bibirnya bergetar hebat, matanya memanas, butiran-butiran hangat mengalir ke pipinya. Gambaran-gambaran mencekam dimasa lalu kembali terlintas jelas.
Bayangan badan kekar dan besar berdiri didepannya. Pria itu tampan namun begitu bengis dan angkuh. Meraih tangannya dengan kasar dan membanting tubuhnya dengan kasar ke atas kasur.
"Dasar murahan!"
"Apa maksudmu mengatakan aku murahan?" tubuhnya bergetar mendapatkan perlakuan kasar dan makian secara tiba-tiba di malam pertamanya menjadi seorang istri.
"Ya, kau memang murahan. Berlagak menolak perjodohan padahal meminta uang yang lebih banyak. Cih!" Laki-laki yang pada hari itu sah menjadi suami seorang Indira Putri Hartawan berdecih.
"Uang? Uang apa?"
"Jangan berlagak bodoh! Mahar 50 milyar dan pesta super mewah yang telah kau rancang sendiri. kau lupa?" Laki-laki itu berkecak pinggang. Wajahnya begitu memerah menahan amarah.
"Aku bersumpah demi apapun, aku tidak pernah meminta semua itu. Bukankah hal itu memang dari kau dan keluargamu?"
"Wow, selain murahan kau juga munafik ya. Jika tidak karena harga diri, aku sudah pasti menolak. Wanita yang sepuluh kali lebih cantik darimu bisa aku dapatkan dengan mudah. Andrew Adam pantang ditolak, dan lihatlah hanya dengan 50 milyar aku bisa membeli harga dirimu. Kau dengar?" dia menyeringai
Laki-laki itu berjalan mendekat. Dirobeknya pakaian yang dikenakan Indira dengan kasar. Melepas semua lapisan pakaian yang menutup tubuh indah Indira hingga benar-benar polos. Indira berteriak kuat berusaha melawan. Laki-laki itu dengan cepat melayangkan tamparan bertubi-tubi ke wajah Indira dan menciptakan percikkan darah diujung bibir Indira. Dengan rakus dilahapnya tubuh yang sudah tidak berdaya itu.
"Kau sudah ku beli. Sekarang kau adalah mainanku." Laki-laki itu tertawa sambil terus menikmati setiap jengkal tubuh Indira.
Satu jam lelah bergulat dan menikmati dengan kasar tubuh wanita yang sedang dibawah kendalinya, akhirnya Andrew sampai pada puncak nikmatnya. Andrew menarik dirinya dan duduk di samping Indira.
"Kau masih perawan rupanya?" Andrew melihat sedikit bercak darah di kasurnya, "Baguslah. Tidak sia-sia aku mengeluarkan uang sebanyak itu."
Andrew beranjak keluar dari kamar dan meninggalkan Indira yang penuh luka dan darah di tubuhya.
Bayangan kisah itu begitu jelas terlintas di mata Indira. Darah itu masih begitu terasa asin dilidahnya. Pedih, sakit, hancur semua bersatu padu.
Indira berteriak. Dilemparkannya lipstik yang ada ditangannya ke cermin meja riasnya dengan kuat.
Ponselnya kembali berdering berkali-kali. Indira masih terduduk sambil menutupi wajahnya.
Sebuah nada pesan masuk ke ponselnya. Indira membuka wajahnya dan melihat ke arah ponsel yang ada di atas tempat tidurnya.
Dia berjalan menuju tempat tidurnya dan meraih ponselnya. Indira membaca pesan yang masuk kedalam ponselnya.
"Kak Indira pulang ya. Papa sekarang lagi koma di Rumah Sakit kak."