Kami berlari di sepanjang saluran air sampai sinar matahari terlihat di ujung jalan. Sebuah pemandangan luar dinding yang sejuk kembali kami rasakan setelah sekian lama. Kelompok kami berhasil kabur dari Ibukota.
"Hah...hah..hah." Grup kelelahan karena berlari.
"Sekarang apa?" Aku bertanya pada Kevin.
"Kita hanya bisa kabur ke timur." Kevin menunjuk gunung es yang ada di timur.
"Ke Suwasina? Kenapa? Lebih baik ke utara ke kepulauan Borneona," usulku.
"Jangan ke sana! Aku dengar Borneona dipimpin oleh Raja Ragona. Dia tidak peduli dengan perang Dua Pangeran. Dia hanya peduli dengan uang." Koko keberatan atas usulku.
"Lagipula Borneona adalah tempat para makhluk setengah hewan, kan? Aku tidak yakin makanan mereka aman untuk kita." Ira akhirnya berbicara dengan normal.
"Oh.... Ira kau sudah kembali normal?" Kevin menaikkan alisnya karena terkejut.
"Mungkin... Aku senang saat keparat itu mati. Tapi itu tidak bisa mengembalikan mereka." Ira mengacu ke warga desa sana.
Suara langkah-langkah prajurit mulai dekat. Kami memang berhasil keluar saat ini. Tapi belum dibebaskan dari hukum.
"TIDAK ADA WAKTU LAGI! Tinggalkan tempat ini dengan segera." Kevin memberi intruksi.
Kami hanya bisa kabur mengikuti arah Kevin berlari. Sampai akhirnya kami sampai di sebuah hutan. Ini bukan hutan yang sama seperti di tempatku terdampar dan tidur saat insiden di desa.
"Ah(kelelahan)....Kita berhenti di sini." Kevin menghentikan grup dan berhenti di tengah hutan untuk istrahat.
Kami bermalam di tengah hutan ditemani oleh api unggun yang mengitari kami dengan duduk bersilang dengan santai. Situasi grup sedang aman terkendali.
"Hey... Kumohon Ira... Maulah kau kuajar!" Koko memaksa dengan raut muka senang agar Ira mau dia ajar juga.
"Bukannya Jafar saja cukup?" Ira menahan ajakan Koko.
"Iya aku tahu... Tapi lebih dari satu murid pribadi lebih baik, kan." Mata Koko bersinar karena bersemangat.
"Hmmm.... Mengajarkan Ira sihir mungkin akan berguna untuk kedepannya. Sebaiknya kau juga mau, Ra." Kevin memegang dagunya.
"Ya kalau itu yang kau mau ya sudah." Ira menuruti Kevin.
"Kau nurut sekali dengannya," tanyaku.
"Mau bagaimana lagi. Dia satu-satunya keluarga yang aku punya sekarang." Ira menundukkan kepalanya.
"Jadi... kenapa kau mengikuti Kevin, Jafar?" Koko menanyaiku.
"Aku hanya tidak punya tujuan." Aku menggarut kepalaku.
"Saat Kevin bilang mau pergi ke Suwasana, sebenarnya aku sangat bersemangat. Aku hanya ingin berkeliling Negara ini." Aku melanjutkan sambil menatap langit malam yang indah.
"Sebenarnya aku tidak keberatan kau ikut. Asalkan kau tidak menjadi beban bagiku. Itu sudah cukup." Kevin menatapku dengan serius.
Itu benar. Aku adalah yang meminta untuk bergabung. Aku harus terus menjadi lebih kuat. Tanganku menggenggam erat sambil ku naikkan ke atas.
"(Aku harus bisa melindungi mereka)." Aku berjanji di dalam hatiku.
Suara angin kencang mulai menemani malam yang gelap. Suara langkah kaki yang sangat banyak datang mengerumuni kami.
"Oh... Ada makhluk yang kelaparan ya?" Kevin melihati kawanan kuda berkepala serigala.
Kuda berkepala serigala atau yang disebut Jarjag sering kali muncul di hutan-hutan yang ditinggalkan. Mereka bisa berlari sangat cepat. Namun, tubuh besar mereka menjadi kerugian mereka. Mereka tidak bisa berlari dengan lincah melewati pohon-pohon dan akar-akar di hutan.
Kami memyiapkan senjata kami. Kevin sudah siap membidik, Ira siap mengayunkan pedangnya, Koko siap membakar mereka semua, dan Aku akan menguliti mereka. Kami berempat menyerang para kerumunan Jarjag.
Kevin menembaki para Jarjag dengan tepat sasaran. Kecepatannya mengisi ulang crossbow sangat menakjubkan. Hanya perlu sekitar 2 detik crossbow sudah terisi ulang.
Ira mengayunkan dan menebas para Jarjag dengan mahir. Aku tidak tahu Ira memiliki kemampuan berpedang yang lihai. Dia menebas kaki para jarjag dan setelah mereka lumpuh. Ira menusukkan ke kepala mereka.
Untuk Koko tidak perlu dipertanyakan. Dia cukup sekali mantra, 2 jarjag hangus terbakar, membeku, gosong, dan mati keracunan.
Melawan kerumunan jarjag menggunakan pisau adalah hal yang sulit. Aku hanya bisa mengandalkan lemparanku. Pisau kulemparkan ke kepala jarjag dan harus dengan cepat aku mengambil pisau yang menancap dan melemparkannya lagi.
"Hyaa!" Aku melemparkan pisau ke kepala jarjag. Aku berlari ke arah jarjah yang kutusuk.
"Heh?!" Pisauku tertancap terlalu dalam dan tidak bisa keluar.
Kawanan jarjag mulai mendatangiku.
"Jafar ambil ini!" Koko melemparkan sebuah gelang. Gelang yang sama yang dia pakai.
Gelang ini adalah sumber energi atau bisa dibilang tempat menyimpan energi sihir. Kapasitasnya berbeda-beda sesuai tingkatan gelangnya. Bila gelang ini dibuat oleh penyihir yang berpengalaman maka tidak diragukan. Gelang itu akan memiliki kapasitas yang sangat besar.
"Pakai dan fokuskan energimu ke pisau!" Koko memberiku perintah.
Aku mencoba konsentransikan energiku ke pisauku yang tertancap. Sebuah cairan ungu keluar mengelilingi kedua pisauku.
"Ini elemen racun?"
Aku berhasil mengeluarkan pisauku dan langsung melempari 2 jarjag yang sudah dekat denganku. Satu pisau tidak berhasil mengenai kepalanya. Tapi jarjag itu mati karena keracunan.
"Inikah kekuatan sihir?" Aku menatapi jarjag yang tertusuk perutnya oleh pisauku.
"Jafar awas!" Ira memperingatiku.
Tapi sudah terlalu dekat. Aku tidak bisa menghindar ataupun menyerang. Inikah akhir dariku?
KRAKK!!
Suara tembakan crossbow melesat ke arah jarjag yang ada di depanku. Jarjag itu terlempar dan menatap pohon. Bolt itu mengenai tepat lehernya.
"Sudah aman." Kevin memberi jempol padaku.
"Terima kasih, Kevin." Aku menutup mataku sambil melekukkan mulutku.
"Karena sekarang para jarjag mati. Kita harus mengulitinya. Tapi sayangnya yang bawa pisau hanya kau di sini." Kevin menunjukku.
"Oh... Jadi?" Aku mendatarkan mukaku.
"Sebagai balasan terima kasih, sebaiknya kau kuliti mereka. Kita bisa menjual kulit jarjag dengan harga mahal di suwasana." Kevin menepuk punggungku berkali-kali.
"Ha...." Aku menghela nafas dan tak bisa melawan.
Aku menguliti sekitar 25 jarjag sendirian. Ira dan Kevin sudah tidur. Koko masih bereksperiman dengan para jarjag yang sudah kukuliti dengan sihirnya.
"Mau kubantu?" Koko datang meninggalkan eksperimennya.
"Bukannya kau sedang eksperimen?" Tegasku.
"Membantu muridnya yang kesusahan adalah hal yang harus dilakukan oleh guru, bukan? Koko mengedipkan sebelah mata dan mengangkat jari telunjuknya.
Aku yang tidak tahu cara menolak hanya bisa memberikan Koko satu pisau yang ada di sarungku.
Malam ini, aku dan Koko sebagai guru dan murid menguliti kumpulan jarjag bersama di sepanjang malam. Pekerjaan menjadi cepat selesai.