Aku adalah anak dari keluarga bangsawan yang sangat kaya raya. Hidupku setiap hari selalu dikelilingi oleh kemewahan. Setiap hari selalu kuhabiskan dengan berlatih pedang spesialis shortsword yang diajarkan oleh guru professional.
Saat aku menginjak umur 16, aku tersadar oleh kenyataan pahit kehidupan berpolitik. Hidupku dihancurkan begitu saja oleh kakakku demi mendapat tahta keluarga kerajaan di Javana.
Dia memfitnahku dengan menyebarkan berita palsu tentang diriku. Berita itu dipercayai oleh seluruh orang di Javana. Namaku langsung tercap buruk dan dijauhi masyarakat.
Aku yang merasa sudah tidak bisa tinggal lagi di sini memutuskan untuk pergi dengan membawa dendamku pada Kakakku. Begitulah awal kehidupanku sebelum bertemu dengan Orc aneh di hutan saat itu. Kehidupan dari Norman Zeinski yang menyamarkan namanya sebagai Jafar Aditya untuk mendapatkan kehidupan yang baru.
Kembali lagi ke masa kini, Jafar masih terkejut melihat wujud ibunya yang sudah berubah menjadi roh sihir yang mengerikan.
"Apa kau benar-benar ibuku?!" Aku merangkak mundur menjauhinya namun setiap kali aku mundur, maka dia mendekatk 2 langkah ke depan.
Aku mengamati tubuh roh itu. Saat aku melihati barang-barang yang dimilikinya, seperti baju dan cincin bangsawan bangsawan khas keluarga Zeinski, aku hanya bisa tertunduk sedih.
Roh sihir yang ada di depanku memang ibuku.
"Kenapa? Hiks...Kau bisa berakhir di sini, ibu?" Aku menatap ibuku sambil mengeluarkan air mata.
Monster itu berjalan mendekat, aku tidak mencoba lari lagi. Aku sudah lelah dengan ini.
Duk duk duk
Langkah dari 6 kaki monster itu berjalan mendekat. Mataku masih tertutup dan mengeluarkan air mata, tapi sebuah belain lembut di pipiku mengalihkanku. Monster itu,....maksudku ibuku mengelap air yang turun dari mataku.
"Hah?!" Mataku terbuka dan terkejut.
Aku melihat ibuku dengan raut sedih. Sedikit demi sedikit aku mencoba berdiri dan mencoba menyentuh wajahnya yang mengerikan.
Tekstur kasar dari wajah ibuku terasa di telapak tanganku. Aku mencoba mengusap wajahnya yang kasar. Meskipun sudah jadi begini, sensasi yang kurasakan masih sama seperti dulu.
Tiba-tiba!
Aku merasakan sebuah sengatan listrik dan melihat sesuatu.
"Sayang, bagaimana ini? Norman belum juga kembali ke rumah." Suara wanita sedih.
Dia sedang berbicara dengan orang yang ada di depannya yang merupakan suaminya.
"Namanya saat ini sedang buruk, jadi itu normal untuknya pergi meninggalkan rumah." Pria itu berdiri menatap keluar jendela rumahnya.
"Tapi dia masih belum dewasa! Umurnya bahkan masih di bawah 18 tahun, bukankah dunia luar begitu keras?!" Wanita itu berteriak tersedu-sedu.
"Norman adalah anak manja yang kuat fisik tapi lemah mental, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuknya mendapatkan ujian keras dunia." Pria itu kembali kembali duduk ke kursinya.
"Tapi dia pergi tanpa membawa apa-apa!"
"Biarkanlah, yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari tahu siapa pelaku yang memfitnahnya." Tatapan pria itu meyakinkan istrinya.
"Kalau begitu! Biarkan aku pergi mencarinya! Kau diam saja di sini sambil mencari pelaku sedangkan Norman kelaparan di hutan yang dingin." Wanita itu memaki suaminya dan pergi meninggalkan ruangan.
Penglihatan tiba-tiba kabur dan berubah ke tempat gua ini. Wanita itu berjalan sendirian di gua yang gelap dengan membawa baju zirah dan pedang yang sudah dia siapkan dari rumah.
"Gua ini cukup dalam, jika aku masuk ke kedalaman 4 mungkin aku bisa menemukan sesuatu." Wanita itu berjalan menuju kedalaman dengan obor meneranginya.
Saat di kedalaman ke 4 dia berhenti dan mencari-cari bekas material yang ada di sana. Biasanya barang-barang para warga atau petualang yang terbunuh dibawa oleh para laba-laba ke sana.
"Tidak ada apa-apa. Aku tidak menemukan apapun yang berhubungan dengan nama Zeinski." Wanita itu mengoreh-ngoreh tumpukan sampah.
"Aduh aduh...Apa yang berhasil kukejar di sini. Seorang wanita berumur 40 tahun berambut coklat dan berzirah dengan lambang kuda bersayap, lambang keluarga Zeinski. Seperti ada dalam gambar target yang harus kuincar." Seorang wanita muncul dari belakangnya sambil memegangi gulungan bounty.
"Siapa kau?!" Wanita itu mengarahkan obornya ke sumber suara, seorang berpakaian seksi ala penyihir dengan membawa bola yang melayang di atas telapak tangannya muncul dari kegelapan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, karena kau sebentar lagi akan mati." Penyihir itu tertawa pekik.
Wanita itu langsung menarik sarung pedangnya dan maju menebas penyihir. Sayangnya penyihir itu menahan serangannya dengan menggunakan telapak tangannya.
"Apa?! Bagaimana bisa?!" Wanita itu terkejut saat melihat seseorang menahan pedang tajam milik bangsawan.
"Lemah sekali, hihihi... Aku akan perlihatkan padamu, apa itu arti dari kekuatan itu...sebenarnya..." Sebuah asap ungu keluar dari bola yang penyihir itu pegang mengelilingi tubuh wanita itu.
"Apa ini? Kenapa panas sekali? Sesak...!" Wanita itu menjerit kesakitan setelah terkena asap itu.
Penglihatanku tiba-tiba kabur dan kembali.
"Hah?! Apa yang terjadi?" Aku melihat sebuah penglihatan dari ibuku.
"Ibu!!!" Aku menangis keras dan roboh dihadapannya.
Sebuah tangan membelai rambutku. "Akhirnya, aku menemukanmu, Norman anakku sayang." Ibuku tersenyum dan arwahnya keluar dari monster itu.
Aku sontak berdiri dan mencoba menggapai rohnya yang terbang ke atas. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain melihat wajah ibuku yang semakin lama kian hilang dengan tersenyum.
"Jafar!" Suara keras dari kegelapan gua terdengar nyaring memanggilku.
Aku menghiraukannya dan masih menatap langit-langit tempat ibuku menghilang. Berdasarkan apa yang kulihat, penyihir itu pasti dikirim oleh Kakakku. Aku menatap ke arah sumber suara.
Aku berdiri dari dudukku. Perjalananku kali ini benar-benar akan memiliki tujuan. Tujuan yang kejam, untuk menghabisi nyawa seseorang. Tapi sebelum itu, aku butuh memperkuat diriku dulu. Aku berjalan pergi meninggalkan lokasi ibuku menuju teman-temanku.
"Hoy!!!! Aku disini!" Aku berteriak menandakan lokasiku.
"Ohhh... Akhirnya ketemu!" Kevin dan kelompoknya berlari ke arahku.
"Apa yang terjadi?! Bagaimana dengan makhluk itu?!" Ira menjerit khawatir dengan menggoyang-goyangkan bahuku.
"Bukankah itu monsternya?" Koko menunjuk ke arah jasad laba-laba tanpa kepala.
"Woahhhh....Kau mengalahkannya sendirian? Hebat sekali!!" Ira memujiku dengan mata berbinar.
"Bukan sesuatu yang hebat, bagiku ini hanyalah tes kecil bagiku." Aku memalsukan senyumku.
"Matamu merah, Jafar. Apa kau habis menangis?" Kevin menyadari kondisi mataku.
Ira yang tadi memuji-mujiku menjadi terdiam lalu mulutnya melekuk dan matanya menyipit. "Jangan-jangan kau berteriak ketakutan dan secara tidak sengaja. Kau menyerang dengan membabi buta tanpa sadar kalau lawanmu sudah kalah." Senyu menggoda Ira mendekatkan wajah.
"Itu..." Aku tersenyum dengan menggaruk pipiku.
"Jangan-jangan itu benar-benar terjadi?" Koko melihatku dengan senyum kecewa.
Aku berpura-pura bodoh saat ini. Tidak ada manfaatnya bagiku, kalau aku memberi tahu tujuan hidupku saat ini.
Kami berjalan melewati gua itu dengan selamat. Sayangnya mereka lupa soal pertandingan yang seharusnya mereka lakukan di kedalaman ke 4.