Chereads / Perjalanan Harapan / Chapter 6 - Bagian 6. Desa yang Dingin

Chapter 6 - Bagian 6. Desa yang Dingin

Kami berempat berjalan menyusuri jalan setapak sambil membawa kulit dan daging Jarjag. 'Berat sekali', itu adalah yang terlintas dipikiranku saat membawanya.

Aku menengok barang bawaan yang lain, mereka sepertinya tidak kesusahan. Mereka membawa kulit dan daging itu dengan santai.

"Bagaimana cara kalian bisa dengan santai membawa itu semua?"

Aku bertanya pada mereka dengan wajah berkeringat. Ira membalas pertanyaanku.

"Bukannya ini enteng? Kita orang-orang bawah sudah terbiasa mengangkat beban berat tidak seperti para bangsawan keparat, mengerti?"

"Oh....."

Aku memalingkan wajahku. Karena sebenarnya...

"Hey lihat! Desanya sudah dekat." Koko menunjuk ke arah desa.

"Bagus... Kita bisa menjual barang-barang ini dan memenuhi kebutuhan kita untuk sampai ke Provinsi Suwasana."

"Kak Kevin, apakah sebaiknya kita menyisakan beberapa kulit dan daging jarjag buat kita?"

"Kenapa?"

"Siapa tahu, nanti ada kebutuhan mendadak."

"Tenanglah... Kita bisa memenuhi semua kebutuhan di sana. Aku sering ke desa itu, katanya kulit jarjag sangat dibutuhkan untuk melewati musim dingin di sana."

Koko mengangkat jari telunjuknya. "Astaga! Bagaimana aku bisa lupa? Provinsi Suwasana selalu dihujani oleh salju."

"Sebaiknya kita bersiap-siap di desa itu, pastikan kalian semua sudah siap. Kita harus masuk gua yang dipenuhi banyak monster laba-laba dan roh sihir."

Mendengar kata laba-laba dan roh sihir membuat muka Ira dan Koko langsung pucat.

"Aku benci laba-laba..."

"Roh sihir suka menyedot tenaga sihirku..."

Mereka berdua seperti kehilangan motivasi untuk berjalan.

Kami sampai di desa tersebut. Tempatnya yang begitu terpencil dan dekat dengan gunung es, membuat desa ini selalu membutuhkan penghangat untuk penduduknya, pasti sulit untuk hidup di sana. Desa itu bernama Batoe Timoer.

Suasana dingin sudah menyelimuti kami, aku sudah mulai tidak tahan dan menggigil

"Brrrrr, dingin sekali, kenapa kita tidak buat baju penghangat sebelum kesini?"

"Jika kita buat di hutan tadi, hasilnya akan mungkin buruk belum lagi prajurit masih mengejar kita. Tahanlah sedikit!" Kevin memarahiku.

Jalan setapak yang tertutup es menghiasi desa itu. Hampir semua penduduk yang kulihat, memakai baju hangat dari kulit. Jadi itu kenapa Kevin ingin sekali menjual kulit-kulit ini disini.

Kami tiba di sebuah rumah sederhana, di dalamnya terdapat orang yang sudah sepuh. Dia menyambut kedatangan Kevin dan kelompoknya(termasuk aku).

"Selamat pagi Kevin, lama tidak bertemu. Apakah kau kesini untuk menjual barang-barangmu?"

Kevin mengangguk tanpa memberi tahu apa yang terjadi pada desanya.

"Ya kami sedang mencoba menjual kulit dan daging ini. Kami butuh uang untuk persiapan ke Ibu Kota Provinsi Suwasana."

"Baiklah kalau begitu mari kuhitung."

Sambil menghitung, sepuh itu melihati kelompok kami. Dia seperti keheranan, mungkin jarang bagi Kevin untuk bepergian bersama orang lain.

Aku ingat saat Kevin bilang, 'akhirnya aku punya teman untuk bepergian dari desa ke desa'. Berarti selama ini dia selalu berdagang sendirian menyusuri Negara ini. Apakah karena itu, para pangeran dan raja melirik Kevin sebagai pengguna Royal Tattoo.

"Ngomong-ngomong, apakah mereka teman-temanmu, Kevin?"

"Ya, dan kami sedang berkelana untuk sementara."

Aku menyadari kalau saat ini Kevin sedang berbohong, kenapa dia tidak mau mengatakannya saja, mungkin kita akan dapat bantuan seperti di Ibukota Batu Tujuh saat itu.

"Berhati-hatilah... Aku dengar di gua itu muncul sebuah monster yang tidak biasa. Penduduk setempat mengira kalau monster itu adalah roh sihir biasa, tapi saat diserang, roh itu tidak merasakan sakit sedikitpun. Dia kelihatan seperti sedang sangat tersiksa. Para penduduk saat ini sedang tidak berani melewati gua itu. Monster itu sangat berbahaya."

Sepuh itu menceritakan apa yang terjadi pada gua yang mau kami lewati. Sebuah roh sihir yang mengerang sedih, biasanya fenomena itu terjadi karena semasa hidup roh itu memiliki penyesalan yang berketerusan. Cukup dengan menenangkan roh itu, maka dia akan hancur. Masalahnya, apa yang diinginkan roh itu?

"Terima kasih atas informasinya, bapak." Kevin memukulkan kedua tangannya sebagai ucapan terima kasih.

Perjalanan kami harus berhenti terlebih dahulu, karena mencari persiapan adalah hal yang harus diutamakan saat ini. Aku mencoba menanyakan Kevin tentang barang yang akan dibeli, dia kan sudah berpengalaman.

"Kemana kita akan mencarinya?"

"Pertama kita ke toko itu." Menunjuk sebuah toko kecil di selatan rumah sepuh.

"Baiklah, ayo pergi!"

Aku mencoba mengambil perintah-

"Tidak... Aku kelelahan dan tidak mau berjalan lebih jauh." Ira duduk perlahan di batu dengan muka lelah.

"Aku juga lelah..." Koko ikut-ikutan.

Kini hanya aku dan Kevin.

"Sudahlah tidak apa, lagipula mereka kan memang tidak pernah keluar sejauh ini."

Aku memalingkan badanku lagi, entah kenapa tapi aku merasa tersindir saat mendegar kata-kata Kevin.

Kami masuk ke toko itu, banyak kerajinan dari kulit tergantung dan tertata di toko itu, mulai dari baju, sarung tangan, tas, dan lain-lain untuk menghadapi musim dingin tanpa batas di desa ini.

Saat kami masuk, seorang wanita dan ibunya yang sudah tua menyapa kami. "Ah...sebuah pelanggan. Apakah anda orang baru di sini?"

"Ya...sebenarnya kami mau membeli persiapan untuk melewati gua di dekat sini."

Mata nenek itu langsung melebar dan masuk ke pembicaraan kami. "Kau mau masuk ke gua itu?! Apa kau sudah dengar rumor di sana?"

"Sepuh desa tadi sudah bilang."

Kevin baru saja masuk ke toko. Aku merasa aneh, terus siapa yang bersamaku tadi? Aku seharusnya masuk bersama Kevin di sini.

Saat aku menoleh ke pinggirku aku tidak melihat siapa-siapa.

"Oh nak Kevin, lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?"

"Baik sekali nek(tersenyum palsu)."

Kevin yang bingung melihatku langsung menepuk punggungku.

"Kenapa kau masuk sendirian? Bukannya aku bilang tunggu?"

Aku menggarut rambutku,

"Aku juga tidak tahu...Ku kira kau sudah ada disampingku."

"Matamu rabun kah? Badanku sebesar ini dan kau tidak melihat keberadaanku."

"Maaf."

Aneh sekali...

"Oh ya... Apakah pemuda ini temanmu, Nak Kevin?"

"Ya betul...Kami sedang berpetualang menuju Ibukota Provinsi Suwasana."

"Berpetualang? Maksudmu berdagang?...hahaha"

Nenek itu memberi tawa hangat pada kami. Kevin terus menyembunyikan apa yang terjadi, aku mencoba menanyainya setelah keluar dari toko itu.

"Kenapa kau tidak bilang?"

"Desa ini berada di Suwasana, meskipun dekat dengan perbatasan, provinsi lain tidak boleh ikut campur urusan. Itu sudah menjadi perjanjian 2 Pangeran."

"Ketat juga ya..."

Aku menatap kosong jalan di depanku. Aku tidak pernah tahu bagaimana dunia luar itu, yang kutahu adalah duduk dan hidup enak di rumah yang mewah. Jadi aaat aku keluar dari rumah, aku tidak menyangka akan hidup sesusah ini. Bahkan makan saja sulit.

"Oh kalian sudah kembali." Ira melambaikan tangannya pada kami berdua.

Kevin membalas lambainnya dan mulai berlari kecil ke arah Ira. Aku mencoba merasakan apa yang mereka berdua rasakan, hidup keras di desa dan kini harus bepergian tanpa arah karena desa mereka hancur.

Percuma saja, aku tidak bisa merasakan apa yang telah mereka rasakan. Aku baru tahu rasa sakit saat aku dikeluarkan dari rumah itu. Perasaan dendam menghantuimu pada keparat itu.

Dengan persiapan yang sudah mantap, kami mulai melangkah ke arah gua itu, sebuah rintangan menunggu kami. Aku harus menyiapkan mentalku. Tidak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi pada kami di sana. Tapi kami harus tetap maju, sampai kami mendapat ketenangan hidup.

'Ayo! Perjalanan menuju gua yang mengerikan akan dimulai.' Ucapku dalam hati.