Chereads / Kuncup Bunga Mawar / Chapter 4 - 4. Penanggung Jawab Mata Kuliah

Chapter 4 - 4. Penanggung Jawab Mata Kuliah

Dua jam pelajaran senin pagi diisi dengan ketegangan. Bahkan untuk membuka binder saja rasanya perlu kehati-hatian. Dosen mereka, Prof Inggrid, sangat peka. Satu suara yang tak penting dapat menjadi pengubah atensinya. Tadi saja salah satu teman sekelas yang belum Rena kenal membuka bagian tengah binder, mungkin untuk mengeluarkan pena. Prof Inggrid langsung menceramahi bahwa cetrak-cetrek itu tak penting.

Bagi Rena ini menjadi pengalaman yang mendebarkan di hari pertama kuliah.

Pertemuan itu berlangsung lama ketika membahas penanggung jawab mata kuliah. Hampir tak ada satupun yang mau menjadikan dirinya PJ. Tak pelak hal ini tentu menambah kekesalan Prof Inggrid. Ketika ada laki-laki yang mengajukan diri, beliau langsung menolaknya dengan alasan "Masa laki-laki terus, perempun dong. Apa perempuannya gak ada yang berani?"

Rupanya Prof Inggrid memang perempuan yang selalu menjunjung tinggi konsep kesetaraan gender.

Untung saja kelas itu akhirnya selesai setelah salah satu teman perempuannya mengajukan diri. Naya namanya. Perempuan pemberani yang Rena ketahui karena sering tampil jika ada acara ulangtahun maupun perayaan di fakultas dan departemennya. Beberapa bulan lalu Rena juga pernah melihatnya ikut lomba sajak mewakili mahasiswa tahun pertama. Naya juga terkenal sebagai perempuan yang selalu menjadi partner membaca puisi laki-laki di sampingnya, Mahesa.

Maka tak heran ketika Naya mengajukan diri Mahesa terlihat shock dan mengasihaninya. Mungkin pikiran Mahesa sama dengan Rena yaitu berdoa semoga Naya baik-baik saja setiap menemui dan menghubungi Prof Inggrid nanti.

"Gila lo, Nay. Berani banget buset. Prof Inggrid loh itu." Mahesa berujar menghampiri Naya yang sudah dikerubungi teman-temannya yang lain.

"Sedetik kemudian setelah gue diterima gue langsung menyesal tahu! Mau nangis pliss." Naya menunduk melebih-lebihkan ekspresinya. "Mil, gantiin gua dong."

Perempuan lain yang duduk di samping Naya hanya bisa menepuk pundaknya, memberi kekuatan. "Lain kali, Nay. Gua juga gak mau kalo begini. Serem banget."

Rena masih memperhatikan beberapa interaksi di depannya. Kelas Prof Inggrid sudah selesai dan sekarang sedang istirahat dua puluh menit. kebetulan sampai ashar nanti kelasnya masih di ruangan yang sama. Dia berusaha mencari keberadaan Chana dan Naila. Ternyata Chana duduk disebelah perempuan lain di kursi agak belakang sementara Naila duduk dekat pacarnya, Fajri.

"Laper gak sih Ren. Aku kok laper ya. Tapi takut telat kalau nanti dosennya datang duluan." Mahesa kembali duduk di sebelahnya. Memang tak ada satupun yang berpindah tempat duduk mungkin karena jeda waktu hanya sebentar.

"Aku sudah makan sih tadi pagi. Tapi aku bawa ini, mau?" Rena mengeluarkan satu buah wafer coklat dari tasnya. Memang ia sengaja membawanya untuk menjadi camilan.

"Boleh?" tanya Mahesa memastikan.

"Boleh, Esa." Mahesa pun tersenyum dan mulai menyobek bungkus wafer itu. Tepat setelah selesai barulah dosen matkul kedua datang.

°°°°°°

Hari senin tampaknya akan menjadi hari yang super sibuk. Mereka akan berangkat pukul delapan dan kembali ke rumah hampir pukul enam sore. Total empat matkul yang mereka jalani. Sangat padat dalam satu hari.

Baru hari pertama dan rasanya badan Naila sudah tak kuat. Dia bahkan terus mengeluh padahal pulang pergi diantar Fajri.

"Kayaknya kita harus beli koyo cabe deh buat redakan nyeri otot ini." Chana memutar lengannya. Bagian punggung dan pundaknya terasa sakit mungkin efek terus duduk dari pagi hingga sore.

"Nanti malem makan apa? Males masak gak sih. Harusnya kita beli lauk biar cuman angetin nasi ya." keluh Rena tak kalah. Ketiganya kini kompak berbaring di ruang tamu dan beralaskan karpet.

"Siapa tau nanti bisa bangun. Sambil nunggu magrib kita istirahat aja disini." usul Chana sang koki yang akan memasak malam ini.

"Besok kita masuk jam tujuh, ya?" Perkataan Naila sukses membuat Chana dan Rena duduk.

"Jam tujuh?" tatap Chana dan Rena horor.

Naila mengangguk, "Praktikum matkulnya Prof Inggrid."

Informasi Naila barusan sukses membuat mereka bertiga kembali berbaring dengan helaan nafas kasar.

"Bisa tekanan batin kalau tiap pagi ketemu beliau."

°°°°

Pukul tujuh kurang kelas praktikum sudah penuh kembali. Belajar dari pengalaman hari sebelumnya tempat duduk telah dicampur untuk menghindari amukan Prof Inggrid. Untung saja di kelas praktikum ini Prof Inggrid tak ikut menemani namun diwakili oleh asistennya, Bu Wanda.

Beruntung kelas hari ini cukup singkat. Hanya pengenalan asisten, outline praktikum, pembagian kelompok, penentuan lokasi praktikum dan pemilihan penanggung jawab praktikum. Keberuntungan tampaknya tak habis bagi Rena, ia mendapatkan kelompok bareng Chana sementara Naila terpisah sendiri. Penanggung jawab sesi praktikum kali ini diampu oleh Mahesa, orang yang sama yang memberi tahu Naya -penanggung jawab sesi kuliah- untuk mengundurkan diri.

Kalau menurut Chana sih ini sudah ketebak akan terjadi. Karena semua anak kelas hampir tahu, dimana ada Naya, disitu ada Mahesa.

°°°°°

Di sudut yang tidak diketahui siapapun -kecuali Mahesa dan teman satu sirkelnya- Mahesa sedang meratapi kebodohan dirinya persis seperti Naya kemarin. Mengasihani diri karena mau mau saja jadi penanggung jawab praktikum.

"Harusnya gue gak ngajuin diri. Sumpah kenapa kalian gak ada yang ingetin gue buat gak ngajuin diri, sih?" Mahesa menyesal. Belum apa apa rasanya beban di pundaknya sudah setara atlas yang memangku dunia.

"Alah lebay. Cuman disuruh bikin grup WA juga." ujar Haikal tak kalah.

"Ya tapikan.. hshshsh mana kelompok gua dapet di belakang lagi lokasinya. Jauh banget."

"Gak apa apa Mahe. Bareng gua nanti. Kita susah susah bersama." Naya memberikan kata penyemangatnya.

"Bener tuh, tenang gue sama yang lain bantu kok. Bantu doa tapi ya." Suara Mila ikut nimbrung.

"Nah cakep, Naya Mahesa sudah bersatu. Semangat ajalah kalian." Semangat Haikal lagi.

"Gara-gara lo ini teh Nay. Sok ide banget gue mau bantuin. Pokoknya—" Perkataan Mahesa terhenti karena sebuah notifikasi ponselnya. "Tuh kaan, Ah gue disuruh cepetan bikin grup. Nay, gamau tau lo harus bantu guee."

"Iya, berisik. Dah tuh sotonya sampai. Gue laper."

Benar, soto kikil pesanan empat orang sahabat itu sudah sampai. Uapnya pun masih mengepul tanda mangkuk itu masih sangat panas. Untunglah dari tiga jam praktikum hanya dipakai satu jam. Sehingga jam delapan kali ini mereka bisa sarapan.

"BTW udah denger belum sih?" Suara Naya memecah keheningan, "katanya Ospek Fakultas kita bakal dilaksanain minggu depan. Kita pasti bakal disuruh kumpul lagi nih buat milih ketua angkatan."

Agenda meniup kuah soto milik Mila terhenti. Pandangannya lurus ke arah Naya, "Buset tiga bulan kita musyawarah milih ketua angkatan selalu aja gagal. Kurang kuota forum lah, ngundurin diri dari pemilihan lah, pada gamau asli. Udah pada capek. Kumpul-kumpul dapet ketua kagak."

"Bener banget sih. Gua bosen banget." Haikal menyetujui ucapan Mila. Mereka berempat termasuk jajaran orang yang paling sering hadir di acara kumpul angkatan se-fakultas. "Gue mending milih diklat mapala daripada ikut kumpul angkatan," imbuhnya.

"Pilih ketua angkatan pake google form lagi gak sih? Kaya pemilihan ketua angkatan jurusan kita," usul Mahesa. "Lumayan, hemat waktu hemat tenaga."

Tampaknya usul Mahesa kali ini mendapat tertawaan dari Mila dan Haikal. Pemilihan ketua angkatannya dulu persis sama, tidak ada yang mau dan jalan pintasnya memakai google form.

"Andai aja bisa gitu. Cepet dan dan langsung kepilih," balas Mila lanjut tertawa.

Tamparan keras sedetik kemudian sampai pada pundak Mahesa. "Jangan keras-keras ketawanya. Disini banyak senior." ujar Naya bertindak paling normal.

Mereka berempat terdiam dan melirik takut takut,

"Kalau ketahuan bisa-bisa kita di sidang senior, tahu!"