Chereads / Kuncup Bunga Mawar / Chapter 6 - 6. Perihal Jaket

Chapter 6 - 6. Perihal Jaket

Hari Minggu tak terasa seperti liburan bagi Rena. Sejak pukul 10 ia dan teman satu kelompoknya sudah berkumpul di kampus soal pembagian tugas serta barang yang harus di bawa. Ia baru pulang pukul lima sore.

Kini hari sudah Senin lagi. Senin pagi jadwal kuliah Prof Inggrid. Rena, Chana, dan juga Naila berangkat bersama. Kali ini Naila tidak berangkat bersama Fajri. Entah apa yang terjadi namun sejak Minggu pagi Naila nampak sedikit murung.

Fajri sebenarnya sempat menjemput Naila tapi Naila bersikeras jika dia akan berangkat bersama Rena dan Chana. Oleh karenanya Fajri berangkat lebih dulu.

"Nai, sini!" Tangan Fajri sudah melambai-lambai begitu melihat Naila memasuki kelas. Kerutan di wajah Naila kembali begitu melihat pacarnya. Meski demikian gadis itu tetap datang dan duduk di sebelah Fajri.

Chana dan Naila memilih duduk berdekatan di barisan kedua. Masih setengah delapan hingga kelas masih cukup kosong. Beberapa anak yang datang bergerombol pun langsung mencari tempat duduk yang menurut mereka aman dan tentu saja harus bercampur.

"Mau duduk disini, ya?" Suara Yudis datang menyapa indera Rena dan Chana. Tanpa ragu Rena mengangguk.

"Makasih ya kemarin malam. Maaf jaketnya lupa dibalikin tapi udah aku cuci kok."

"Santai aja, gak akan kupake dalam waktu dekat juga kok. Lagian masih bisa besok atau lusa. Atau kapan juga boleh," sahut Yudis enteng. Lelaki itu sibuk mengeluarkan buku yang akan digunakannya untuk mencatat nanti.

"Gak bakal di pake?"

Yudis menggeleng sambil meletakan tasnya di bawah kursi sebelah kanan. "Di rumah masih banyak, hahaha."

"Waw..." Rena ikut tertawa mendengarnya. Baik sekali, pikirnya. Sepertinya Yudis ini tipe teman yang asik diajak ngobrol.

"Rena! Grupnya udah buat?" Kali ini Mahesa datang dan langsung duduk di sebelah Chana yang kebetulan masih kosong. Kini posisi Chana dan Rena diapit Mahesa juga Yudis. "Ini Risa juga kan. Sekelompok Herbology. Hai Dis sekelompok juga."

"Udah Esa. Tapi aku buatnya grup pemetaan wilayah aja. Grup Herbology jadinya dibuat Chana. Kalian berdua," tunjuknya pada Mahesa dan Yudis, "harusnya sih udah masuk grupnya kok."

"Sip, makasih Rena. Tapi Chana itu siapa?" tanya Mahesa bingung. Perasaan saat pembagian kelompoknya kemarin tak ada anak yang namanya Chana.

"Aku Chana, Risa Kencana. Panggil Chana aja," ujar Risa Kencana bersuara diantara mereka. Tak pelak perempuan itu sedikit cemberut.

Rena tertawa. "Iya, ini Chana. Tepat di sebelah." Sementara itu Chana hanya geleng-geleng.

"Kenapa gak dipanggil Risa aja, kenapa Chana?" tanya Mahesa penasaran.

"Kenapa Mahesa dipanggil Mahe, kenapa gak Lintang?" balas Chana. Kebetulan dia sudah melihat nama lengkap teman sekelasnya. Belum lagi Mahesa ini cukup terkenal sehingga mudah untuk ingat.

"Aku dipanggil Esa tuh sama Rena. Sama anak-anak sedaerah juga."

"Ya Chana juga dipanggil Chana sama anak Ciamis."

"Oh Teteh Ciamis!" seru Mahesa keras. "Teh manis aja ya sebutannya. Teteh manis, kumaha damang?"

Wajah Chana mendelik heran. "Alhamdulillah sae. Tapi Chana aja ga usah yang lain," jawab Chana mengikuti gaya Mahesa yang menggunakan bahasa Daerah.

"Teh Manis aja." Mahesa masih kukuh.

Mereka berdua terus berdebat soal penyebutan nama. Chana berasalan jika panggilan Risa terlalu mainstream dan Teteh manis sungguhlah aneh. "Biar keliatan akrab gitu loh, jadi panggilnya Chana."

"Udah, udah. Halo Chana. Panggil aku Yudis aja, oke. Jangan Tira." Yudis akhirnya menengahi. "Makasih udah bikin grupnya. Rena juga."

"Halo Yudis, sama-sama."

"Parah kalian berdua udah seminggu kuliah baru kenalan," ujar Mahesa lagi.

"Mahe juga gak tau nama Chana tadi." Chana masih tak terima meskipun ia tahu Mahesa hanya bercanda.

"Aku kenal loh, Risa kan. Temennya Rian. Eh Teteh Manis deh."

Mahesa tertawa diiringi suara Rena dan juga Yudis. Hiburan pagi sebelum bertemu Prof Inggrid.

"Serah deh Mahe, terserah."

Rena yang mau menengahi dua orang di sebelah kanannya dihalangi Yudis.

"Biarin aja mereka, biar di tegur Prof Inggrid nanti."

°°°°°

Tidak ada yang menarik selama pelajaran pagi sampai siang. Hanya saja saat jam ketiga dimulai tiba-tiba saja rasa kantuk menyerang mereka satu persatu. Dosen kali ini memiliki peraturan yang bertolak belakang dengan Prof Inggrid. Jika Prof Inggrid suka mahasiswanya duduk bercampur lain hal dengan Prof Ali. Beliau ingin mahasiswa dan mahasiswi duduk terpisah sesuai jenis kelamin.

Lucunya beberapa anak ada yang menyebutkan jika pelajaran Prof Ali layaknya pesantren karena tak boleh berdekatan dengan yang bukan mukhrim nya.

Lain pelajaran ketiga yang sedikit ngantuk, pelajaran keempat justru paling membuat ngantuk. Bagaimana tidak, suasana lampu yang temaram, lokasi kelas berada di belakang fakultas, suara dosen yang terlampau kecil meski sudah menggunakan pengeras suara, hingga proyektor yang mati sebelah membuat keadaan kelas sunyi senyap. Hampir tidak ada suara apapun semua kepala terkulai lemas menahan kantuk.

Tak terkecuali Rena. Duduknya di barisan kedua tengah. Lokasi yang sangat strategis sebenarnya untuk menyimak. Tapi suasana yang mendukung untuk tidur membuat tak satupun perkataan dosen yang tertangkap olehnya. Yang Rena lakukan hanyalah mencatat materi power point yang terpampang jelas melalui proyektor.

Bukan karena rajin. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menahan kantuk.

"Hey bangun, Chana, Nai, bangun. Bentar lagi selesai nih."

Naila menggeliat tak rela. Rasa kantuknya begitu besar. Beda Naila beda Chana. Perempuan itu langsung bangun kemudian mengencangkan ikatan rambutnya yang sedikit longgar tak peduli jika mungkin sang dosen melihat kelakuannya.

"Lima menit lagi, ya. Hua~" Chana menguap kecil setelah melihat jam kuliah hampir selesai. "Nai bangun Nai."

Naila masih tak bangun. Barulah ketika slide berisi ucapan terima kasih hingga sang dosen resmi menutup kelas semuanya seperti di bangunkan dari kematian.

Segar kembali.

Suasana semakin riuh begitu dosen keluar kelas. Arif sang ketua kelas menginstruksikan untuk tak langsung keluar karena ada beberapa hal yang ingin dibicarakan.

"Pertama, penugasan kalian untuk ospek fakultas nanti sebisa mungkin dicicil. Minggu ini kita sudah fix akan melaksanakan ospek fakultas. Nanti Rabu, Kamis, dan Jumat malam kita ada kumpul angkatan sekalian penugasan bersama. Pokoknya jangan sampai sakit. Buat cowoknya jangan lupa rambut di rapiin. Kalau gak ada uang buat potong rambut bilang ke gua ya." Arif menutup pidatonya.

"Kumpul lagi males banget. Ayok ah pulang." ajak Naila yang masih setengah sadar.

"Btw Nai, si Fajri nyamperin. Kalau mau ngobrol dulu sama dia aku sama Chana tunggu di Noktah H ya."

Naila mengangguk begitu Fajri mendekat. Sementara Rena dan Chana melanjutkan perjalanan. Belum sampai mereka di Noktah H Naila sudah menyusul tampaknya pembicaraannya dengan Fajri sangat singkat.

"Sebelum pulang kita harus beli lauk makan malam dulu ya. Terus nanti aku mau cerita." ujar Naila lesu.

Kedua temannya yang lain tak berkomentar mereka hanya berjalan dan sesekali mengobrol soal kegiatan ukm yang akan mereka ikuti.

°°°°°

Pagi hari yang cerah menemani perjalanan ketiga gadis NaNaNa kali ini. Semalam Naila mengatakan jika dia sedang dalam hubungan tidak baik bersama Fajri. Ternyata minggu kemarin mereka bertengkar dan Naila baru menceritakannya tadi malam. Berdasarkan saran Chana jika keduanya ada masalah sebaliknya diselesaikan buka menghindar.

Siapa sangka ternyata imbas dari berceritanya Naila membuat Naila semakin cerah seolah sedikit bebannya hilang. Naila bahkan tak mengeluh ketika harus berangkat pukul setengah tujuh pagi.

"Hari ini kita akan memulai menyusun kuesioner wawancara untuk tiga kelompok responden yaitu pengunjung, warga sekitar, serta pada pihak pengelola." Jelas Mbak Wanda di depan kelas.

"Masukan apa saya yang wajib ada dan hilangkan apa yang tidak perlu. Sebisa mungkin kita harus mendapat informasi valid. Kegiatan ini penting sebagai langkah awal perencanaan dalam membangun tempat yang kita inginkan."

Mba Wanda memberikan poin poin penting dan selanjutnya kelas praktikum pagi itu dibimbing asisten masing-masing kelompok untuk mulai bekerja mandiri. Setiap kelompok diharuskan mengajukan rancangan kuesioner nya sendiri dan pada akhirnya akan digabung agar data yang didapatkan sama.

"Usahakan kalian mendapat minimal 10 narasumber terutama untuk pengunjung dan warga sekitar. Sejauh ini ada yang ingin ditanyakan?"

Seperti biasa, kelas mendadak hening seolah semua mahasiswa sudah paham.

"Tidak ada?"

Satu tangan muncul ke atas. Tak lain tak bukan itu tangan Mahesa, penghubung antara dosen dan mahasiswa di kelas praktikum kali ini. "Mbak, nanti jika sudah kuesioner nya di kumpul ke mbak? Di Lab atau—"

"Ya ke asisten. Di Lab. Nanti tulis saja di kertas serta kasih nama kelompok dan ketuanya. Lalu kasih ke kami. Jika masih bingung, saya akan kirim contohnya nanti malam. Kamu tolong ingatkan, ya, Mahesa." Jelas Mba Wanda panjang lebar.

Bukan hanya Mahesa yang tahan Nafas. Ganjar ketua kelompok Rena pun ikut tahan nafas. Apalagi setelah melihat jajaran asisten yang telah memasang wajah julid. Untunglah Mbak Wanda selalu ramah dan menjelaskan dengan senyuman.

"Baik Mbak Wanda. Terima kasih.

°°°°°