Tampak mereka ada di ranjang, Leo menekan selangkangannya. "(Seperti tongkat saja yang masih berdiri... Kenapa kau tidak bisa bekerja sama dengan situasi...)" Leo tampak kesal.
Lalu ia merasakan Caise mendekat mengangkat pinggangnya. Dia memeluk Leo dan mencium pipi Leo hingga ke bibirnya, membuat Leo menutup mata merasakan itu. Tangannya memegang pinggang Caise untuk mendekat.
Namun Caise malah bertanya di tengah jalan, "(Aku penasaran, apa aku harus membencinya atau apa.)... Mas Leo... Apa kau seorang yakuza?" tatap Caise, lalu Leo terdiam. "Bisa dibilang begitu, itu hanya cerita lama," kata Leo.
Lalu Caise terdiam dan menundukkan wajah. "(Rupanya benar, Mas Leo melakukan sesuatu yang sangat jahat dan kejam. Dia bertingkah lain denganku hanya untuk menutupi semua itu, tapi... Untuk apa dia melakukan hal ini?)" Caise mengepalkan tangan dan beranjak pergi dari ranjang, membuat Leo terkejut.
"Caise tunggu," dia menahan lengan Caise. "Ada apa... Wajahmu nampak kesal," Leo menatap dengan khawatir.
"Kau bersikap sangat aneh, Mas Leo."
"Caise... Apa maksudmu?"
"Jangan tanya lagi, kau tidak bisa membuat ekspresi itu lagi," Caise menyela sambil melepas tangan Leo darinya.
"Kau sebenarnya mau apa... Orang sepertimu mendekati seseorang pasti karena ingin sesuatu... Sekarang katakan padaku, kau ingin apa dariku agar aku bisa mengakhiri ini!!"
"Caise... Aku tidak mengerti, kenapa kau bicara seperti itu... Apakah aku tidak bisa melakukan hubungan cinta denganmu? Aku tahu kau juga tidak bisa membenciku, tapi paling tidak tetaplah berada di sisiku, Caise. Aku membutuhkanmu... Kenapa kau terus membuat konflik dalam hubungan ini, padahal kita sudah beberapa kali mengakhiri konfliknya?" tatap Leo dengan wajah bercampur aduk antara sedih dan kecewa.
Lalu Caise terdiam. "Kau lelaki bodoh!!" teriaknya, membuat Leo terkejut.
Namun tiba-tiba, Caise melompat memeluknya dan mencium bibir Leo.
Leo terdiam kaku, tak membuka mulutnya.
"Caise..." Leo memegang kedua bahu Caise dan menatapnya. Caise hanya terdiam membuang wajahnya. Ia lalu memegang handuk Leo dan menariknya.
"Aku ingin... Kau menyentuhku," tatapnya, seketika Leo terdiam.
Tiba-tiba, Leo mengangkat Caise dan meletakkannya di ranjang. Ia menatap wajah Caise dengan serius.
"M... Mas Leo... Aku mohon... Sentuh aku," tatap Caise.
Leo terdiam dengan ragu. "Dengar, Caise. Aku suka padamu, tapi bukan berarti aku memanfaatkan kesempatan ini. Tapi karena kau meminta, aku akan memenuhinya. Teriaklah sesukamu," kata Leo sambil mendekat di leher Caise dan mengecupnya, membuat Caise terkejut dan berwajah merah.
Leo terus turun hingga membuka handuk jubah Caise. Lalu ia berhenti dan menatap Caise yang memerah sambil menutup matanya.
Sekarang dia terlihat hanya memakai bra.
Leo terdiam, memegang bahu Caise yang masih sensitif.
"Lihatlah dirimu sendiri, kulitmu sangat murni dan bersih. Kau seperti gadis baik," bisik Leo yang semakin mendekat, mencium tubuh Caise.
"Ugh... Ah... (Ini benar-benar sangat aneh. Aku merasa geli, tapi ini sangat nyaman. Lidah Mas Leo... Menyentuhku beberapa kali...)"
"Caise... Kau mau melakukannya?" tatap Leo.
"Eh... Melakukan apa?"
"Maksudku seks."
"Apa!!!??" Caise menjadi terkejut.
"Bu... Bukankah ini... seks, Mas Leo?!"
"Ini bukan seks... Seks adalah saat aku memasukannya ke dalammu."
"Ti... Tidak, aku mohon. Aku... Aku belum siap." Caise menggeleng menolak.
"Kalau begitu, kapan kau siap?"
"Uhm... Aku tidak tahu, Mas Leo... Aku hanya ingin... Seperti ini saja," kata Caise dengan wajah imutnya. Lalu Leo tersenyum kecil. "Baiklah," dia mendekat dan mencium bibir Caise.
Caise terus fokus mencium Leo, sementara tangan Leo memegang penisnya dan mengocok dengan cepat. Ia memuaskan dirinya sendiri dengan bantuan Caise, yang hanya mencium dan membiarkan tangan Leo yang lain meraba pinggangnya.
Leo melakukannya sangat lama hingga hampir selesai. Tapi tiba-tiba, siapa sangka, ada yang mengetuk pintu, membuat mereka terkejut.
"Cih..." Leo langsung kesal. Ia mengambil handuk yang tadi ada di pinggangnya, keluar dari ranjang, dan berjalan ke pintu dengan tubuh telanjang, hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk. Sementara itu, Caise tampak menutupi tubuhnya dengan selimut di atas ranjang.
Leo membuka pintu, dan ternyata itu adalah Noah, yang membawa bungkusan makanan dan tampaknya juga ada baju di dalamnya.
Noah terkejut melihat Leo. "Kau benar-benar memaksa gadis itu, ya?"
"Berisik, jangan bicara. Kembalilah duluan. Aku baru akan kembali besok," kata Leo.
"Haiz... Baiklah, ini permintaanmu." Noah memberikan barang-barang itu, yang diterima Leo, dan seketika pintu ditutup oleh Leo, membuat Noah terdiam kaku.
Leo lalu berjalan mendekati Caise yang menatapnya polos. "Caise, kau lapar? Bagaimana jika makan dulu?" Leo meletakkan makanan di atas kasur.
"Wah, he'em... Aku lapar," Caise mengangguk dengan air liur yang hampir menetes.
Rupanya Noah membawakan pizza.
"Makanlah dulu, aku akan membersihkan tubuhku," Leo berjalan menuju kamar mandi.
Hal itu membuat Caise terdiam. "(Mas Leo benar-benar menjaga kebersihan...)" pikirnya, lalu ia menatap pizza yang menggoda itu. Namun sejak tadi, ia belum mengambilnya dan menahan tangannya.
Hingga Leo keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang rapi—celana dan kaus panjang. Ia menatap Caise yang terdiam dan belum makan. "Kenapa belum makan?"
"Um... Aku menunggu Mas Leo untuk makan bersama," jawab Caise sambil malu-malu.
Leo tertawa kecil, lalu mengambil sepotong pizza dan menyuapi Caise.
Caise terdiam, wajahnya semakin merah. "Apa yang kamu lakukan? Aku... Aku bisa melakukannya sendiri."
"Kamu bilang kamu menungguku, jadi aku harus melakukan ini," jawab Leo dengan tatapan penuh keyakinan.
Caise semakin tersipu. "(Astaga... Kenapa ini terasa sangat manis...)" Pikirnya, lalu ia membuka bibirnya dan menggigit sedikit pizza itu.
"Huhu... Enak..." katanya terharu.
"Haha... Kau sungguh sangat imut," kata Leo sambil memakan bagian bekas gigitan Caise, dan mereka makan bersama.
"Mas Leo... Setelah ini... Bisakah kita langsung tidur saja? Aku tak mau kamu berdiri lagi," kata Caise, membuat Leo terkejut dan kaku.
". . . B... Baiklah... (Aku tahu, dia tak suka kalau aku masturbasi... Penis sialan... Ini bukan waktu yang tepat untuk memanjakanmu...)" Leo bergumam dalam hati, kesal pada dirinya sendiri.
---
"Hng... Mas Leo... Pernahkah kau berpikir aku tahu siapa kau?" tanya Caise. Ia terbaring memeluk Leo yang tertidur terlentang, dengan satu tangan Leo memeluk pinggangnya. Ia menatap langit-langit yang gelap sambil mengutarakan sesuatu.
"Kau tidak tahu soal aku, Caise," balas Leo langsung.
"Bagaimana jika aku tahu? Meskipun sekarang aku belum tahu semuanya, bagaimana jika aku tahu semuanya?"
"Bagaimana caramu mengetahuinya?" tanya Leo sambil menatapnya.
". . . Mungkin dari mimpiku."
"Mimpi?"
"Sejak kecil aku selalu bermimpi yang memberitahuku banyak hal. Tapi sekarang aku benar-benar tidak mengerti kenapa mimpi itu hilang, dan aku tidak tahu kapan mimpi itu akan kembali."
"Jadi selama ini kau tidak pernah bermimpi dalam tidurmu?"
"Aku bermimpi, tapi... Aku tidak bisa mengingat semuanya. Seperti aku butuh tidur yang lebih lama untuk menikmati mimpiku. Tapi percayalah... Mimpiku dulu hanya berisi hal-hal yang mengerikan," kata Caise.
"Kau tak perlu tahu tentang aku, Caise. Saat kau bisa menerima semuanya, aku akan izinkan kau tahu tentang diriku. Sekarang, aku hanya ingin kau tidak mendekati siapapun. Kau tidak boleh menyentuh lelaki manapun," tatap Leo tajam, membuat Caise terdiam.
"E... Em..."
"Aku akan memulangkanmu besok, dan saat itu juga aku akan sibuk. Jadi, aku minta kau menjaga dirimu sendiri, Caise."
"B... Baiklah... Apakah sibuk dengan tugas kuliah? Apakah kuliah sesibuk itu seperti dirimu?"
"Aku tidak sibuk soal kampus. Aku bisa datang ke kampus kapan pun sesuka hati, jadi aku tak perlu khawatir. Saat kau kuliah nanti, kau harus mengejar cita-citamu, Caise. Kau ingin jadi apa?"
"Um... Ini agak aneh. Mungkin kau benar tadi. Aku hanya ingin menjadi dokter saja."
"Kenapa kau ingin menjadi dokter?"
"Agar saat Mas Leo terluka, aku bisa mengobatimu," jawab Caise sambil menatapnya.
"Haha... Kau gadis yang perhatian. Tapi, kau sudah membuktikannya bukan? Kau mengobatiku saat kita pertama kali bertemu."
"Ya. (Mas Leo benar-benar sangat baik dan lembut... Aku harap aku bisa menerima dia tanpa memikirkan mimpi atau masa lalu.)"
---
Pagi hari berikutnya, Leo terbangun. Ia menoleh ke arah Caise yang masih ia peluk dalam tidur, dan Caise masih terlelap.
Hal itu membuat Leo tersenyum senang, lalu ia mencium kening Caise. Dengan lembut, ia meletakkan Caise dan beranjak dari kasur.
Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 3 pagi. Kemudian, ia merogoh sakunya dan melihat ponselnya.
Lalu menghela napas panjang. "(Aku memutuskan untuk menjadi harimau... Tapi...)" Leo menyentuh bagian bawah matanya, tepat di tempat tato matahari itu berada.
"(Aku harus menghilangkan hal ini...)"
"Umh..." Caise terdengar bergumam pelan, membuat Leo menoleh dan mendekat.
"Caise, apa aku membangunkanmu tadi?" tanya Leo sambil mengusap pipi Caise, membuatnya membuka mata.
"Um... Mas Leo... Aku baru saja bermimpi sesuatu..."
"Apa itu? Beritahu aku," tatap Leo penuh kasih sayang.
Lalu, Caise memegang pipi Leo dan menyentuh tato matahari itu dengan jarinya. "(Aku bermimpi... Bahwa tato ini akan hilang... Jika aku menggigitnya.) Aku bermimpi aku akan menggigit tato ini," kata Caise sambil menatap Leo.
Hal itu membuat Leo terdiam sejenak, lalu ia tersenyum kecil. "Baiklah, lakukan saja," kata Leo sambil menutup mata.
"(Bagus... Mimpiku tidak pernah salah... Aku akan menghilangkan tato terkutuk ini dan membuat Mas Leo hanya memikirkanku, bahkan saat pikirannya kosong sekalipun.)" pikir Caise, lalu ia memegang kedua pipi Leo dan mendekat mencium bagian bawah mata Leo.
Setelah lama mencium, ia menggigit pelan tato itu, lalu melepasnya untuk memastikan. "Apa itu sakit?"
"Tidak, lakukanlah lagi, aku menyukainya," balas Leo.
Caise semakin tersipu, lalu kembali menggigit bawah mata Leo. "(Aku harap tato ini hilang... Menghilanglah...)" ia terus menggigit dengan keras.
---
Tak lama kemudian, Leo terdiam sambil menatap dirinya di kaca wastafel. Di bawah matanya terdapat bekas gigitan Caise yang manis dan merah.
"Untungnya itu tidak merusak wajahku..." gumamnya. Namun, ia terkejut saat menyadari bahwa tato matahari itu telah hilang, membuatnya tak percaya. "(Gadis itu... Gadis itu benar-benar ajaib...)"