Segaris senyum manis yang terlihat begitu palsu terpampang jelas di bibir tipisnya yang terbalut lipstik merah muda beberapa jam yang lalu. Wajah kecilnya yang di rias make up semakin memancarkan aura cantik yang ia miliki.
Sudah beberapa jam terlewat, namun resepri pernikahan yang begitu membosankan dan sangat membuatnya tertekan tak kunjung usai.
Netra coklat jernihnya yang terbalut oleh kelopak mata sipit itu mengarah pada sesosok pria bertubuh tinggi yang berdiri di sampingnya, menampakkan dengan jelas wajahnya yang begitu tampan. Garis rahang panjangnya yang tegas, serta hidung bangir dan bibir tipisnya yang sedikit tebal, semakin menambahkan rasa takjub bagi setiap mata yang memandangnya.
Sang pemilik rahang tegas itu menoleh padanya, memberikan senyum kotak sebagai ciri khas miliknya, terlihat sangat manis sekaligus menawan. Hal yang sama ia berikan, sebuah senyuman yang tak kalah manis. Yang berbeda antara dirinya dan pria itu, jika pria yang kini sudah sah menjadi suaminya tersenyum dengan tulus namun tidak dengannya. Penuh kebohongan yang terus-terusan ia tutupi.
Berusaha tegar dan terlihat begitu bahagia dengan pernikahan yang tidak pernah ia impikan ini.
Tidak!
Dia menikah bukan karena perjodohan antar orangtuanya dan orangtua sang pengantin pria. Karena pada dasarnya, pernikahan ini terjadi atas kemauannya sendiri. Dan, sebuah paksaan yang tidak mungkin ia ceritakan pada siapapun.
"Kau terlihat sangat pucat," serunya pelan saat mendapati wajah sang suami-Leone yang mendadak berubah.
Tangan mungilnya mengarah pada wajah sempurna itu, memberikan sentuhan lembut. Mencoba menaruh perhatian lebih dari sekedar kata-kata saja.
Gelengan pelan tercipta, meski terlihat jelas ia tengah tidak baik-baik saja, tapi Leon sepertinya igin tetap terlihat kuat di depan Seira.
"Aku tidak apa-apa!"
"Kau yakin?" tanya Seira lagi, bisa ia rasakan suhu tubuh Leone menurun. "Kita bisa istirahat," ajaknya.
Setelahnya Seira sibuk melihat ke kanan dan kirinya, para tamu yang datang mulai berhamburan untuk pulang. Benar, acara panjang sekali seumur hidup ini akhirnya akan berakhir. Senyuman manis tercampur haru juga ia dapati dari sang ayah dan juga neneknya yang duduk tak jauh darinya.
Sepertinya sang ayah tampak sangat bahagia, kerena kini sang anak sudah resmi menjadi istri Leone, juga sedih karena tak menyangka melepas anaknya secepat ini.
"Para tamu juga sudah pada pulang, ak-"
"Kau khawatir padaku?" potong Leone dengan cepat, secepat netra hitam pekatnya mencari keseriusan atas kekhawatiran yang di berikan Seira beberapa saat yang lalu.
Kedua bilah itu mengatup cepat, setelahnya berusaha memberikan senyum meyakinkan atas pertanyaan yang di lemparkan oleh Leone. Padahal jelas-jelas di dalamnya hatinya, Seira merutuk kecil karena pertanyaa yang terdengar sangat memojokkannya.
"Iya," satu kata itu terdengar sangat lembut menyentuh indera pendengar Lenoe.
Untuk yang ini, tak ada sedikitpun kebohongan yang tersirat di dalmnya, Seira benar-benar mengkhawatirkan keadaan Leone saat ini.
Segaris senyum lebar itu mendadak luntur begitu mendapati air wajah Leone yang berubah sangat drastis, kali ini wajahnya lebih pucat dan nafasnya juga ikut tersengal. Tangan besarnya perlahan meremas dada kirinya, jelas ia tengah menahan sakit saat ini.
"Leone!" panggil Seira semakin khawatir, seketika ia beranjak hendak pergi memanggil sang ibu mertua. Namun tangannya di tarik oleh Leone, mecoba menahannya agar mengurungkan niatnya.
"Kita ke kamar saja," pintanya, tatapannya terlihat sangat mmeohon. Seira tak bisa mengacuhkannya begitu saja.
"Ibu! Aku dan Lenoe akan istirahat duluan, kami sangat lelah." Seira memberikan penjelasan saat dilihat sang ibu mertua berjalan mendekat kearah mereka di susul dengan ayahnya.
"Wah, sepertinya kalian sangat tidak sabaran sekali ya!" goda Meri-ibu Leone.
"Ibu, bukan seperti itu!" rengek Seira malu, andai tak ada make up di wajahnya, sudah pasti rona merah itu terlihat sangat jelas.
Seira hanya tersenyum kecil melihat ayahnya yang tak berkata apa-apa.
"Seira akan mengabari nenek besok," lirihnya saat melewati sang nenek yang berdiri di belakang ayahnya.
Benar saja, hubungannya tak begitu bagus dengan sang ayah. Jadi yasudahlah.
"Baiklah," meski wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat, namun Seira tahu, neneknya itu adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya sekaligus orang yang sangat ia sayangi. Bahkan ia jauh lebih menyayangi neneknya daipada orangtuanya.
"Ayo!" ujar Seira sembari menarik tangan Leone yang sedari tadi diam memperhatikan gerak-geriknya. Sepertinya, keadaannya berubah dengan sangat drastis dalam beberapa menit saja.
"Sepertinya kau sangat bersemangat, ya?" suara baritone itu jelas sangat menganggu telinganya. Meski Leone berbisik padanya, namun ia dapat mendengarnya dengan jelas.
"Kau sedang tak baik-baik saja, jangan berkata yang aneh-aneh," celutuk Seira, tangannya hendak melepas genggaman di lengan Leone, namun ia urungkan saat ujung matanya menangkap sosok manusia yang sangat tidak ingin ia lihat.
Saudara tirinya.
Yang kini tengah berjalan angkuh menuju ke arahnya dan Leone. Senyum penuh arti turut mengembang di wajah cantiknya. Kalau saja bukan karena higheels yang Seira kenakan saat ini, pasti tingginya akan terlihat jauh berbeda dengan Karina.
Senyum manis mengembang di bibirnya saat kedua netranya mengarah pada Leone yang terlihat sangat malas memandangnya, bahkan tak berselera sama sekali. Meski begitu, tidak menutup kekecewaan yang Seira tangkap dari senyuman itu.
Yah, dia tahu. Saudaranya ini sangat menggilai Leone, sejak dulu. Tapi takdir jelas tidak mendukung mereka, bahkan Leone tidak sedikitpun menaruh rasa tertarik pada Karina.
Bisa di bilang Karina mengalami cinta sepihak. Karena sang pujaan hati jauh lebih menyukai Seira.
Bahkan dia rela memohon pada Seira agar tak pergi darinya.
"Selamat atas pernikahan kalian!" Karina mengulurkan tangan kanannya tepat di depan Leone.
Lirikan acuh Leone berikan begitu saja, tak tertarik membalas uluran tangan itu, bahkan wajahnya terlihat sangat datar.
"Sama-sama." Seira angkat suara.
Seruan itu membuat Karina berdecak pelan, kalau saja tidak ada Leone di sana, pasti dia sudah akan menghajar Seira saat itu juga. Jelas tawa kecil menyusul saat itu juga, tawa kemenangan sekaligus mengejek yang Seira hadiahkan kepada Karina.
"Kau hanya datang sendirian?" sindir Seira.
"Ya, seperti yang kakak lihat!"
Seira tersenyum sekilas, tak biasanya Karina memanggilnya kakak. Pasti karena ada Leone di sini.
"Kuharap kau juga cepat menyusul Karina, kau tahu kan ayah tak bisa terus-terusan membiayai kehidupanmu dan ibu. Kau harus segera cari suami, atau kalau tidak bekerjalah!"
Seira puas melihat wajah Karina yang merah padam karena kata-katanya.
"Ayo kita istirahat!" Seira kembali menarik lengan Leone dan keduanya berjalan menjauh dari Karina.
Senyum miring muncul saat kedua sosok itu menghilang masuk ke dalam rumah megah milik orang tua Leone, jelas bukan Karina namanya jika ia menerima kekalahan ini begitu saja.
***
"Kau merasa baikan?" Seira ikut duduk di samping Leone sesaat setelah menaruh kembali gelas kosong ke atas meja yang ada di depannya.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Leone, melainkan sebuah tatapan tajam yang menusuk jauh ke dalam hati Seira. Jujur saja, dia benci jika sudah di tatap seperti itu oleh Leone. Tidak sekarang, maupun dulu.
Pria di depannya ini bertingkah seolah-olah membuatnya merasa terintimidasi dan takut, nyatanya Seira memang merasakan itu. Karenanyalah dia tak suka. Dan juga tawa yang muncul memecah keheningan secara tiba-tiba itu. Sudah tidak mengejutkan lagi bagi Seira, Leone memang bersikap seperti itu sejak ia mengenalnya.
Jika saja permasalahan rasa tak tumbuh di hati Leone, sudah di pastikan Seira akan meresponsnya dengan ikut tertawa juga. Dulu memang seperti itu. Tapi tidak lagi untuk saat ini.
Seira gadis cantik berusia 22 tahun yang selalu bersikap lembut dan baik pada semua orang selalu berakhir seperti ini. Semua laki-laki yang dekat dengannya akan menganggapnya punya perasaan lebih terhadap mereka. Nyatanya, satu-satunya cowok yang ia sukai hanyalah Arslan-adik dari Leone sendiri.
Meski ini terdengar tidak masuk akal dan sedikit muanfik, Seira sudah berjanji pada dirinya sendiri bahkan hatinya agar tidak ia buka lagi selain pada Arslan.