"Aku sudah tidak perawan lagi, Leone!" aku Seira dengan cepat.
"SUDAH KUBILANG DIAMLAH!" bentakan itu sangat keras dan sangat menggangu di telinga Seira. Ingin rasanya ia melepaskan diri dari pekukan yang bahkan tak membuatnya nyaman dan terasa begitu menyakitkan.
"KAU HARUS TAHU INI KAK!" Seira tak mau kalah. Jika dia sudah memanggilnya dengan sebutan "Kakak" maka ia ingin suaranya benar-benar didengar oleh Leone.
Lama tak bersuara. Entah siapa yang memilih untuk menutup mulut terlebih dahulu. Nyatanya hanya hembusan nafas gusar yang menjadi backsound dari keheningan mereka.
Hingga, setetes air berhasil mengenai bahu Seira. Diikuti dengan isakan tangis kecil yang berhasil lolos dari bilah Leone.
Mungkin ia tengah menumpahkan kekesalannya karena sudah ditipu oleh Seira di malam pertama pernikahan mereka.
Atau mungkin saja dia merasa menyesal karena telah menikah dengan gadis yang sudah tak lagi perawan?
Entahlah Seira tak tahu tebakan pikirannya yang mana yang mungkin saja benar. Tak lagi mau memusingkan apa yang akan Leone lakukan atau katakan berikutnya padanya.
Mungkin saja menceraikannya di malam pertama mereka?
Ah, Seira akan menantikan itu. Saat kata-kata itu terlontar sendiri dari mulut Leone tanpa ia minta sama sekali. Dan setelahnya ia akan berlari sangat jauh, agar tak ada satu orangpun yang bisa menganggungnya.
Mencari keberadaan Arslan? Walaupun saat ini dia tidak tahu dimana ia berada, tapi setidaknya Seira tidak akan merasa tersiksa karena jeratan cinta Leone.
Netra coklat jernih itu terperangah kendati tak lagi suara isakan yang ia dengar, melainkan kecupan hangat yang didaratkan Leone di cuping telinganya. Deru nafas hangatnya yang tak beraturan sungguh membuat Seira begitu terganggu.
Kedua tangan besarnya kini membawa tubuh langsing itu menjauh dari pelukannya. Tatapan sendu sekaligus terluka tergambar jelas di mata Leone.
Mengakibatkan darah Seira berdesir tak terkendali. Dari dulu, dia tak bisa melihat pria yang ada didepannya ini tampak begitu rapuh dan sangat tak berdaya.
Namun Leone salah mengira rasa simpati yang Seira berikan sebagai cinta. Menutup mata akan hubungan Seira dengan sang adik yang sudah berjalan hampir empat tahun.
Tahu, dia jelas tahu dan tentunya tidak akan perduli. Rasa cintanya pada Seira jauh lebih besar.
Dia bahkan merelakan hidupnya agar bisa dihabiskan bersama dengan orang yang ia cintai-namun tak mencintainya.
Dan kini bagai tertimpa ribuan ton batu, mendengar sendiri penuturan yang sangat menyakitkan dan menusuk jantungnya. Meski ia sudah menyiapkan hati jauh-jauh hari untuk kejutan tak terduga yang akan Seira serukan padanya.
Tapi apakah ia akan melepaskan Seira begitu saja dan marah padanya? Nyatanya Tidak.
Karena sudah jauh hari ia memikirkan ini. Tak mungkin Seira dan Arslan tidak melakukan apapun disaat mereka memilih untuk tinggal bersama empat bulan yang lalu.
Semuanya bisa terjadi. Dan itu tidak akan menggoyahkan pilihan Arslan untuk merebut dan menahan Seira agar tetap berada di sampingnya. Dengan memberikan ancaman daei sakit jantung yang ia derita.
Leone tak tahu harus bersyukur atau tidak kala Tuhan memberinya cobaan dengan sakit jantung yang ia derita semenjak umur tiga tahun.
Karena itu jugalah dirinya sampai kini sangat disayangi oleh ayahnya dan orang-orang disekitar mereka. Entah itu rasa simpati karena melihat bagaimana tersiksanya dirinya menjalani kehidupan yang berat, dan juga tergantungan pada obat-obat sampai ia menginjak umur dua puluh lima.
Mungkin sebab itu juga Seira bersedia menerima lamarannya. Mengancam akan mengakhiri hidupnya yang sangat tidak berguna karena punya fisik yang begitu lemah.
"Aku tak perduli," satu kalimat meluncur dengan lembut, tersirat ketulusan di dalam ucapannya.
Kedua telapak tangan besarnya kini menangkup kedua pipi tirus milik Seira yang entah sejak kapan sudah basah karena air mata.
Senyum lebar disertai usapan lembut di pipi putihnya Leone berikan sebagai penyemangat pada Seira agar tak berkecil hati, mencoba meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja dan tak akan menuntutnya karena hal itu.
"Kau tetap sempurna dimataku!" satu kecupan lembut Leone daratkan lumayan lama di bibir Seira, memberikan lumatan pelan dibilah menggoda itu, mencoba menyalurkan rasa tenang miliknya untuk Seira.
Pikirnya Seira merasa sedih karena tidak bisa menjaga kesucian dirinya sendiri.
Nyatanya, Seira menangis bukan karena penyesalan itu. Melainkan tak ada lagi harapan baginya untuk kabur dari ikatan pernikahan ini.
***
Peluh keringat membanjiri kening dan juga leher jenjangnya, tak ayal tangannya turut bergetar hebat membawa sebuah benda berwarna putih di dalam genggaman tangan mungilnya.
Berulang kali kepalanya ikut menengadah, mencoba mengusir rasa gelisah yang jelas-jelas sangat menerornya.
Perlahan, Seira memberanikan diri menundukkan kepalanya, meski takut mau tak mau genggaman tangan itu terbuka sedikit demi sedikit.
Hatinya seakan mencelos bersamaan kedua netranya mengunci pandang pada alat pemeriksa kehamilan-test pack itu memberi sinyal positif dengan tanda garis dua di sana.
Seakan kehilangan bobot tubuhnya sendiri, Seira terjatuh begitu saja di atas closet. Pandangannya bahkan tak teralihkan sedikitpun pada benda berdiameter sedikit panjang itu.
Detik-detik berikutnya ia mulai membawa tangan kanannya meraba perut ratanya, memberikan sedikit usapan halus tak berarti.
Kini ada kehidupan lain di dalam perutnya. Jelas dia tidak menyangka akan hamil dalam jangka waktu secepat ini.
Mengingat pernikahannya dengan Leone baru terhitung enam minggu.
Tidak! Bukan hal itu yang ia khawatirkan sekarang. Sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya saat ini jauh lebih menakutkan.
BRAAKK.
Netranya membola dengan sempurna saat melihat pintu kamar mandi terbuka dengan paksa dari luar sana, seingatnya ia tadi sudah menguncinya?
Nafas tersengal-sengal menjadi pengiring kehadiran sosok bertubuh tinggi yang kini sudah berada di hadapannya.
Tak jauh berbeda darinya, kening dan leher pria itu juga sudah diepnuhi oleh peluh keringat.
Keduanya saling beradu pandang, air wajah dari suaminya itu terpampang nyata bahwa dia tengah merasa sangat khawatir.
Dan benar saja.
Tanpa berkata terlebih dahulu Leone sudah berlutut di depan kakinya, menatapnya dengan seksama seperti tengah mencari-cari sesuatu yang kurang dari tubuh sang istri.
"Kau baik-baik saja?" akhirnya ia bertanya juga, menatap lurus tepat pada bola mata Seira. "Ibu bilang kalau kau tadi muntah-muntah dan tidak mau sarapan," lanjutnya lagi.
Tangan Leone bergerak cepat mencari tangan mungil milik Seira untuk ia genggam, biasanya Seira akan merasa baikan setelah ia melakukan itu padanya.
Masih tak sadar dengan apa yang sudah terjadi, Seira bahkan menghiraukan keterkejutan Leone akan test pack yang kini sudah beralih ketangannya.
"Kau hamil?" pertanyaan itu mengalihkan Seira dari pikirannya sendiri, mengangguk pelan sebagai tanda "iya" atas pertanyaan itu.
Entahlah, dia terlihat tidak bersemangat setelah mengetahui keberadaan janin didalam rahimnya.
"Sepertinya begitu," sahutnya pelan.
"Terimakasih ya Tuhan!" Leone langsung bangkit dan membawa tubuh Seira kedalam rengkuhannya. "Terimakasih Seira, terimakasih!" kecupan bertubi-tubi ia daratkan pada sekitaran wajah Seira.
Raut kekhawatiran itu lenyap seketika da tergantikan oleh kesenangan berlebih, mengetahui sang istrinya kini tengah mengandung anaknya.
"Sungguh aku tak bisa mengukur rasa bahagiaku. Seira!" Senyum kotak sebagai ciri khasnya itu tercetak jelas di bibirnya.
Segaris senyum sabit Seira berikan atas tanggapan Leone mengenai kehamilannya ini. Tak ada yang ia takutkan sekarang. Karena kini ia tengah mengandung anaknya dan juga Leone."
"Terimakasih," lirih Seira pelan. Mendaratkan kecupan lembut pada Leone.
Leone mengerjap sesaat, mengingat sebelumnya Seira tidak pernah berinisiatif untuk menciumnya terlebih dahulu.
"Aku sangat mencintaimu," seakan tak bosan, Leone terus mengutarakan perasaannya.
Seira mengangguk pelan. "Aku tahu itu!"
Sungguh Leone sangat berharap tak lama lagi Seira akan membalas cintanya.