Menilik lebih jelas kondisi kamar mereka. Ya benar-benar terlihat sangat menggambarkan kamar pengantin baru yang sangat memukau. Padahal Seira sudah berpesan pada Mira agar tidak menaruh hiasan-hiasan aneh di kamar yang akan tempati nantinya dengan Leone.
"Kau suka hiasannya? Aku yang meminta ibu mendekorasinya. Aku tahu, kau suka sekali dengan bunga daysi dan bunga lily." Leone sepertinya terlihat sangat puas dengan banyaknya bunga yang tersusun rapih di kamar itu.
Seira mengangguk pelan kemudian, tak mungkinkan dia mengatakan isi hatinya pada Leone, jelas dia tidak ingin melihat Leone tersinggung dan merasa sedih. Dari dulu memang selalu seperti itu, sampai akhirnya Leone menjadi berprasangka bahwa dirinya juga menyimpan rasa yang sama dengan yang Leone rasakan.
"Tentu saja aku menyukainya," jawabnya dengan seulas senyum yang terpampang di wajah cantiknya.
Melihat respons sang istri yang seperti itu, membuat perasaan senang sekaligus damai mengalir di dalam hati Leone. Tadinya ia pikir bahwa Seira akan marah dengan kejutan ini, karena memang sebelumnya mamanya sudah mengatakan keberatan Seira dengan dekorasi kamar untuk malam pertama mereka.
Leone mengangkat tangannya pelan ke arah wajah Seira, memberikan sentuhan lembut di sekitar pipinya. Seira terus mengembangkan senyumnya, sampai pada akhirnya wajahnya mendadak jadi kaku tatkala tangan hangat nan besar itu menyentuh area bibirnya.
Ia lirik kini wajah Leone yang tampak serius memandang tepat pada objek di depannya, dan entah sejak kapan pastinya, jarak antar wajah mereka sangatlah minim. Bahkan masing-masing dari mereka bisa merasakan nafas hangat yang perlahan mengubah suasana itu menjadi lebih panas.
Secepat itu Seira mengigit pipi bagian dalamnya, takut jika Leone memintanya membiarkan dirinya melakukan hal yang lebih jauh dari sekedar sentuhan saja. Dengan susah payah Seira menelan salivanya.
"Bolehkah?" tanya Leone dengan suaranya yang terdengar begitu serak di telinga Seira, perasaan tadi suara Leone tidak seperti itu.
Sekujur tubuhnya mendadak terasa menjadi panas ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Leone, jelas ia tahu apa yang di maksudkan oleh Leone. Dia tidak sepolos itu untuk tidak mengerti.
Jika ia katakan tidak? Apa yang akan dilakukan Leone nanti padanya? Jika ia membolehkannya, ia takut Leone tahu hal yang ia sembunyikan selama ini darinya. Dan juga dari semua orang.
Leone memundurkan wajahnya ketika mendapati kediaman Seira atas jawabannya. Jika orang berkata, "Diam itu tandanya iya," tapi tidak dengan Seira. Leone tahu betul akan hal itu. Bagi Leone, diamnya Seira adalah penolakan halus yang ia tak ia ucapkan dengan kata-kata.
Keheningan melanda saat itu juga, masih sama. Leone tetap setia memandang wajah cantik Seira yang duduk di sampingnya. Sampai pada akhirnya bibir itu terbuka pelan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak ia sukai.
"Maafkan aku," segera mungkin Seira memalingkan wajahnya. Jika seharusnya malam pengantin baru di hiasi dengan rasa senang yang membuncah, namun berbeda dengan yang mereka lalui.
"Aku belum siap!" lanjutnya lagi.
Kedua tangan Leone meremas gaun pengantin yang masih membalut tubuh Seira. Perlahan pandangannya menunduk, tidak! Ia tidak bisa membiarkan malam pertamanya lewat begitu saja.
Mungkin cinta Seira tak bisa ia dapati, dia akan menerima itu asal Seira bersedia hidup bersamanya dan berjanji tidak akan meninggalkannya. Dan Seira menepati janjinya dengan menerimanya sebagai suaminya. Tapi sepertinya itu saja tidak cukup. Dia benar-benar sangat menginginkan Seira lebih dari itu.
"Bukankah sekarang kau sudah menjadi istriku? Dan sudah menjadi hakku untuk mendapatkan hal itu darimu?" Leone menatap serius Seira. Biarlah ia dikatakan egois, karena nyatanya sedari awal dia memang seperti itu.
Mungkin bisa saja Leone memaksa Seira, tapi ia tak ingin Seira terluka karena hal itu.
Masih tak ada sahutan yang keluar dari mulut Seira, hal itu membawa Leone mendongak dan mendapati istrinya kini tengah menangis tanpa suara.
"Kumohon Ra!" tapi ia tak peduli itu, terus-terusan menekan Seira agar mau menerimanya.
Isak tangis itu kini pecah, Seira tak bisa lagi menahan suara yang ia tahan sedari tadi. Melihat bagaimana sosok pria di depannya ini begitu memohon padanya. Meski, memang ia tidak mencintainya, tapi ia tidak bisa menolak permintaan pria itu. Satu kekhawatiran selalu menghantuinya kala melihat Leone begitu tersiksa saat penyakit yang ia derita bisa datang kapan saja apalagi saat ia merasa begitu tertekan.
"Ra!" panggil Leone lagi, kali ini ia membawa Seira ke dalam pelukannya. Membiarkannya menangis tersedu-sedu di dada bidangnya.
Sampai pada akhirnya satu anggukan pelan ia dapati dari Seira, sebagai jawaban atas apa keinginannya.
"Kau harus tahu hal ini Leone!"
Leone memejamkan matanya dengan erat, berfirasat bahwa Seira akan mengatakan hal buurk yang tidak ingin ia dengarkan keluar dari mulutnya.
Seira mengumpulkan semua keberaniannya, mencoba meyakinkan diri bahwa Leone harus tahu tentangrhasia yang ia simpan sendiri sejauh ini. Dan lagi kini, Leone sudah berstatus sebagai suaminya. Masalah Leone akan marah atau meninggalkannya di sini sendiri malam ini, ia akan menerimanya.
"Aku-"
"Diamlah SEIRA!" Leone semakin mengeratkan pelukan mereka, rasanya jantungnya ingin lepas dari tempatnya.
"Kau harus tahu ini sebelum kau menyesal nantinya!" Seira masih setia dengan pendiriannya.
Sesuatu lain dalam dirinya berharap bahwa nantinya Leone akan sangat terpukul dengan pernyatannya, dan mungkin saja akan memilih meninggalkan dirinya. Dengan begitu, bukankah dirinya akan bebas dari jeratan ini?
"RA!"
Seira dengan paksa melepas pelukan mereka, meski ia tahu usahanya hanya sia-sia saja. Karena dia tahu, Leone tidak akan pernah melepaskan pelukannya jika memang dia tida mau melepasnya.
Degup jantungnya berpacu dua kali lebih cepat ketimbang biasanya. Berusaha meyakinkan dirinya, bajwa dengan jujur dia akan bisa terlepas dari jeratan cinta Leone.
Tidak akan peduli nantinya dirinya akan dicap sebagai wanita apa oleh orang banyak. Mengingat pernikahan mereka diselenggarakan cukup meriah.
Tadinya ia ingin menerima Leone dengan cara dia siap dinikahi olehnya. Nyatanya hatinya sampai saat ini belum kunjung menarik diri dari Arslan-adik Leone.
Dan sekarang tak ada satupun dari mereka yang tahu di mana keberadaan Arslan saat ini. Semenjak dirinya memutuskan untuk menerima lamaran dari Leone, pria itu seketika lenyap bagai di telan bumi.
Bahkan ponselnya tak dapat lagi di hubungi.
Dan apakah orang tua Leone peduli? Mungkin hanya ibunya, tapi tidak tengah ayahnya yang dengan sangat jelas menyatakan bahwa dia hanya menyayangi Leone semata.
Sungguh Seira tak habis pikir, keduanya adalah anaknya, namun kenapa dia sangat pilih kasih seperti itu?
Seira menarik nafas panjang untuk yang terakhir ini, dan bibirnya mulai bergerak pelan.
"Biarkan aku bicara kali ini Leone!" Seira menatap lurus pada Leone yang enggan melihatnya.
"Aku tak ingin dengar apapun darimu sekarang, ak-"
"Aku sudah tidak perawan lagi, Leone!" aku Seira dengan cepat memotong ucapan Leone.