Dengan langkah lebar kaki jenjang itu terus bergerak cepat begitu melewati pintu utama rumah mewah itu. Air wajahnya yang tampak memerah karena menahan amarah yang sedari tadi ia simpan dalam hati kini mulai tampak keluar, meradang dengan cepat. Makeup tipisnya tampak rusak pada wajah gadis dengan mata kucing dan berpipi dumpling gadis berumur dua puluh tahun itu.
Matanya memerah karena marah, rambut coklat sebahunya yang ia biarkan tergerai kini sudah tampak sangat kusut karena ia jambak terus-menerus, upaya meluapkan rasa sakit dan kekesalan hatinya.
Satu gerakan kilat yang ia berikan mampu mendorong sebuah guci berukuran sedang yang semulanya berdiri kokoh di atas meja tepat di sampingnya.
PRANGG.
Sontak saja bunyi guci yang pecah itu langsung menarik perhatian para pelayan yang semula sibuk di dapur menyiapkan makan malam unutuk tuannya. Meski tidak berani bertanya langsung, mereka hanya berani mengintip sekilas saat sosok wanita paruh baya berjalan dengan tergesa keluar dari kamarnya yang jaraknya tidak berapa jauh dari ruang tamu itu.
Kedua bibirnya yang semula terbuka hendak berteriak marah kini mendadak terkatup setelah mendapati sang putri ke sayangannya telah terduduk di atas lantai sembari menundukkan kepalanya dalam, meski ia tidak bersuara namun jelas terlihat gadis itu tengah menangis dari pundaknya yang mulai bergetar hebat.
"Sa-sayang?" panggilnya dengan terbata, sedikit menjinjitkan kakinya yang terbalut sandal rumahan agar tidak terkena serpihan guci yang bertaburan di sekitar tubuh anak gadisnya yang tengah terduduk menyedihkan.
Kedua tangannya sampai menyentuh pundak sang anak. "Karina?" panggilnya lembut, memberikkan sentuhan lembut sebagai penenang pada pundak Karina yang terekspos karena dress tanpa lengan yang ia kenakan.
"Huaa, mama!" lirihnya sembari memeluk Diana dengan erat. Tangis yang sedari tadi ia tahan kini akhirnya pecah di dalam pelukan sang ibu.
Diana terenyuh, memberikan sang anak tumpuan untuk menumpahkan kesedihan yang di akibatkan oleh saudaranya sendiri, ya Seira. Diana tahu betul bahwa Karina sangat menyukai Leone, tetapi dengan teganya Seira malah menikah dengan Leone. Dan kini ia telah berbahagia di atas penderitaan anaknya.
"Leone dan wanita sialan it-" leher Karina rasanya tercekat dan tenggorokannya terasa begitu sakit, tapi tidak lebih sakit dari hatinya yang kini terluka.
"Sudahlah Rin, kau tak seharusnya menangis seperti ini!" tegur Diana, mengendurkan pelukan Karina dan kini beralih menatap wajah sang anak.
"Jangan menangis hanya karena hal itu!"
"Tapi ma-" Karina ingin memberontak, tapi kedua bahunya kini di cengkram oleh sang mama.
"Tangisan hanya untuk mereka yang lemah, kau tahu itu. Mama tidak pernah mengajarimu jadi orang yang lemah dan cengeng seperti ini! Kau gadis yang cantik, akan mudah bagimu untuk mendapatkan yang lebih baik dari Leone!" ujar Diana dingin, nyatanya jauh di dalam lubuk hatinya dia ikut tersiksa melihat kondisi sang anak yang sangat menyedihkan seperti saat ini. Cintanya bertepuk sebelah tangan, dan lagi orang yang mengambil cintanya adalah saudaranya kandungnya sendiri. Meski memang, mereka berbeda ibu.
"Mama rasa Leone itu buta, tidak bisa melihat mana yang lebih bagus!" lanjut Diana lagi.
Kedua kelopak mata indah yang tampak menghitam karena eyeliner yang ia kenakan sudah berantakan karena tangisannya, kini memejam erat. Sampai pada akhirnya kedua tangannya bergerak cepat menepis kedua lengan sang ibu agar terlepas dari pundaknya.
"MAMA TIDAK TAHU APAPUN YANG AKU RASAKAN! MAMA TIDAK MENGERTI BAGAIMANA RASANYA DI ABAIKAN OLEH ORANG YANG KUSUKAI!" Karina berteriak kuat meluapkan rasa sakitnya di depan Diana.
Kini ia kembali terisak dan mulai menyembunyikan wajahnya pada kedua tangannya. "Hiks, Mama tidak tahu bagaimana sakitnya melihat orang yang ku cintai menikah dengan orang yang sangat ku benci."
Kedua bilah Diana terkatup rapat, entahlah sepertinya ia telah menurunkan nasib buruk kepada sang anak satu-satunya yang amat sangat ia sayangi. Mengingatnya saja bahkan membuatnya semakin menaruh dendam pada Seira-wujud pelampiasan atas rasa kebenciannya pada ibu dari gadis itu.
"Anak dan Ibunya sama saja!" gerutunya pelan, tersirat dengan jelas api dendam dan marah yang berpadu di balik matanya yang sipit.
Karina mengangkat sedikit kepalanya dan menoleh pada Diana, menunjukkan raut ketidak pahaman atas ucapan sang mama.
"Maksud mama?" meski tak terlalui meniat menanggapi ucapan sang mama, tapi entah kenapa Karina sedikit penasaran akan art di balik kalimat yang pastinya tertuju pada sang kakaknya-Seira.
Desahan pelan tak ayal keluar dari mulut Diana, mungkinkah sekarang waktunya untuk dirinya mengatakan hal yang membuat dirinya benci pada sang anak itu dan juga ibu kandungnya?
Meski dia harus menutup kebenaran bahwa dirinyalah di sini yang berperan sebgai penjahat, penghancur dari hubungan sahabatnya dan juga suaminya.
"Kau, sebaiknya beristirahat saja. Lihatlah dirimu saat ini, begitu berantakan. Dan untuk kedepannya, mari kita bicarakan nanti setelah dirimu merasa tenang!" Diana mengelus pelan pundak sang anak, menyalurkan rasa kehangatan didalam sentuhannya.
Dengan kasar punggung tangan itu mengusap kedua pipinya yang masih tertiggal jejak air mata kesedihannya.
"Baiklah," sahutnya menyetujui saran sang ibu. Meski dikenal sebagai anak yang keras kepala, Karina tetaplah anak yang penurut dengan sang ibu tercinta.
Dengan sedikit tertatih tubuh yang lebih muda itu berjalan melewati beberapa pecahan guci yang berserakan di lantai. Sedikit bersyukur ujung-ujungnya yang tajam tak mengenai tubuhnya yang sangat berharga baginya.
"Lihat saja Seira! Aku tak akan membiarkanmu hidup nyaman, dan akan merebut kak Leone darimu!" sumpahnya dalam hati.
Tak ayal tangan Diana turut menuntun langkah gontai sang anak menuju lantai dua, tempat kamar Karina berada.
Helaan nafas kasar berhasil lolos dari salah satu pembantu muda yang menyaksikan kejadian di sana, menatap jengkel pada belahan guci yang berserakan di lantai. Dengan cepat, kepala pembantu yang umurnya beriksar hampir lima puluh tahun memberikan intruksi pada bawahannya. Tak banyak, hanya sekitar enam orang yang ada di sana, termasuk dirinya. Sedang yang lain, memilih untuk memberiskan dapur, selepas mereka memasak makan malam tadi.
"Bibi lihat itu? Bukannya senang kakaknya nikah, eh malah nangis-nangis gak jelas," cibir yang lebih muda-Disa pada Inna-sang kepala pembantu.
"Jaga ucapanmu Disa!" bentaknya dengan pelan, sungguh dia tidak akan bisa membayangkan apa yang akan majikannya lakukan pada Disa-keponakannya jika ketahuan mengatainya dari belakang.
"Ck, menyebalkan sekali." Disa memanyunkan bibirnya, kesal. Namun kedua netranya langsung melebar begitu ingatan akan wajah seseorang mendatanginya, diringi dengan senyuman lebar yang terpatri di wajahnya. "Kak Seira pasti cantik banget kan Bik, Aku sangat menyesal karena tidak bisa datang kehari paling berarti baginya."
Memang, dirinya dan juga Seira memiliki hubungan yang bisa dibilang akrab. Mengingat Seira sangat baik kepada siapapun yanga da dirumah ini, dan menjadikannya sebagai salah satu temannya.
Disa merasa sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang sebaik dan secantik Seira, meski jalan hidupnya taklah secantik rupanya.
Sering Disa melihat Seira mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan terkesan kejam dari ibu tirinya dan juga adiknya itu.
Meski tuan Jeno-ayah Seira tahu, dia seperti menutup mata dna beranggapan tidak pernah terjadi apapun pada anak sulungnya.
"Semoga dia bahagia bersama keluarganya yang baru. Aku tidak bisa membayangkan jika kak Seira terus terkurung di penjara ini." Disa mengusap ujung matanya yang basah.
Setiap mengingat bagaimana senyum tulus penuh luka yang terpatri dibibir gadis cantik nan manis itu.