Tahukah kamu, apakah yang dapat membuat seorang pria merasa insecure? Jawaban hanya satu, materi. Edwin merasakan bagaimana harga dirinya terbanting hanya karena sebuah Porsche yang dikendarai teman adiknya si ubin—maksud dia Ruby.
Keluarga Hernandez memang tidak bisa dikatakan miskin, hanya saja Edwin Xavier memang tidak sekaya itu untuk mengoleksi deretan mobil mewah di garasi rumah. Dia masihlah budak korporat di perusahaan papinya sendiri. Johnny selalu menekankan untuk membeli sesuatu itu karena butuh, bukan untuk sekedar gengsi.
"Hanna gak ikut pulang, Win?"
"Nggak, Pi. Katanya dia mau sleepover di rumah temennya..." jawab Edwin seraya bergerak ke dapur. Mencari gelas dan menuangkan susu kotak rasa strawberry dingin yang ada di kulkas. Johnny sedang asik nonton acara flora dan fauna di salah satu kanal luar negeri ketika dia sampai. "Bukannya dia sudah izin?"
"Sama mamamu. Kalau sama papi ya tentu, tidak." Johnny memijit remote televisi untuk berganti saluran. Edwin berencana menemani papinya menonton setelah mengambil beberapa camilan berupa kacang garing dari rak gantung yang ada di pantry. "Kamu percaya?"
"Soal?"
"Itu, adikmu yang menginap..."
"Oh, Hanna. Kirain aku papi lagi bahas apaan deh!" Edwin tertawa renyah. "Lagian tumbenan papi begini, serius amat ngomongnya kayak seorang jenderal yang lagi memaparkan misi rahasia ke para bawahannya."
"Edwin Xavier Hernandez," panggil beliau secara lengkap.
Edwin langsung mengatupkan bibir jadi membentuk satu garis lurus. Biasanya nih, kalau hawa di sekitar lebih sejuk dari yang seharusnya, akan ada marabahaya yang datang. "Iya Papi Johnny-ku yang body goals..."
"Kamu lagi ngejek papi?" Bukan Johnny yang bertanya, kali ini Mama Elisa yang baru saja bergabung di sofa ikut-ikutan penasaran. Apa yang sebenarnya tengah dibicarakan oleh suami dan putranya yang terkenal suka selengean ini. "Win?"
"Mana berani aku, Ma." Edwin menundukan kepala, menunjukkan tanda hormat sekaligus rasa segan terhadap Johnny. "Papi adalah Yang Mulia Benteng Takeshi Kesatu, sementara mama adalah Yang Mulia Benteng Takeshi Kedua."
"Tuh, kamu bercanda mulu!" sambung Johhny.
Edwin menahan agar dia tidak memutarkan bola matanya. "Ini aku lagi serius lho, Pi. Malah dikatain bercanda."
"Ya, mana papi tahu. Kamu tuh sulit dibedakan, mana yang lagi serius, mana yang lagi bertingkah—sama saja." Johnny berkata jujur, entah ini karena dia yang jarang berada di rumah karena sibuk urusan bisnis atau karena Johnny memang tidak pandai membaca jalan pikiran sang putra. "Jadi, pertanyaan papi sebelumnya?"
Mama Elisa mendekat.
"Aku percaya sama Hanna, Pi. Tadi aku liat dia dijemput sama teman perempuan dia. " Edwin meringis. "Mama tau gak sih keluarganya Ruby itu punya usaha yang bergerak di bidang apa?"
"Ruby, ya?" Mama menggosok dagunya seperti sedang menimbang sesuatu. Elisa sebenarnya tidak tahu terlalu banyak mengenai keluarga itu, dia hanya pernah sekali mengadakan pertemuan di kediaman maminya Ruby. Itupun sudah lama sekali. "Katanya sih, mereka punya sejenis ladang kelapa sawit di daerah Kalimantan. Mama gak kenal, sama maminya Ruby."
"Lho, kok gak kenal sih?" Edwin heran. "Mama kan adalah golongan ibu-ibu hits yang satu geng arisan sama mereka. Setiap bulan hampir punya acara. Entah itu buat kumpul manja, sewa yacht atau nge-mall bersama."
"Edwin, kamu tahu gak Alvaro Wicaksono?"
Edwin bertanya, "Siapakah itu?"
"Lho, kok gak kenal sih?" Elisa terbeliak. "Dia kan ayahnya teman kamu, si Milan. Anggota Engine Liners yang sering main ke rumah kita." Mama tersenyum puas karena berhasil membalikan ucapan sang putra.
"Bravo, bravo, bravo!" Johnny tahu-tahu sudah bertepuk tangan dengan heboh, seperti anjing laut yang sedang atraksi di Dunia Fantasi.
Tak pelak, itu membuat Edwin serta Elisa menatap aneh padanya. Mereka sebenarnya hampir tertawa, ingat hanya hampir tidak sampai betulan terjadi, karena Johnny mendadak memiringkan kepala pada sang istri. Rautnya kembali serius dalam hitungan detik. "Ma, maksudnya tadi mama ngomong Kalau Edwin lagi ngejek papi itu bagaimana ya, konsepnya? Apakah papi ini tidak layak untuk disebut, Johnny yang body goals lagi?"
Semua mendadak mengheningkan cipta.
***
"Gimana perkembangannya? Sudah ada kabar dari Mbak Greentea?" Kevin mengawali pagi itu dengan bertanya kepada Zuardi. Rutinitas kantor yang hectic mulai membekap tim sejak pagi buta.
Betapa tidak? Para pembaca beramai-ramai membuat petisi agar karyanya Mbak Greentea ditarik saja dari aplikasi. Hanya karena penulis tersebut, menggantung sub chapter berikutnya dan menghilang tiba-tiba tanpa ada kata tamat atau sejenisnya.
"Bukannya itu salah satu teknik marketing, ya?" Rakha bergumam kosong, dengan pandangan lurus ke meja kerjanya Hanna. Gadis itu ternyata tidak bolos kerja, padahal mungkin ketika bangun tidur tadi ia begitu kerepotan. Rakha ganti jadi memutar kursi ke arah rekan-rekan. "Kemungkinan besar, buku dia bakal gagal naik cetak."
"Dunia juga tahu kalau itu Kha," Hendery menjelaskan. "Secara omzet juga, akan lebih besar dan menguntungkan pihak platform. Secara di musim pandemi begini siapa yang mau studi literatur ke perpustakaan atau toko dan pulangnya menggendong seperangkat buku fisik?"
"Kalian muter-muter mulu. Terus pemecahannya bagaimana?" Kevin tidak sabaran.
Sementara Rakha tengah tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia menyipit dan berkedip berulang kali dalam satu menit, hanya untuk meneliti Hanna yang sedang memasang wajah serius di depan komputernya. Kelvin, Zuardi dan Hendery kompak menunjuk pria itu dengan lidah yang didorong di dalam mulut. "Rakha!"
"Apa?" ujarnya.
"Lo yang temuin Mbak Greentea buat mencari titik terang, ya?" Hendery mengawali dengan wajah penuh pengharapan. Dari segi visual jelas hanya Rakha yang terlatih soal bujuk-membujuk para kaum hawa. Kevin menambahkan, "Pasti dikedipin sekali saja, sudah sawan tuh si Mbaknya."
"Gua gak sejago itu, buat melumpuhkan mangsa. Kalo lu pengen tahu, Hanna aja makin ngambek sama gua." Rakha membeberkan ketidakpercayaan dirinya. Perihal pekerjaan ia akan seprofesional mungkin. "Tapi bakalan coba cari tuh si Teh hijau."
"Lo beneran?" Kevin menarik kursinya lebih dekat ke meja Rakha.
Sementara cowok itu menggantung jemarinya di atas papan ketik, bermaksud agar Kevin melanjutkan pertanyaannya tanpa diminta. Akan tetapi sekarang, Rakha sendiri yang dibuat penasaran. "Soal apa?"
"Pernyataan lo yang pertama dan yang kedua. Teknisnya, seorang Rakha Darendra Hardian bukanlah koordinator lapangan di tim ini." Kevin meluruskan.
Rakha menjawab dengan singkat, "Beneran."
"Terus kenapa cewek itu bisa ngambek sama lo, Kha?"
Kevin meneliti lebih jauh. Dia adalah biangnya gosip di grup chat kantor. Sangat tidak aman menceritakan hal kelewat privasi pada orang semacam Kevin. Maka, sebelum hal yang tidak-tidak tentang Hanna menyebar tanpa dasar. Rakha menjawab, "Karena selama akhir pekan, gua menghabiskan waktu di rumah dia."