Tanpa ada tawar menawar lagi, Hanna membenci jika Rakha sudah masuk ke mode fuckboy begini. Ia sebisa mungkin mengabaikan laki-laki yang tidak berpakaian di depannya. Bagi Hanna, itu sudah biasa. Hingga ketika semuanya beres, ia langsung menggapai pintu mobil dan hendak keluar dari sana secepatnya.
"Bukain nggak?" Hanna menghadiahi tatapan tajam. "Rakha!"
"Gak mau," Rakha kekeh. "Lagi pula barusan kamu nanyanya, bukain nggak? Ya gua bilang, nggak."
Hanna mulai jengah. Ia menahan diri, agar tidak membenturkan kepalanya berkali-kali ke dasbor. Pusing sekali, dia pun menarik napas super panjang. Mengontrol satu sampai dua hal yang ada dalam pikirannya, agar tidak meledak di tempat yang salah. Hanna melihat kemasan foil kecil yang menjadi biang keladi itu.
"Buat lo aja," sesal Hanna.
Pikirannya terlanjur buntu, berdebat dengan Rakha hanya membuat dia menghambur-hamburkan tenaganya. Tidak lama kaca mobil pria ini diketuk dari luar. Beruntung, itu adalah Edwin. Rakha menekan panel di depan roda kemudi, otomatis pintunya tidak terkunci lagi.
Rakha tersenyum miring dan melempar foil tersebut ke sembarang arah. Hanna melihat itu, entah kenapa sebelum berterima kasih kepada Edwin, dia percaya kalau Rakha tidak akan membocorkan apa-apa pada abangnya. "Makasih, Edwin."
"Nope." Edwin menggandeng lengan sang adik, untuk keluar dari kendaraan Rakha. Kurang dari lima belas menit lagi, jam akan menapak tepat di angka delapan malam. Misellia duduk di kursi terdepan. "Kita pulang."
Meskipun mereka sudah dalam umur legal untuk berkeliaran, Edwin tidak bisa melanggar janjinya pada sang (calon) mama mertuanya, untuk mengantarkan Lia tepat waktu. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka telah tiba di depan pagar tinggi keluarga Ikhwan.
"Makasih, ya..." kata Misellia mengintip lewat celah jendela mobil yang sengaja Edwin turunkan. "Hati-hati di jalan, sampai ketemu besok, Win!"
"Iya, Lia. Langsung tidur, jangan begadang cuma buat nonton oppa-oppa kamu yang gak jelas itu," Edwin mencibir.
Untuk yang satu itu, Misellia memutarkan bola mata dengan malas. Apa yang dikatakan Edwin adalah ketidakmungkinan paling besar yang terjadi di abad ini. "Berani bayar berapa kamu, larang-larang aku buat nontonin oppa?"
"Jangan mulai deh, Lia."
Hanna yang sedang bercermin ikut mengamini, "Nah, setuju banget tuh Kak!"
"Bener ya, kata Mama Elisa..." Misellia tampak sedang mengingat-ingat sesuatu. "Kamu tuh dasarnya sudah pelit dari orok. Kalo soal perkara duit, pasti bakal perhitungan banget. Makanya tadi pas belanja aja nyulik, kartunya temen kamu dih."
"Gak gitu, Lia..."
Misellia menantang. "Terus gimana?"
"Sudah, sudah, sudah. " Hanna menyapukan lipstik untuk kali kedua agar warna yang muncul jauh lebih tegas, hati-hati sekali agar tidak melenceng dari garis bibir. "Untuk masalah keluarga, mohon diselesaikan nanti saja. Kalian kalau sudah berdebat, pasti tidak akan ada habisnya. Mau sampai Aphrodite jenggotan juga, gak bakalan kelar pasti!"
Misellia tertawa. Ia baru masuk ke dalam rumahnya ketika plat nomor Edwin semakin mengecil, karena ditelan jarak. Dia membuka pintu, tidak lupa menguncinya lagi ketika sang mama tampak duduk di ruang tengah untuk menonton sinetron kesukaannya. "Seru banget ya, filmnya?"
"Eh, kamu udah pulang cantik?" Mama melakukan cipika-cipiki pada sang anak. "Gimana konsernya?"
"Rame banget," Misellia melemparkan tasnya ke atas sofa. Sudah jadi kebiasaan, kalau sebelum naik ke atas untuk mandi Misellia ini akan bermanja-manja pada sang Mama. "Tadi ada label yang telepon Mama. Katanya video cover kamu di-notice sama penyanyi aslinya."
"Yang mana sih?" Misellia bingung, video cover mana yang Gita maksud.
Dari dulu, ia memang memiliki hobi nyanyi, sering dikirim ke beragam lomba, bahkan ajang pencarian bakat yang sering wara-wiri di televisi. Itu semua Gita yang mengurus, karena beliau adalah mama yang merangkap jadi managernya. "Itu yang kamu upload dua bulan lalu dan penontonnya hampir lima juta kali."
"Oh..." Misellia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Gita mendengus. "Kamu tahu, bagian paling gilanya di mana?"
"Di mana?"
Misellia memejamkan matanya di pangkuan mama. Berharap untuk tidak terlalu memusingkan tentang pekerjaan, lagi pula dia tidak pernah menganggap ini sebagai beban. Misellia suka nyanyi dan Gita tidak mau menyia-nyiakan bakat sang putri. Uang memang bukan prioritas keluarga Ikhwan. "MEREKA NGAJAK KAMU COLLAB, LIA!"
"Serius?" Gadis berkaca mata itu meloncat dari kursi.
"Dua rius!" Mama senang bisa memberi tahu kabar ini ke Misellia. Mereka sama-sama kegirangan, berpelukan dengan erat, saling mengucap terima kasih dan rasa syukur terhadap Tuhan. "Mama bangga banget sama kamu..."
"Kita kabarin papa, ya?"
"Gak usah." Gita tahu-tahu melarangnya.
Kontan raut senang di wajah Misellia meluntur. Berganti menjadi ekspresi yang bahkan tidak pernah Misellia tunjukkan di hadapan semua orang, sendu. Gadis ceria itu membeku beberapa saat. Gita menunduk. "Ma?"
***
"Berhenti di sini aja, Edwin."
Edwin meneliti situasi sekitar. Memastikan beberapa hal yang bercokol dalam ingatannya. Dia sepenuhnya sadar, kalau melepaskan Hanna bersama Ruby atau siapapun itu di malam-malam begini bukanlah hal yang bagus. "Lho, ini belum sampai di tempatnya teman kami itu lho, Na. Siapa namanya? Gue lupa. Ubin ya?"
"Ruby, Edwin. Ruby namanya. Jauh amat ke ubin, lo pikir teman gue itu sejenis lantai apa?!" Tidak kakaknya, tidak Elisa, apalagi Johhny dan Rakha, kalau berbicara pasti ada saja bagian yang kelirunya. "Gue berhenti di sini, karena Ruby lagi main ke Diggity. Dia bawa mobil. Lo pulang aja!"
"Beneran?" Edwin meyakinkan ketika adiknya itu memutuskan duduk di halte. Melipat kakinya tanpa beban, diiringi gestur kibasan tangan untuk mengusir sang abang secara halus. "Gue gak akan izinin lo!"
"Mama sama papi ngizinin, kenapa lo repot?" ketus Hanna begitu saja. Melihat wajah Edwin yang dirambati keraguan Hanna pun melanjutkan, "Gue udah gede, Edwin. Lo kagak usah khawatir sebanyak itu. Gue bisa jaga diri, okey?"
"Bukan masalah itunya," Edwin mengeluh.
"Lalu?" Hanna menarik satu alisnya ke atas.
Mungkinkah Edwin mengetahui kalau ia sedang berbohong? Tapi tidak mungkin. Hanna diam-diam meremat ponselnya lebih keras. Ia berharap Dewi Fortuna akan membantunya. Baru saja sang kakak membuka mulut, sebuah Porsche berwarna biru berhenti di hadapan mereka. "Tunggu apa lagi? Ayo naik!"
"Makasih By," kata Hanna sebelum beranjak masuk di kursi penumpang. Ia menyempatkan berbicara dulu kepada sang abang. "Gue pergi dulu, Edwin. Jangan mangap mulu, entar ada laler masuk. Bye!"
Edwin membatin, "Bye world..."