Chereads / AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN / Chapter 2 - Excepted

Chapter 2 - Excepted

Memangnya apa yang lebih buruk dari hampir dihakimi massa, akibat kau tertuduh menjadi seorang pencopet? Rakha merasakan nestapa itu sekarang. Dia kini terdampar di pelataran parkir dengan beberapa lebam di wajah, tangan, bahkan kaos yang ia kenakan nyaris robek separuhnya. "Kagak ada yang lucu. Gak usah pada ketawa anyin—"

"Eits, inget kata mama Rakha. Jangan bicara kasar!" Edwin menyela sambil menaruh telunjuknya tepat di bibir sahabatnya tersebut. Sudah tidak aneh lagi, jika seorang Edwin Xavier ini bereaksi berlebihan terhadap sesuatu. Terlebih, ketika lengannya spontan ditepis begitu tiba di bibir Rakha.

Edwin menggelengkan kepalanya. Mengangkat jari telunjuk tinggi-tinggi di depan wajah memprihatinkan Rakha, ketika mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Rakha marah besar, hendak menggampar wajah Edwin jika ia tidak punya otak untuk berpikir. "Jijik Edwin!"

"Lagian, lo jailnya kelewat batas."

"Sumpah, demi kerang ajaib. Gua kagak ada jail-jail sama sekali, Edwin." Rakha benci situasi ini. Dia tadi hanya berencana mengangetkan Hanna. Mengajaknya makan malam bersama dan pulang. Sialnya, rencana yang dirancang indah tersebut gagal terealisasikan dengan baik. "SEMUA GARA-GARA CEWEK LU!"

"Eits, atas dasar apa anda menyalahkan Mbak Pacar saya?!" Edwin mengangkat dagunya bermaksud untuk menentang ketidakadilan. Tidak terima jika Misellia menjadi tersangka utama atas kejadian ini, sekalipun benar adanya. Edwin harus membela sang kekasih. Mendengar keributan. Danang segera membelah kerumunan Engine Liners dengan raut tidak kalah panik. "Siapa yang butuh paramedis? Mau ke Rumah Sakit atau Klinik terdekat?"

"KAGAK USAH!" Rakha, Edwin, Milan dan Reza yang sudah frustasi sejak tadi tadi. Hanya bisa refleks membentak bersamaan kepada Danang. Reza menerangkan lebih jauh, "Ciwi-ciwi lagi pada pergi ke apotek, buat nyari obat merah sama alkohol."

"Noh, mereka datang," Milan menunjuk dua gadis yang sedang cengengesan menuju ke mari. Perasaan rencananya tadi hanya membeli Betadine saja, tapi kok yang dibawa sampai empat kantung plastik besar berlogo salah satu toko ritel. "Edwin, apa Lo yakin mereka abis dari apotek?"

"Kalau kata gue sih, mustahil banget," Reza meringis. "Say, goodbye buat kartu ATM lo."

"Itu sih bukan ATM," Edwin menyombongkan diri.

Danang mengimbuh cepat, "Anjir, pake black card sejak kapan lo?"

"Tanyain ke Rakha," sahutnya begitu saja. "Itu punyanya dia."

Satu-satunya orang yang sedang dibicarakan tentang perkartuan itu, hanya bisa mengurut dada. Berharap banyak-banyak diberikan kesabaran serta ketabahan, agar tidak ada berita kematian di televisi tengah malam nanti.

"Tahan gua, biar gak bunuh si Edwin!" Rakha membenturkan kepalanya pada pintu mobil. Dikelilingi teman laknat serupa Engine Liners dapat membuatnya terserang asam urat dan vertigo.

"Bangun kenapa sih? Belangsak amat hidup lo, sampe rebahan di atas pavinblok!"

Masuk mobil, duduk di dalam dengan tenang atau bagaimana lah caranya agar Rakha ini tidak terlalu jadi pusat perhatian. Hanna tidak habis pikir, bisa-bisanya orang yang katanya jago beladiri ini bisa babak belur dalam beberapa menit.

"Bangunin..." Rakha meminta belas kasihan.

Sementara Hanna menyerahkan dua kantung plastik yang dia pegang ke tangan Milan. Gadis itu berlagak seperti akan menolong, hingga Rakha melebarkan senyumnya sampai lesung pipi terlihat. Tangannya dia ulurkan ke depan Hanna. Manja sekali. Hingga gadis itu bersuara, "Danang yang bangunin. Gue lepas belanjaan cuma buat mengikat tali sepatu gue yang lepas."

Rakha memajukan bibirnya dengan asam. Tak pelak, itu membuat semua orang tertawa, tidak terkecuali Misellia yang berdiri tidak jauh dari Hanna. Rakha mengubah raut wajahnya ketika meneliti Misellia. Melotot penuh dendam pada pacarnya Edwin yang satu itu. Hingga ia refleks bersembunyi di balik punggung sang kekasih.

"Maaf. Kukira kau adalah copet," cicit Misellia.

Edwin mengusap-usap puncak kepala si Mbak Pacar, gemas. Kalau bukan karena Misellia, mungkin acara Tech-Fest tidak akan jadi semenyenangkan ini. Dia bersyukur, telah dikarunia kekasih se-abstrak, imut, lucu, cantik, indah dan bisa dibawa kemana-mana seperti gantungan kunci ini. "Gak usah minta maaf, Lia."

"Heuh," Rakha melengos. "Mana ada copet seganteng saya, anak muda?!"

"Jangan sok kegantengan," Edwin melarang kepada Rakha.

Sementara Misellia refleks bergumam, "Emang ganteng, sih."

"Apa yang kamu katakan, Lia?" Edwin memasang telinganya lebar-lebar. "Tolong katakan sekali lagi?"

"Jangan lebay, Edwin!" Kali ini, Hanna jadi orang kedua yang mengatakan kalau abangnya itu adalah lelaki lebay. Hanna kemudian masuk ke mobil Rakha, mau tidak mau ia harus mengobati itu karena para pria di Engine Liners ogah-ogahan menolong sahabat mereka sendiri. "Kayak gembel begini, dikatain ganteng. Fix, mata mereka udah pada kena miopia," protes Hanna.

"Kalau yang ngatai-ngatain gua adalah seorang Hanna, yasudah. Gua pasrah saja, capek dari tadi udah lima paragraf debat melulu sama abangmu..." kata Rakha ketika gadis dihadapannya sibuk membongkar kantong plastik. Hanna memang tidak menjawab apa-apa. Tapi entah kenapa, melihat kehadiran gadis itu ada di sini untuk mengurusnya saja sudah membuat Rakha tersanjung. "Hanna."

"Diam," tekannya. "Sekali lagi berisik, sebungkus dari tisu basah ini akan meluncur bebas ke dalam lambung lo!"

Mendengar ancaman Hanna, Rakha terdiam seketika. Agak ngeri sebenarnya, tatkala membayangkan kalau apa yang disebutkan oleh Hanna kalau benar-benar terjadi kepada Rakha. Ia tidak mau mati muda.

Rakha menonton Hanna membersihkan pergelangannya dari debu. Bagaimana gadis itu berhati-hati ketika menemui luka lecet di permukaan kulitnya. Ditekankan kapas yang dibasahi alkohol dan obat merah, tidak pernah seseru ini sebelumnya dalam hidup Rakha. "A-aah..."

"Biasa aja kali," Hanna sinis mendengar laki-laki ini merintih dengan cara yang tidak wajar. Mirip seperti orang yang sedang melakukan yang iya-iya. Dia berusaha tetap tenang, karena jarak wajahnya dengan Rakha hanya terpaut satu jengkal. Bergerak ke area bibir, pikiran Hanna jadi meluncur ke malam dimana mereka berciuman di bawah pengaruh alkohol. Lalu Rakha meringis lagi, membuat Hanna menekankan secara kasar kapasnya. "Urus aja sendiri! Itu cuma luka kecil."

Rakha mengaduh. "Kok gitu sih? Luka kecil juga kalau jumlahnya sebanyak ini, tetap saja merepotkan dan sakit."

"Yang kata lo 'sebanyak ini' jumlahnya itu hanya lima biji, gak usah dramatis kayak si Edwin." Hanna lagi-lagi memeriksa ponselnya. Dia tengah memperhatikan jam digital yang ada ada di sana. Bisa gawat ceritanya, kalau dia sampai telat datang ke tempatnya Tristan. "Urusan gue sama lo kelar, gue mau pergi dulu. Bye!"

"Mau ke mana sih buru-buru?" Rakha kedengarannya seperti sedang menggoda.

Ada tawa remeh yang tersisa di ujung suara beratnya. Membuat Hanna diam-diam mengemasi lagi obat berikut tas selempang yang ia simpan di jok belakang. Niat dia untuk menyimpan handphone gagal total, ketika tas yang ia ambil talinya malah tersangkut ke sandaran jok. Isinya berantakan. "Shit, bukan urusan lo."

"Katanya ke rumah Ruby. Tapi bawanya yang beginian? Ini bukan diperuntukkan untuk perempuan, lho."

Rakha mengambil sebuah kemasan foil yang jatuh tepat di bawah kursi. Hanna tidak percaya, ia memang selalu membawa pengaman itu setiap kali berpergian, bersama Tristan. "Kembalikan!"

"Gak bisa dikembalikan," bisik Rakha. "Terkecuali gua aja yang make, gimana?"