Acara Tech-Fest berjalan dengan semestinya. Tepat pada jadwal yang sebelumnya telah dicanangkan oleh pihak panitia, yaitu selesai sebelum pukul enam sore. Encore (lagu yang dinyanyikan untuk penutup konser) telah terputar dengan merdunya, disusul ledakan kembang api maha indah yang menghiasi langit malam ibukota.
Para penonton akhirnya perlahan membubarkan diri dengan tertib, tidak terkecuali Hanna. Dia berada dalam rangkulan tangan Sang Abang. Edwin juga tidak melepaskan genggamannya terhadap Misellia. Dia adalah laki-laki yang tergolong sangat protektif bila berada di tempat umum.
Danang belum terlihat di manapun, ketika Milan, Gilang dan Reza memutuskan untuk berpisah dengan wanita yang tadi menemani. Menunggu Edwin dengan bersandar di pagar besi pembatas di luar stadion, seraya Milan bertanya untuk pertama kali, "Panglima buaya nyangkut di mana?"
"Dia izin keluar sebelum beres," Edwin memberi jeda untuk memeriksa pesan singkat yang tadi dikirim Rakha kepadanya. "Katanya mau ngerokok dulu, di gate tiga."
Mungkin untuk menghalau dinginnya malam yang semakin menerpa kulit. Karena kebetulan, yang terdapat smoking areanya cuma di sana. Berseberangan dengan posisi mereka sekarang. Hanna menarik diri dari kerumunan Engine Liners yang mulai di hampiri komunitas lain.
Hanna yang sejak dini bukanlah anak organisasi, merasa tidak mudah berbaur dengan obrolan semacam itu. Dia berpura-pura sibuk dengan ponsel, sebelum akhirnya memilih untuk memeriksa lagi tumpukan notifikasi dari Tristan. Barangkali ada yang terlewat untuk dibalas.
Rakha yang menyadari kalau festival telah berakhir, akhirnya berjalan pelan menghampiri pintu utama. Rakha bahkan belum menyulut batangan tembakau yang baru saja ia beli dari minimarket, ketika sebuah suara soprano memanggilnya dengan lantang, "Rakha it's that you?"
Rakha memperhatikan sosok yang mendatanginya. Pribadi dalam balutan blouse bling-bling, rok mini berbahan leather dan stocking jaring tersebut melewati tubuh Hanna yang kebetulan sedang menoleh ke arah yang sama. Rakha tersenyum tenang seperti biasa. Dia sejenak menatap tepat di mata Hanna.
"Yeah, ini aku. Yura..." Rakha fokus pada siapa yang ada di depannya. Tentunya, ini adalah kebetulan yang tidak menyenangkan bagi dia. Apalagi sejak pertemuan terakhir mereka, Rakha sudah tidak mengabari Yura apapun perihal kesehariannya. Mereka bisa dikatakan hanya berpacaran ketika langit gelap saja.
"Kamu gak ngabarin aku sih, kalau mau datang ke sini?!" Yura mulai memukul lengan atas Rakha. Dia hendak menggelayut mesra di leher lelaki itu ketika Rakha membuat jarak. Yura pun segera mengimbuh, "Oh, ya. Kamu ke sini bareng siapa?"
"Anak-anak Engine Liners, kebetulan juniorku jadi salah satu staff penyelenggaranya." Rakha kemudian mengantongi korek apinya kembali. Ia mengusap rahang bawahnya ketika berbincang-bincang dengan wanita tersebut. "Gimana projek kamu sama Rigen Studios, lancar?" Rakha memulai topik yang lebih segar. Keduanya terlibat percakapan yang sambung menyambung satu sama lain. Terlihat menyenangkan, karena cowok itu beberapa kali mengurai tawa lepas.
Hanna yang tanpa sadar memperhatikan sosok cantik tersebut pun tidak luput dari yang namanya membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Penampilannya dengan perempuan itu sangatlah jomplang.
Dia memiliki fisik yang semampai, rambut dipotong pendek dengan sebagian helai berwarna burgundy, body-nya yang berisi di beberapa bagian itu berhasil membuat Hanna merasa keki. Belum lagi gaya berpakaian dia yang seksi dan modis. Berbeda sekali dengan Hanna, yang lebih mengusung tema necis dan tertutup.
Mari mengakui untuk kedua kalinya, kalau sebagai sesama perempuan saja, kita-kita ini sering merasa insecure dengan kelebihan orang lain. Apalagi jika kasusnya membandingkan dengan kekurangan yang kita miliki. Bukankah itu standar yang tidak adil? Harusnya, kelebihan dengan kelebihan, kekurangan dengan kekurangan.
Ayolah, Hanna. Berhentilah memusingkan hal yang sebenarnya tidak perlu. Karena semua itu tercipta akibat kau bertengkar dengan isi kepalamu sendiri. Sadarlah.
"Kebiasaan, lo kalo ngelamun suka kagak kenal tempat!" Edwin menyenggol bahu sang adik. Hanna kontan tersadar detik itu pula, ia buru-buru mengalihkan pandangan dan bersiap untuk melancarkan pukulan membabi buta pada seorang Edwin Xavier Hernandez. Akan tetapi, dia lebih cepat menghindar. "Lagian memperhatikan apaan sih, Anda sampai segitunya?"
"Ih, nggak ada yang lagi aku perhatikan," ketusnya.
"Nah, kalo lo udah membantah serupa l Mak Lampir yang lagi kena pms macam begitu, biasanya si memang sedang ada yang diperhatikan. Coba kita telusuri..."
Edwin melihat ke titik yang sebelumnya Hanna tuju. Dia tidak melihat apapun kecuali kerumunan orang asing yang hanya terlihat punggungnya saja, kendaraan, kemudian di radius sekitar tujuh meter ada Rakha. "Dih, tuh si codot masih sama mamalia jelmaan Medusa itu?"
"Ya, elah. Mereka juga punya nama kali." Hanna mencoba untuk tidak menaruh rasa peduli dan penasaran yang terlalu banyak di dalam benaknya. Kendati jauh di lubuk hati terdalam, ia ingin mengetahui siapakah sosok yang tengah bercakap-cakap bersama Rakha dengan mudahnya itu. Mereka tampak akrab.
"Dia Yura," ungkap Edwin. "Anak departemen film, yang sebelahan sama teknik. Kupu-kupunya Rakha. Setahu gue sih, dia paling anti komitmen."
"Hah?!"
"DIA PALING ANTI KOMITMEN."
Ulang Edwin dengan suara yang lebih jelas di telinga Hanna. Gadis itu memundurkan wajahnya. Melotot pada Sang Abang sambil berkaca pinggang. "Anjir, gue kagak budek Edwin. Kenapa harus keras-keras, tepat di kuping banget sih?!"
"Buat reminder. Biar—jangan sampai lo kepatil sama spesies kayak Rakha!" Edwin memberi peringatan.
Mengacak-acak rambut Hanna dengan gemasnya, sebelum berlalu meninggalkan Sang Adik mematung di dekat pagar pembatas. Ada pemuda lain yang melambaikan tangan pada Edwin, mengharuskan cowok itu untuk menepuk pundak Misellia. "Lia, jagain adik aku ya? Kayaknya dia sawan barusan abis dikasih petuah."
"Jangan lama perginya, Win."
"Gak akan Lia, tunggu aja di mobil. Selambat-lambatnya pukul delapan malam, pasti aku gusur kalian buat kembali ke pawangnya masing-masing," pungkas Edwin bersama orang itu setelah melambaikan tangan padanya. Misellia menyaksikan bagaimana punggung Edwin menghilang karena mulai tertelan oleh keramaian. Ia melihat di sisi lain, kalau Hanna tengah dihampiri oleh seseorang yang tidak dia kenali dari belakang. Mengendap-endap.
"HANNA, AWAS ADA SULE!!!" teriak Misellia spontan, langsung tersadar oleh kenyataan kalau kalimat yang ia tuturkan sudah sangat beda artian. Misellia kemudian melarat sekuat tenaga, "AWAS ADA COPET!"
Sontak saja, berkat teriakan tersebut terdengar, bukan hanya Hanna saja yang kaget. Tapi semua orang yang tengah berjalan santai di depan stadion itu dibuat berhamburan panik, tidak karuan, bersamaan meraba tas serta barang bawaan mereka masing-masing.
"Aduh, Lia. Kamu tuh ngomong biasa aja udah sekeras toa masjid, masih kedengaran meski di radius seratus meter."
Edwin tahu-tahu sudah membungkam mulut Misellia. Dia menyerah atas kekacauan yang ditimbulkan kekasihnya ini. Polos. Tanpa rasa bersalah. Meskipun ujung-ujungnya Edwin sendiri yang meminta ampun, pada orang-orang yang sekarang menatap aneh ke arah mereka. Misellia bertanya, "Kamu kok ngos-ngosan, abis ngapain Win?"
"Menurutmu Lia?" Edwin capek. "Aku abis lari kesetanan, kayak Ninja Hatori yang naik turun bukit, seberangi lembah cuma untuk menyelamatkan martabat kamu selaku Mbak Pacarnya aku, biar gak trending satu di Twitter malam ini."