Chereads / Quille the Blood Sucker / Chapter 2 - Terasa Lagi

Chapter 2 - Terasa Lagi

Pagi cerah di Amsterdam, Quille bergegas mempersiapkan segala kebutuhan yang akan dibawa ke tempat study tur nanti.

Sesampainya di kampus, para mahasiswa sudah berkumpul di halaman.

"Kalian mau pindahan, ya?" tanya Mis Aora membuka pembicaraan.

"Nggak, Mis!" jawab mereka serentak.

"Kalau nggak pindahan, ngapain bawa koper sebanyak ini?" tanya Mis Aora lagi.

Para mahasiswa saling bertukar pandangan dan tersenyum masam.

"Bawa seperlunya saja, sisa barang kalian silakan simpan di ruang ganti, kemudian kunci biar aman," ujar Mis Aora, kemudian berlalu dari perkumpulan murid-muridnya.

Setelah berbincang-bincang, dan membagi tugas, mereka pun berangkat ke tempat tujuan menggunakan bus milik kampus. Dalam perjalanan suara canda dan bernyanyi mengiringi.

"Ren, kamu pindah duduk ke tempat Euan, dong. Aku mau ngobrol dengan Quille," pinta Cullen pada Erren.

"Nggak mau, ah. Euan genit," jawab Erren merengut.

"Ini penting, Ren. Please," imbuh Cullen sambil melipat kedua telapak tangannya.

Quille yang sedari tadi pura-pura tidur, kemudian ia membuka matanya, lalu berkata, "Ada urusan apa kamu denganku?"

"Bagi nomor telepon kamu, dong. Hehehe ..." pinta Cullen sambil cengengesan.

"Untuk?"

"Ya, mana tahu nanti kamu butuh bantuanku di sana," jawab Cullen dengan pede.

"Palingan kamu yang bakalan minta bantuan padaku," ucap Quille ketus, "Udah, ah! Aku mau tidur, ngantuk banget," ucapnya lagi.

Cullen kembali lagi ke tempat duduknya dengan perasaan sedikit kecewa. Tetapi, bukan Cullen namanya, jika ia tidak mendapatkan apa yang dia mau.

"Ren, sini," panggil Cullen setengah berbisik.

"Apa lagi, sih?"

"Ssttsss ... pelan-pelan dong," jawabnya sambil menempelkan telunjuk ke bibir.

Erren pun menghampiri Cullen, karena dalam hatinya cowok bermata elang beralis tebal itu adalah orang yang ia taksir selama ini. Namun, Cullen tak pernah menghiraukan bagaimana perhatian Erren terhadapnya.

"Apa?" tanya Erren setelah berdiri di samping bangku yang di duduki Cullen.

"Bagi nomor Quille, dong. Please!"

Sejenak Erren terdiam, ia juga sudah tahu bagaimana perasaan Cullen pada Quille. Walau perih, tetapi ia termasuk sahabat yang tidak angkuh yang hanya mementingkan perasaan sendiri.

"Biarkan takdir yang mengatur segalanya," bisiknya lirih dalam hati.

"Ren, kamu kok bengong, sih? Mana nomornya?"

"I-iya, Cullen." Dengan berat hati ia memberikan nomor tersebut.

Pukul sebelas malam, bus yang mereka tumpangi menepi di sebuah vila. Villa yang megah itu adalah milik keluarga Cullen, walau jarang di tempati, tetapi tetap bersih dan terawat.

"Welkom in mijn huis!" seru Cullen sambil tersenyum lebar.

"Baiklah anak-anak, berhubungan sudah larut, mari kita istirahat dulu. Besok pagi kita berkumpul di ruangan depan, untuk membahas dan membagi tugas per kelompok. Oke?"

"Siaaap, Mis!"

Malam semakin larut, semuanya sudah terlelap dan bergumul dengan mimpi masing-masing, tetapi Quille masih terbangun dan mondar-mandir di dekat jendela. Tanda lahirnya mengeluarkan sinar, padahal ia belum mengalami mimpi yang menakutkan.

"Kenapa bisa seperti ini? Aneh." Quille terus menatap telapak tangannya, sekujur tubuh yang hanya berbalut piama itu menggigil menahan dingin.

Rasa haus menyerang tiba-tiba, Quille berjalan terseok-seok menuju dapur. Sudah hampir satu teko air diteguk, tetapi tidak mengurangi rasa hausnya.

Ia kembali menuju kamar, di atas ranjang, Erren tertidur dengan pulas. Leher sahabatnya itu tersingkap, membuat Quille menelan ludah saat ia melihat dengan jelas aliran darah tertata rapi melalui urat-urat di leher Erren yang putih dan mulus.

"Sial! Ada apa dengan diriku?" Quille terus mendekat ke tepi ranjang, beruntungnya Erren terbangun.

"Kamu belum tidur, Quil?" tanyanya yang membuat Quille terkesiap.

"Aku haus, Ren."

"Kamu mau ditemani ke dapur?" tanya Erren menawarkan.

"Aku sudah minum, tapi aneh, rasa hausku nggak hilang-hilang," jawab Quille gugup sembari terus menatap leher sahabatnya itu.

"Mau minum lagi?" tanya Erren menatap Quille dengan heran.

"Nggak usah, kamu tidur aja, Ren. Aku juga mau tidur," jawab Quille, kemudian ia beranjak ke arah ranjang dekat dinding.

Quille semakin gemetaran menahan rasa dingin dan haus, dalam benaknya muncul beberapa pertanyaan. Selama ini ia belum pernah merasakan hal seperti itu. Namun, setelah berada di vila ini, kejadian aneh semakin banyak menyerangnya. Dalam keadaan sadar pun, ia tak lepas dari bisikan-bisikan halus yang membuatnya mengalami sedikit frustrasi.

Dini hari barulah Quille bisa memejamkan matanya, sampai matahari sudah terbit menyilaukan mata. Namun, ia tak urung bangkit dari ranjang.

Kriiiiing!

Alarm jam delapan pagi berbunyi, semua mahasiswa dan mahasiswi sudah berkumpul di meja makan, hanya Quille yang belum menampakkan batang hidungnya.

"Ren, Quille mana?" tanya Cullen.

"Tadi ia masih tidur, Cull," jawabnya datar.

"Kamu banguni, sana. Eh, nggak usahlah, biar aku saja," ujar Cullen, lalu bergegas meninggalkan meja makan.

Setiba di kamar, Cullen langsung menghampiri tempat tidur Quille. Wajah gadis yang ia suka nampak begitu pucat.

"Astaga! Apakah ia sakit?" tanya Cullen pada dirinya sendiri.

Cullen meraba kening Quille, dingin seperti mayat. Detak jantung Cullen mulai tak beraturan, ia mengira kalau gadis itu telah mati. Kemudian ia mencoba memeriksa, adakah embusan napas melalui hidungnya.

Plaak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Cullen, kaget pastinya. Belum sempat terlalu mendekat, gadis itu sudah melakukan serangan.

"Apa-apaan, kamu mau mati, ya!" teriak Quille sambil menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

"Tadi aku mengira, kamu yang udah mati. Keningmu dingin banget, persis mayat," ucap Cullen sembari mengusap-usap bekas tamparan di pipinya.

"Alasan!" jawab Quille yang belum juga melihat ke arah Cullen.

"Aku jelek amat, ya? Sampai nggak mau melihat wajahku," ucap Cullen mencelos.

"Kamu keluar sana, aku mau siap-siap," pinta Quille.

Cullen keluar dari kamar tersebut, dan menutupi bekas jari yang meninggalkan jejak yang sangat jelas tergambar di pipinya.

Sesampainya di ruangan makan, semua mata tertuju ke arahnya. Ada yang berbisik-bisik, ada juga yang hanya diam menatap tingkah Cullen. Ya, siapa lagi kalau bukan Erren.

"Kamu kenapa, Bro?" tanya Gerald sambil tertawa kecil melihat sahabatnya itu.

"Nggak apa-apa, tadi pas mau keluar, kakiku tersandung meja, aku jatuh dan pipiku terbentur," terangnya berbohong.

"Aku nggak percaya, bukannya tadi kamu ke kamar Quille?" tanya Euan menyela, lalu diikuti suara tawa dari orang-orang yang berada dalam ruangan tersebut.

Wajah Cullen semakin memerah, saat ia akan memaki teman-temannya, Quille datang.

"Kamu sakit, Quil?" tanya Erren sambil meraba kening sahabatnya itu.

"Nggak, Ren," jawabnya.

"Tapi wajah kamu pucat."

"Mungkin hanya masuk angin, ayo dilanjut sarapannya," ujar Quille mengalihkan topik.

Cullen sesekali mencuri pandang, makanan di piring Quille tak berkurang sedikit pun. Malah Cullen sempat memergoki gadis itu menatap para mahasiswi yang lagi sibuk menyantap makanan masing-masing.

"Aneh, apakah Quille penyuka sesamanya?" bisik Cullen dalam hati.

Selesai makan, semuanya berkumpul di ruangan yang lain. Membawa buku dan pena, lalu duduk bersila sambil menunggu Mis Aora turun dari lantai atas.

"Hal yang harus kalian ketahui lebih dahulu adalah peringatan penting dariku yang mesti kalian patuhi. Ingat! Jangan sampai melanggarnya." Mis Aora membuka kelas dengan wajah yang serius.

Bersambung ....