"Hal apa itu, Mis?" tanya Gerald.
"Pertanyaan yang bagus. Mungkin sebagian dari kalian sudah tahu sejarah tentang Kota Jahanam yang terletak di bagian barat Leiden? Nah, saya berharap kalian jangan pernah mendekati kota tersebut, karena kota itu sudah lama tak berpenghuni yang namanya manusia. Paham kalian!" tegas Mis Aora.
Menjelang petang, Miss Aora menceritakan sebuah kejadian yang mengerikan. Itu bukanlah untuk menakut-nakuti, tetapi berusa agar para murid tidak sembarangan menyentuh atau berbuat di luar kendali.
"Kalian tahu tentang kisah cinta hantu yang sampai saat ini melegenda?"
Mereka serentak menggeleng.
"Gimana ceritanya, Miss? Penasaran, nih," tanya Edwar, beringsut lebih dekat.
"Sebenarnya, sebelum terjadinya peperangan di Leiden, perang memperebutkan wilayah kekuasaan juga pernah terjadi di bagian barat. Begini ceritanya ...."
-
Duaaar!
Suara dentuman meriam terdengar lagi. Banyak suara pekikan dan tangisan dari bibir-bibir kelu anak-anak dan para istri, mau pun keluarga besar mereka. Seorang gadis yang bernama Maria duduk meringkuk di sudut kamarnya, dia hanya bisa berdoa dalam tangisan, memohon agar cintanya terselamatkan. Lalu, datang seorang wanita paruh baya menawarkan makanan. Dia itu adalah ibu si gadis tersebut. Sejenak gadis itu hanya melirik ibunya yang sudah berdiri di belakang. Kemudian kembali menoleh ke kaca jendela kamar.
Suara dentuman itu kembali terdengar, yang terbayang olehnya hanyalah percikan darah berserakan di mana-mana.
"Rigel," lirihnya berkata.
"Makanlah, Sayang. Nanti kamu sakit. Kalau kamu sakit, Rigel tidak akan tenang di medan peperangan." Ibunya kembali membujuk.
Namun, gadis itu malah menangis. Air matanya semakin bercucuran, kerongkongannya mulai kian menyempit. Gemuruh dalam dada kian tidak tertahan, yang membuat tubuhnya berguncang beberapa kali. Semakin dia menahan, wajah-wajah penuh luka itu kembali melumpuhkan persendiannya. Lemas, gadis itu semakin tak berdaya.
Sang ibu memeluknya, mengecup kening putri satu-satu yang dia miliki dengan hangat. Lalu berbisik, "Jika dia jodohmu, semuanya akan baik-baik saja. Jadi tetaplah berdoa dan jangan lupa makan," ucapnya sambil menyuapkan bubur ayam.
Sulit ditelan, dia seperti menelan bongkahan batu. Sementara, penyakitnya mulai kambuh, asam lambung naik, membuat kepala dia nyut-nyutan.
"Ma, bagai mana jikalau Rigel ...."
"Sttss! Nggak boleh ngomong begitu. Udah mama bilang, doa yang baik-baik," ucap sang ibu membujuk.
"Tapi perasaanku nggak enak, Ma."
"Sudah-sudah, habiskan dulu makannya, setelah itu minum obat," ucap ibunya lagi, sambil mengelus pipi putrinya.
***
Senja telah tiba, warna jingga terbentang menghiasi angkasa. Gadis itu menatap dengan saksama, burung-burung yang beterbangan membentuk sebuah sketsa, yang membingkai wajah tampan dan gagah milik kekasihnya, Rigel.
Cairan itu mulai berguguran lagi, seiring dengan bayangannya mengecup lembut di kening gadis itu, hangat dan menenangkan. Baru tiga bulan lamanya menjalin cinta dengan lelaki gagah perkasa, dia terpaksa pergi meninggalkan sang gadis untuk melindungi wilayah tempat mereka bernaung.
"Rigel, I miss you!" batinnya berteriak, berkali-kali dihempaskan napas berat, berkali-kali rindu itu menghantam dadanya seperti peluru yang terlepas dari moncong senjata api.
***
"Cerita yang sangat mengharukan. Terus, gimana kelanjutannya, Miss?" tanya Erren penasaran.
"Makanya kamu diem dulu. Belum kelar malah nyela aja seperti angkutan umum yang ugal-ugalan," timpal Edwar sambil mendorong pundak gadis itu. "Lanjut, Miss," sambungnya.
"Oke."
-
Kemudian, Maria mendengar bisikkan sedikit kuat di telinganya, "Maria, bangunlah!"
Dia terkesiap, lalu membuka mata. Melirik jam weker di atas meja rias, waktu masih menunjukkan pukul 12.30 malam. Sejenak dia berpikir kalau itu adalah suara ayahnya. Akan tetapi, setelah diteliti lagi di setiap sudut ruangan kamar, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada bunyi tetesan air di atas genteng dan bunyi jarum jam yang berdetak.
"Mungkin tadi aku sedang bermimpi," bisiknya di dalam hati.
Lalu, Maria pun kembali memejamkan mata, tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang membelai rambutnya. Sontak dia terhambur ke samping. Masih tidak ada siapa-siapa setelah dia melihat ke kiri dan kanan.
"Mama!" pekiknya ketakutan. Suara napas terdengar tersengal-sengal, keringat dingin mulai bercucuran.
"Kamu kenapa, Maria?" tanya ibunya setelah tiba di tepi ranjang.
"Ada yang aneh, Ma. Aku takut," jawabnya pelan.
"Aneh kenapa?" tanya sang ibu, mengerutkan dahi.
"Tadi lagi tidur, ada suara yang berbisik ke telingaku, Ma. Dan .... dan ... setelah aku kembali memejamkan mataku, terasa ada yang membelai rambutku. Terasa dingin," ungkap Maria.
"Kamu jangan bercanda, ah. Pa ... Papa, ke marilah!" teriak wanita paruh baya berparas cantik nan anggun itu.
"Ada apa, Ma?" tanya suaminya menghampiri.
"Ini, Pa. Maria mulai ngawur, masa dia bilang ada yang membelai rambutnya," jawabnya bergidik. Karena dia orangnya lebih penakut dibandingkan dengan putrinya.
"Ih, Mama, masa Maria dikatain ngawur, sih? Ini benaran lho, Ma."
Saat perdebatan kecil berlangsung, tiba-tiba telepon rumah berdering. Sang ayah langsung bergegas menuju ruang tengah.
"Selamat malam, Pak Herman. Kami melaporkan dari BTP1, bahwa Rigel Mike dinyatakan telah gugur dalam peperangan. Menjelang fajar, jasad akan kami bawa ke rumah duka. Laporan selesai."
Tanpa menjawab apa-apa, Maria melihat ayahnya hanya diam mematung, kemudian perlahan-lahan meletakan telepon yang dari tadi diremasnya.
"Ada apa, Pa?" tanya sang istri, tetapi masih tetap diam sambil menarik lengan istrinya dan membawa pergi dari kamar Maria.
Penasaran, tetapi mata Maria tiba-tiba terasa berat. Akhirnya dia tertidur sampai pagi.
***
Pagi itu hujan turun begitu lebat, waktu masih menunjukkan jam delapan, tapi suasana rumah terlihat sepi. Maria mondar-mandir di ruang tengah sambil mencari keberadaan ibunya, tetapi masih tetap tidak ada. Bibi Janeta—asisten rumah tangganya pun belum kembali dari kampung halaman.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu mengagetkan Maria. Dia segera berlari menghampiri, dirinya mengira sang ibu yang datang, ternyata Rigel.
"Sayang kamu sudah pulang?" tanyanya heran, karena ayahnya mengarakan kalau Rigel akan balik ke pemukiman dua minggu lagi.
Rigel hanya tersenyum, kemudian dia membelai rambut Maria dengan mesra.
"Mari kita masuk dulu, Sayang. Di luar udara sangat dingin," ajak Maria sambil menggandeng tangan kekasihnya yang terasa dingin dan kaku. "Aku buatkan minuman dulu, ya? Kamu mau teh atau kopi, Sayang?" sambungnya.
Namun, Rigel hanya tersenyum menatap dirinya. Bibirnya terlihat pucat, dan tatapan matanya terlihat kosong.
"Ah, mungkin Rigel hanya kelelahan setelah balik dari medan perang," pikir Maria.
Lalu dia bergegas ke dapur untuk membuatkan minuman hangat untuk kekasihnya.
Saat mengaduk minuman di dalam cangkir, Maria mendengarkan suara ibu dan ayahnya sedang mengobrol.
"Eh, udah pulang, Ma. Mama dan papa dari mana, kok, tumben keluar pagi-pagi? Habis joging, ya?"
"Mama dan papa habis dari rumah Om Stiwer," jawab ibunya seperti orang kebingungan.
"Ma! Rigel udah pulang, Ma," kata Maria sambil tersenyum manja.
"Apa??" Serentak ibu dan ayahnya menyahut. Dan wajah mereka terlihat tegang.