"Terus, apa lagi yang terjadi setelah itu, Miss?" tanya Cullen. Kini giliran dia yang sangat penasaran.
"Sebentar, minum dulu. Kerongkongan kering, nih," jawab Miss Aora. "Quille, aman, kan?" sambungnya. Karena dari tadi dia bercerita, Quille tampak diam di dekat tiang, seperti tak memedulikan kisah yang diceritakan olehnya.
"Aman, Miss. Silakan dilanjut," sahut Quille dengan suara datar.
"Baiklah ...."
-
"Siap, Kapten!" seru orang itu, yang menghadap ke arah Frans.
"Rigel ... Rigel, kau pantas mendapatkan itu. Selain naik jabatan setelah perang ini usai, kau mau meminang kekasihmu itu? Hahaha ... jangan mimpi kau. Istirahatlah dengan damai di neraka sana!" teriak Frans dengan lantang.
Menggigil kakinya, bibirnya bergetar hebat.
"Jahanam!" teriaknya, lalu dia hendak berlari menghampiri Frans yang masih gelak terkekeh.
"Percuma," ucap seseorang yang berdiri di belakang Maria.
"Rigel?"
Maria berhenti dan berlari ke arah kekasihnya. Rigel pun merentangkan kedua tangannya. Raut wajahnya mengguratkan kesedihan yang mendalam.
"Sayang, ini benarkah kamu, Sayang?"
"Iya, Sayang. Aku kekasihmu, aku adalah cintamu. Jadi, ingatlah satu tentang perjanjian kita di kala itu."
"Sayang, apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah apa yang dikatakan oleh Mama dan papaku?" tanya Maria tersedu-sedu.
Kejadian seperti sebelumnya terulang kembali. Rigel menangis beruraikan air mata darah. Dari kejadian itu, Maria sangat yakin, bahwa kekasihnya saat itu bukanlah manusia lagi.
Tak dia hiraukan, gadis itu langsung memeluk Rigel, mengecup bibir sang kekasih, walau bibirnya terus bergetar hebat karena menahan sakit di hulu hati. Sedih tak bisa diungkapkan lagi, dia hanya berharap pada saat itu, Tuhan benar-benar merestui hubungan antara dirinya dan Rigel.
Akan tetapi kenyataannya, alam seperti menolak yang terjadi saat itu. Angin bertiup kencang, suara petir menyambar begitu dasyat, tak lama, hujan pun turun sangat lebat.
"Ayo kita pergi dari sini, Sayang!"
"Kenapa, Sayang?"
"Kamu tidak akan kuat menyaksikan pertunjukan yang akan terjadi setelah ini."
"Apa? Apa, Sayang? Aku ingin tahu," tanya Maria penasaran.
"Serius kamu pengen tahu?" tanya Rigel sambil memegang kedua bahu kekasihnya.
Maria pun menganggukkan kepalanya, tanda mengiyakan.
"Hutan ini adalah hutan keramat, jika ada manusia buat kekacauan di sini, maka para leluhur yang telah lama menghuni tempat ini akan marah," ungkap Rigel sambil memandang lurus ke depan.
"Jika mereka sudah marah, apa yang bakalan terjadi?" tanya Maria lagi.
"Aku dan teman-temanku yang telah mereka bantai, akan dihidupkan kembali."
"Terus, teman-teman kamu, kok, belum muncul juga? Sementara kamu sudah bersamaku sejak beberapa hari yang lalu." Maria semakin penasaran.
"Aku istimewa, Sayang. Karena di sini aku adalah target mereka yang pertama, dan cintaku padamu begitu kuat, jadi aku belum rela pergi meninggalkanmu, Maria," ucap Rigel kembali menatap Maria.
"Aku tahu itu," balasnya.
"Sekarang saatnya kita pergi dari sini,"
"Tidak! Tidak, Sayang. Aku mau tahu pemandangan apa yang akan aku saksikan di saat hujan ini mereda." Maria kekeuh dengan inginnya.
"Kamu yakin?" tanya Rigel sambil membelai rambut sang kekasih.
"Iya, jika penunggu hutan ini mengizinkan, aku ingin membalaskan kematianmu," ucap Maria sungguh-sungguh.
"Tidak perlu, Sayang. Mereka yang berkhianat akan tetap tinggal selamanya di hutan ini. Tapi dalam bentuk yang mengerikan. Mereka akan menjadi budak, tentunya yang masih bujang dan yang terpilih, mereka akan menjadi pelayan birahi Ratu Siluman Biawak."
"Serius?" tanyanya sedikit kaget.
"Iyup," jawab Rigel singkat.
Hanya berselang beberapa menit, cahaya berwarna hijau berkelebat dan mendarat tepat di gundukan tanah yang masih merah dan basah terkena guyuran air hujan.
Duaaarrr!
Gundukan itu meletus, asap tebal keluar dari lubang yang telah dihasilkan oleh bunyi ledakan yang tadi. Maria memeluk Rigel sambil memperhatikan lubang tersebut.
Aaaaaa ... Aaaaa!
Seperti suara zombi yang terdapat di film-film biskop. Satu persatu tangan bermunculan, kemudian mereka merangkak beriringan.
"Apa itu, Sayang?" tanya Maria dan kembali membenamkan wajah ke dada bidang kekasihnya.
"Mereka itu adalah mayat hidup. Zombi," ungkap Rigel.
"Apakah mereka akan mengejarku?" tanya Maria bergidik.
"Nggak, Sayang. Kamu itu sekarang tidak memiliki raga, jadi mereka tidak akan bisa mencium bau darahmu."
"Apa? Aku sudah mati, Sayang?" Sontak Maria terperangah dan menatap kekasihnya dengan mata terbuka lebar.
"Belum. Saat ini yang berada denganku adalah sukma kamu, Sayang," terang Rigel, semangkin membuat Maria tak mengerti.
-
"Sudah gelap. Mari kita kembali ke vila," ucap Miss Aora, menunda kisah percintaan dua alam itu.
"Ya ampun, sedih banget aku," ujar Erren sambil mengelap air mata.
"Lebai!" seru Edwar mengejek.
Erren tak menghiraukan lagi. Ia menggandeng tangan Quille menuju kendaraan yang mereka pakai untuk ke museum tadi.
Sesampainya di vila, para rombongan kembali ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri dan istirahat. Akan tetapi, berbeda dengan Quille, ia memilih duduk bersantai di balkon vila tersebut. Ia menunggu sang rembulan muncul dari balik awan gelap. Quille sangat menyukai pemandangan pada malam hari. Karena ia merasakan sensasi yang luar biasa ketika bermandikan cahaya sang bulan.
"Quille!" Gadis yang dipanggil pun menoleh. "Kamu nggak mandi?" sambung Erren.
"Lagi males, Ren. Lagian, aku masih wangi, kok," sahut Quille.
"Ya udah. Nanti kalau kamu lapar, turun aja, ya," ucap Erren sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Melihat leher Erren yang tersingkap, Quille menelan air ludahnya. Ia kembali melihat kulit Erren tanpak transparan, menampilkan urat-urat di tubuh Erren saling sambung menyambung. Apalagi Quille juga mencium bau darah, tetapi wangi terendus olehnya.
"Aku duluan turun, ya," ucap Erren kemudian.
"E-eh, iya," jawab Quille tergagap.
Erren mengerutkan dahinya. Karena ketika melihat ke arah Quille, sahabatnya itu tampak pucat, ditambah lagi dengan jawaban tak tegas seperti biasanya.
"Kamu sakit, Quil?" tanya Erren. Ia melangkahkan kaki hendak memeriksa keadaan sahabatnya itu.
Akan tetapi, Quille langsung mencegatnya. Itu membuat Erren semakin terheran.
"Kenapa, sih? Kamu jadi seperti orang aneh akhir-akhir ini," celetuk Erren, terus melangkah ke depan.
"Duluanlah ke bawah, nanti aku menyusul. Aku mandi dulu," ujar Quille, meninggalkan Erren yang masih terbengong.
Quille kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Akan tetapi, tubuhnya menggigil. Rasa dingin dan haus tiba-tiba begitu mendesak. Quille mendesah frustasi, ia mencoba meminum air dari keran. Namun, rasa haus itu tak juga hilang.
"Sial!" rutuknya ketika melihat cahaya berwarna ungu menyala di telapak tangannya.
Kemudian Quille berlari ke dapur yang terdapat di vila itu. Ia mengingat pesan sang ibu, jika cahaya di tangannya menyala, segera cuci dengan air garam.
"Mana garamnya?" Quille memeriksa setiap toples yang terletak berjejer di dalam lemari. "Ah, syukurlah," sambungnya sambil menghempaskan napas lega, setelah ia menemukan garam.
Tak menunggu lama lagi. Quille segera menuangkan garam tersebut ke wadah, lalu diisinya air. Setelah itu, barulah Quille menyelupkan telapak tangannya. Tampak asap tipis berterbangan keluar dari wadah tersebut. Padahal, air yang terdapat di dalamnya hanyalah air biasa.
Bersambung ....