"Pada kenapa, sih? Biasa aja kali, calon mantu udah pulang, malah ekspresinya seperti orang mendengar cerita hantu begitu," ujarnya sambil memasang wajah cemberut.
"Sayang, kamu jangan ngigau pagi-pagi, ya. Mending kamu mandi dulu, terus kita sarapan," ucap sang ibu memegang lengannya dan menyeret naik ke lantai atas.
"Mama apa-apa an, sih? Dari semalam selalu bilang aku ngingaulah, ngawurlah, ini lah. Aku serius, Ma. Rigel sekarang lagi duduk di ruang tengah," ucapnya, gantian menyeret sang ibu ke ruangan tengah.
"Itu Rig ...."
"Mana?" tanya ibunya, terlihat kesal.
"Tadi ada, Ma," jawab Maria meyakinkan ibunya.
"Nggak ada! Kamu jangan ngawur!"
"Mama kenapa?"
Maria menatap lekat mata ibunya. Namun, wanita paruh baya itu hanya diam.
"Aku benar-benar heran melihat raut wajah Mama, ketika aku lagi bahas Rigel, Mama seperti kesal begitu, ya, apa mama berubah pikiran untuk mengambil Rigel sebagai pendamping hidupku? Mama keberatan punya mantu tentara, ya?" ujar Maria memberondong ibunya dengan pertanyaan.
"Cukup, Maria! Rigel itu sudah nggak ada!"
"Maksud, Mama?"
"Rigel sudah meninggal tadi malam."
"Nggak ... nggak! Mama jangan bercanda. Rigel belum meninggal, dia masih hidup, dia tadi datang ke sini, dan duduk di kursi itu," bantah Maria tak percaya.
"Maria, percayalah. Mama nggak bohong. Tanya papamu," kata ibunya sambil memalingkan muka ke hadapan sang suami.
"Pa, Mama bohong kan, Pa?"
"Mama nggak bohong, Sayang."
"Atau jangan-jangan, Mama dan Papa mau buat kejutan untuk aku, ya? Tapi jangan gini juga caranya, Pa. Nggak baik."
"Papa serius, Sayang. Papa mohon, kamu yang kuat, ya." Sang ayah mendekatinya dan merangkul. Kemudian ibunya juga mendekat, lalu mereka menangis.
"Nggak! Kalian bohong, nggak mungkin Rigel meninggal, nggak mungkiiin!"
Maria melepaskan rangkulan ayahnya, sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Menjambak rambut sendiri, dan tiba-tiba pandangannya menjadi gelap.
Bruuuk!
"Wake up, Maria!"
Samar-samar gadis itu mendengar suara yang tidak asing di telinganya.
Kemudian dia membuka matanya perlahan. Dia mendapati Rigel sedang berdiri di samping.
"Sayang!" kata Maria, lalu menghambur ke pelukan pria berdada bidang itu. Rigel menautkan kedua belah tangannya di punggung Maria, begitu erat seakan tak mau lepaskan.
"Maria, jangan menangis. Aku akan selalu ada di sisimu, menemanimu sampai akhir hayatmu, sayang," bisik Rigel begitu lirih di telinga kekasihnya.
Mendengar ucapan dari Rigel, Maria semakin tergugu. Dan kebetulan di sekitar mereka tidak ada siapa-siapa. Hanya ada dinding putih mengelilingi dan beratapkan awan. Maria menangis sepuas-puasnya, tanpa dia sadari, Rigel juga ikut menangis. Akan tetapi, air matanya berwarna merah, seperti darah.
"Sayang, matamu kenapa, Sayang?" tanya Maria, lalu dia berhenti menangis.
Sekarang pandangannya tertuju pada kedua belah mata Rigel yang mengeluarkan banyak darah.
Selang beberapa menit, Maria mendengarkan suara lain yang juga tidak asing di telinganya.
"Maria, bangun!"
Maria mendengarkan suara sang ibu. Pipinya terasa ditepuk-tepuk. Namun, kebingungan semakin melanda, karena dia tidak melihat ibunya atau pun ayahnya di tempat itu.
"Sayang, dengar suara mama, nggak?" tanyanya pada Rigel.
"Tidak," ucap Rigel.
Maria memerhatikan lagi dengan saksama, mata Rigel terlihat bening, tak ada tanda-tanda luka atau pun darah yang dilihat sebelumnya.
"Sayang, sebenarnya sekarang kita ada di mana? Apakah aku sedang bermimpi?" tanya Maria, mengedarkan pandangannya.
"Tidak, Sayang. Ini nyata," ucap Rigel sembari tersenyum manis.
"Tapi, tadi aku melihat matamu berdarah, sekarang malah terlihat tidak ada terjadi apa-apa. Aku bingung, Sayang."
"Kamu jangan bingung atau pun berpikir yang aneh-aneh. Sekarang kamu aman bersamaku," bisik Rigel mesra, di telinganya.
Semenjak hari itu.
Maria menjalani hari-hari bahagia bersama Rigel. Tanpa melewati malam yang selalu dia takuti. Cahaya yang bersumber dari sebuah lubang, membuat tempat itu tidak pernah diketahui pertukaran waktu antara siang dan malam.
Dan Maria tidak pernah merasa lapar, karena Rigel selalu memberinya minuman dari sebuah sumur. Setelah meminum air yang berwarna merah itu, dia selalu kenyang, bahkan terasa berhari-hari dia tak merasakan yang namanya lapar. Akan tetapi, Maria selalu mengabaikan itu, setelah Rigel membelai-belai rambutnya.
"Maria, kamu bahagia?" tanya Rigel.
Lalu Maria membalas dengan menganggukkan kepalanya.
"Kamu janji akan selalu menemaniku?" tanya Rigel lagi.
"Yup! Aku janji, Sayang," jawabnya. Kemudian Rigel mendekatkan wajah ke hadapannya.
"Sayang."
"Iya, Sayang," sahut Rigel.
"Kenapa bibirmu terasa dingin?" tanya Maria.
"Ssttss! Jangan dibahas. Kamu sayang padaku, kan?" tanya Rigel menatapnya lekat.
"Iya, Sayang," balasnya menatap mata pria itu.
Dari beningnya bola mata Rigel, Maria seperti tidak menemukan sinar tanda-tanda kehidupan. Namun, lagi-lagi pikirannya itu cepat menghilang dari benaknya.
Samar-samar Maria mendengarkan suara orang melantunkan bacaan-bacaan suci. Dua menolehkan pandangannya ke arah Rigel yang sedang berdiri di bawah pohon. Rigel seperti orang yang sedang marah, dia mengamuk dan mencakar-cakar kulit kayu di pohon tersebut.
"Maria! Tutup mata dan telingamu," perintah Rigel.
Maria menutup mata dan telinganya sesuai perintah Rigel. Namun, aroma busuk menyengat hidungnya, sukses membuat mual dan hendak muntah.
Sejurus kemudian, Maria tak lagi mengikuti aba-aba dari Rigel. Dia membuka matanya perlahan, ternyata posisinya sudah berpindah. Dia tak lagi berada di tempat yang di mana Rigel berada. Di sana hanya ada beberapa tumpuk sampah dan mayat?
"Oh tidak! Tempat apa ini?" bisiknya bergidik.
Bulu di tengkuknya mulai berdiri semua. Tempat itu gelap tanpa ada cahaya seperti di tempat Rigel. Tak ada cahaya dari aliran listrik, padahal dia melihat beberapa lampu neon yang terpasang di sepanjang lorong itu.
Maria terus berjalan menyusuri setiap lorong. Bau busuk semakin tercium. Akhirnya dia benar-benar muntah.
"Sayang, kamu ada di mana? Aku takut."
"Heh!" Terdengar suara bentakan dari belakang. Maria menoleh perlahan, alangkah terkejutnya dia. Di balik tiang besi yang berukuran separuh badan manusia, keluar sesosok makhluk yang begitu mengerikan dan menjijikkan.
Berkali-kali cairan busuk keluar dari mulutnya, persis seperti kotoran manusia yang sedang menceret. Kulitnya seperti melepuh, belatung-belatung berukuran lebih besar dari biasanya, hilir mudik, keluar masuk dari pori-pori makhluk itu. Bergegas ditahan napasnya dan menutup mulut.
Akan tetapi, makhluk itu terus mendekat dengan langkah yang terseok-seok. Tak berpikir panjang, Maria pun lari. Sesekali dia terjatuh karena kakinya menyandung sesuatu.
Braaakk!
Tubuh Maria terenyak. Di saat mengangkat kepala, ternyata dia berada di tengah-tengah tumpukan mayat. Dia semakin menggigil karena ketakutan.
Gerrrh!
Satu per satu mayat-mayat itu berdiri, mereka berjalan seperti orang yang sedang mabuk. Mereka mulai meraba-raba pipi gadis itu, mengendusnya, lalu mereka mulai menjilati kulit gadis itu.
"Rigel!"
Maria berteriak memanggil kekasihnya, walau dia tidak muncul, tapi suara teriakannya berhasil menyingkirkan zombi-zombi tersebut. Kemudian mereka hilang tak berbekas.
Saat batinnya berkecamuk, Maria kembali mendengarkan suara orang-orang melantunkan membacakan bacaan suci. Dia mengikuti sumber suara tersebut, akhirnya dia menemukan secercah cahaya.
Dan ....
"Aggkh!" Tubuhnya terasa ditarik. Kemudian tersadar, kalau saat itu dirinya sudah berada di dalam rumah.
"Syukurlah, akhirnya kamu kembali, Nak," ucap sang ibu sambil menggenggam telapak tangannya.
Namun, Maria hanya diam seribu bahasa, karena pikirannya terasa tak menentu. Aneh baginya, jika semua itu adalah mimpi, mengapa terasa nyata, dan tanda merah yang terdapat di lengannya pun masih ada.
Suara musik mengalun, angin semilir membelai kulit, rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya luar biasa, akhirnya dia tertidur. Sangat nyenyak, seperti orang yang tidak tidur berhari-hari.
Bersambung ....