Pintu kamar Sinta sudah di perbaiki dan dengan jendelanya pun sudah aku paku. Tapi aku masih belum puas dengan semua ini dan semakin tidak sabar ingin cepat-cepat menangkap garong itu. ingin sekali rasanya aku mencabik-cabik wajah orang b***t tersebut. Tak berselang lama setelah itu, terdengar suara mobil terparkir di halaman rumahku. Ku lihat dari balik dinding kaca, ternyata mas Alvin.
Tapi kali ini tumben dia pulang bareng dengan Sinta. Biasanya Sinta kalau kemana-mana bareng sopir. Hal ini sangatlah mencurigakan bagiku.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara pintu diketuk.
"Assalamualaikum!" Terdengar suara salam mas Alvin dari luar.
"Waalaikumusalam." jawabku dari dalam rumah.
Kemudian dengan segera aku membuka pintu tersebut.
"Baru pulang, mas?" Tanyaku sembari mengangkat tangan mas Alvin untuk menyalaminya.
"Iya nih, mas masuk dulu yah, ingin segera mandi. Badan mas gerah semua!"
Ucapnya seraya masuk kedalam rumah sambil memain-mainkan dasi yang di pakainya dengan tangannya.
Dengan di susul Sinta dari belakangnya dia menundukan kepalanya dan menyelundup di belakang suamiku, seakan-akan dia meminta perlindungan pada mas Alvin. Mungkin karena dia takut kalau aku akan mengintrogasinya.
Ku lihat Sinta terburu-buru naik keatas dengan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Begitupun dengan mas Alvin, gelagatnya sama persis dengan yang dilakukan oleh Sinta. Hatiku semakin penasaran dan menaruh curiga terhadap mereka berdua.
"Sebenarnya ada apa sih, dengan mereka?" Ucapku sembari menepuk jidat.
Kemudian aku bergegas pergi menuju kamar untuk menyusul mas Alvin kedalam. Rasanya sudah tidak sabar ingin menanyakan semua kegelisahan ku padanya.
Aku memegang gagang pintu kamar tersebut dan segera membukanya. Setelah aku di dalam kok mas Alvin nggak ada, aku hanya mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi.
"Mas, mas!" Kupanggil mas Alvin sembari mengetuk pintunya.
"Iya, sayang ada apa?" Jawab mas Alvin sembari terdengar dari suaranya kalau dia lagi keramas.
"Enggak kok, mas. Aku hanya mencarimu ajah!" Elakku sembari menautkan alis dan bibir sebelah.
Setelah itu aku menuju tempat tidur. Aku melihat kemeja mas Alvin tergeletak begitu saja di atas kasur.
"Ya, ampun. kenapa mas Alvin menyimpan kemejanya disini!" Ucapku seraya mengambil kemeja tersebut
Bermaksud untuk menyimpannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Ketika aku mengambil dan menyampaikan kemeja tersebut di sebelah tanganku, tiba-tiba ada sebuah kertas putih jatuh dari kemeja tersebut.
Aku segera mengambil kertas tersebut dan membaca tulisan yang tertera di kertas itu, ternyata sebuah bukti pembayaran atas dua orang yang makan dan minum di kafe tersebut.
Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Dengan cepat aku memasukan kertas tersebut ke dalam saku celanaku dan menyimpan kemeja tersebut kedalam keranjang.
"Kenapa, Ren?" Tanya mas Alvin sembari mengeringkan kepalanya dengan handuk kecil.
"Enggak kok, mas. Tadi aku hanya mengganti seprai nya saja!" Elakku sambil pura-pura menepuk-nepuk kasur yang berada tidak jauh dari dekatku.
"Ya, sudah kamu pakai baju dulu, gih!" Titahku seraya tersenyum tipis padanya. Berusaha menyembunyikan kemarahanku yang sekarang ini sedang menggebu-gebu.
Bukannya pakai baju, dia malah menghampiriku dan langsung memeluk diriku dengan eratnya.
"Udah mas, kamu pergi dulu sana, pakai baju!" Ucapku sembari melepaskan pelukannya mas Alvin dari tubuhku
"Iya, Rena sayangku. aku pake baju dulu!" Eyelannya seraya mencubit kecil hidungku.
Setelah mas Alvin selesai pakai bajunya dia pun duduk di sebelahku seraya merangkul pundakku.
"Mas ... aku boleh nanya nggak?" Tanyaku sembari duduk dan melihat ke arahnya.
"Ya bolehlah, masa nggak!" Jawabnya dengan santai.
"Apa, kamu pernah kehilangan sesuatu mas?" Tanyaku padanya seraya menatap wajahnya dalam.
"Ya nggak lah ..., kan aku nggak pernah kehilangan kamu!" Ucapnya sambil memeluk dan mencium pipiku manja.
"Aku serius, mas!" Tanyaku kembali sambil menepis tangannya.
"Iya-iya ... maaf sayang!" Ucapnya sembari tertawa-tawa.
"Emang sesuatu apaan yah, perasaan nggak kayaknya!" jawab mas Alvin seraya celengak-celinguk memikirkan apa yang hilang.
"Masa sih, mungkin kamu lupa kali!" Ucapku seraya tersenyum sinis padanya.
"Iya, apaan yah!" Jawabnya sembari kebingungan.
"ini jam siapa mas. Ini jam kamu kan mas!" Ucapku sembari menunjukkan jam tersebut dengan sebelah tanganku.
"Oh iya, ini jamnya mas. Kamu temukan di mana, Ren?" Jawabnya sambil mengambil jam tersebut dari tangan.
"Di kamarnya, Sinta!" Ucapku seraya menatap tajam ke arahnya.
"Kamu ngapain mas, ke kamarnya Sinta?" Tanyaku kembali dengan ekspresi wajah penuh curiga.
"Enggak, mas nggak pernah ke kamar Sinta, ngapain, kaya nggak ada kerjaan ajah!" Jawabnya sambil berusaha tenang, padahal dari gelagatnya sudah kelihatan kalau dia sudah kebingungan.
"Kalau mas, nggak pernah kesana, kenapa jam ini bisa ada dikamarnya, Sinta?" Tanyaku dengan nada tinggi. karena aku sudah nggak bisa menahan emosiku lagi.
"Iya, oke-oke mas ngaku kalau mas pernah masuk kedalam kamarnya Sinta, tapi bukan untuk apa-apa. Mas cuma menyimpan paket yang dikirim kurir pesanan Sinta. Okey, kamu masih nggak percaya. Aku akan jelasin dengan detail semuanya."
Aku hanya gelengkan kepalaku saja dan hanya diam, masih tidak percaya dengan semua perkataan mas Alvin.
mas Alvin pun menjelaskan semua pertanyaan yang ku cari tahu darinya sejak seharian ini, dia bersikap seakan-akan dia tidak bersalah dan tidak pernah melakukan hal apa-apa dengan Sinta, dengan berdalih dia telah memasuki kamar Sinta hanya untuk menyimpan paket yang telah diantar kurir untuk Sinta, dan alasannya karena Sinta tidak ada dan belum pulang.
Tapi aku masih curiga dengan pengakuan mas Alvin, karena dari semua jawaban dan alasan yang di berikannya kepadaku sedikit berneka-neko.
"Emang waktu kamu pergi ke kamar Sinta, kamu nggak ngerasa jam kamu telah terlepas? cecarku dengan nada sedikit menyentak.
"Ya, namanya juga terlepas, nggak sengaja lagi!" belanya, seraya merangkulku lagi.
Aku masih tidak percaya pada mas Alvin. waktu dia ngejelasin ajak, dia kayak grogi dan cara ngomongnya pun sangatlah berbelit-belit.
"Mas, kenapa kamu keringetan gitu?" Tanyaku sembari mengusap jidat nya mas Alvin.
"Oh, ini mungkin mas kegerahan!" Jawabnya sambil mencari Remote Ac.
"Masa sih mas, kan barusan kamu habis mandi, dan Ac nya pun juga sudah aku hidupin, apa kamu masih kepanasan juga?" jawabku sambil bertanya kembali padanya. seakan-akan untuk menekan mas Alvin supaya mengakui semua perbuatannya.
"Sudah ah, mas mau tidur ini sudah terlalu malam. mas sudah ngantuk."
Alih-alih mengaku, dia malah menutup pembicaraan kami begitu saja. Ini sangat menyebalkan, hal ini membuatku semakin geram dan menaruh curiga penuh terhadapnya.
Keesokan harinya seperti biasa kami melakukan aktivitas masing-masing. Aku yang berada di dapur di temenin si mbok untuk memasak, mas Alvin yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor, dan Sinta yang Juga bersiap untuk pergi sekolah.
"Mas, makan dulu, ini makanannya sudah siap?" Teriak ku memanggil mas Alvin dari bawah.