"Tuan Sergio?" suara Isla memenuhi mansion mewah tersebut, mencari sosok tuannya yang entah bagaimana tidak Isla lihat seharian penuh.
Sejak Isla bangun tidur sampai sore hari seperti ini, Isla tidak mendapat panggilan dari Sergio sekalipun. Awalnya, Isla merasa senang. Mendapat gaji namu pekerjaannya tidak seberat yang dia pikir. Bahkan, dia bisa berleha-leha seharian suntuk. Bermain ponsel, menonton banyak film, serta video call dengan temannya.
Akan tetapi, pada saat sore hari, Isla mulai merasa bosan dengan rutinitasnya yang sangat tidak berguna. Alhasil, dia masuk ke mansion utama dan mencari tuannya.
"Tuan Sergi—Lluvy? Apa kau melihat Tuan Sergio?" Isla yang melihat Lluvy langsung menghampirinya dan menanyakan keberadaan Sergio.
"Eh? Isla?! Kau mencari Tuan Sergio? Dia seharian belum keluar kamar. Mungkin ada pekerjaan penting. Biasanya, jika Tuan Sergio tidak keluar kamar seharian, artinya dia tidak ingin diganggu." jawab Lluvy.
Wajah Isla langsung berubah masam. "Ah, begitu ya…"
"Kenapa Isla? Kau merindukan Tuan Sergio?" entah angin darimana, Lluvy ingin menggoda Isla. Dan sialnya, Isla tergoda.
"T-tidak tentu saja! Mana mungkin aku merindukan Tuan Sergio." Elak Isla. Bibirnya mungkin bisa saja mengelak, tetapi wajahnya tidak bisa. Karena, kedua pipi Isla sudah memerah sempurna.
Lluvy langsung terkekeh menyadari Isla berbohong. "Kau ini… sudahlah, lebih baik kau kembali ke paviliun dan beristirahat. Bukankah kau berkuliah? Tidak mungkin kau tidak memiliki tugas 'kan?"
Sepanjang Lluvy berbicara, Isla mengekori Lluvy menuju dapur. Dia duduk di kursi, sedangkan Lluvy bersiap untuk memasak bersama dengan para pelayan lainnya.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan tugasku. Lebih baik kau memberiku sebuah pekerjaan. Aku merasa bosan, namun malas dan takut untuk keluar." Katanya seraya menopang dagu dengan kedua tangan.
"Pekerjaanmu hanya mengurus Tuan Sergio, tidak lebih. So, tidak ada pekerjaan untukmu di dapur, Isla." Ucap Lluvy seraya mengolah adonan yang dibuatnya.
Isla yang sudah terlanjur bosan mulai menghela nafasnya. Dia tidak pernah merasa sebosan ini sebelumnya. Yang biasa dia lakukan untuk mengisi rasa bosannya adalah dengan pergi ke club malam atau menghabiskan uang. Akan tetapi, kali ini tidak bisa dia lakukan mengingat dirinya terikat kontrak kerja. Dia hanya diperbolehkan keluar saat akhir pekan selain keluar untuk pergi ke kampus. Pergi ke kampus sekalipun harus dia urungkan jika Sergio lebih membutuhkannya.
"Lluvy… menurutmu, Tuan Sergio seperti apa?" Sudah sejak beberapa hari yang lalu Isla ingin menanyakan hal ini. Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya karena merasa ragu. Dan hari ini, rasa bosan memaksanya untuk membicarakan sesuatu hal yang menarik. Satu-satunya hal menarik yang ada di mansion semewah ini adalah Sergio. Ah, lebih tepatnya keburukan Sergio.
"Isla, tidak seharusnya kau bertanya seperti itu di sini. Kau bisa mendapat masalah jika Tuan Sergio mendengarnya." tegur Lluvy.
Isla berdecak. Dia kembali merasa bosan tanpa alasan. "Bukankah Tuan Sergio di kamarnya? Mana mungkin dia mendengar apa yang kita katakan. Ayolah, Lluvy… aku perlu mengetahuinya untuk menjaga diri. Jadi, aku tahu apa yang tidak disukai oleh Tuan Sergio dan apa yang disukainya." Isla tampaknya masih ingin tahu keburukan Sergio. Seperti apa sifat aslinya.
Meski di depan Sergio terlihat lembut dan baik, tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya Sergio adalah sosok yang keras seperti apa yang terlihat di depan public.
Menyadari Isla masih saja keras kepala, Lluvy menghela nafas kasar. Dia tahu bahwa Isla tidak akan bisa diam sampai mendapat jawaban dari pertanyaannya tersebut.
Dan jika sudah seperti ini, mau tidak mau Lluvy harus memberi apa yang dia mau.
"Tuan Sergio orang yang baik. Dia sangat baik. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu. Berhenti bertanya lagi, mengerti?" tegas Lluvy.
Isla mengerucutkan bibirnya, merasa kesal. "Memangnya kenapa? Apa salah membicarakan Tuan Sergio? Lagipula, Tuan Sergio tidak akan mengetahuinya. Apa jangan-jangan dia semenyeremkan itu sampai kalian tidak ingin membicarakannya? Dia membunuh seseorang?"
Bola mata Lluvy melebar sempurna. Tak hanya Lluvy, kali ini pelayan yang lain jadi sama terkejutnya dengan Lluvy. Mereka terlihat ketakutan.
"Isla! Jangan pernah menyinggung hal itu. Jangan pernah berspekulasi tentang Tuan Sergio seenaknya. Jika dia mendengarnya, kau bisa tamat, Isla." Tegur Lluvy lagi. Entah apa yang harus dia katakan pada Isla untuk membungkam mulut gadis muda tersebut.
Isla yang pada dasarnya tidak memiliki rasa takut hanya berdecak kesal dan kembali menopang wajahnya menggunakan satu tangan. Dia menghela nafas panjang, menatap Lluvy dengan tatapan memohonnya. "Aku bosan, Lluvy… teman-temanku juga tidak ada yang bisa dihubungi karena mereka sedang ada kelas. Dan aku… sendirian. Selama sembilan belas tahun aku hidup, aku tidak pernah merasa—oh my god, Lluvy… aku merasa ada yang menepuk pundakku." Tubuh Isla menegang sempurna saat merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dengan ragu dan hati yang bertanya-tanya, Isla memutar kepalanya perlahan.
Bola mata berwarna amber miliknya seketika membulat saat melihat siapa yang berdiri di belakangnya dan menepuk pundaknya. Isla menelan ludahnya susah payah, menggigit bibir bawahnya. "T-tuan Sergio?"
Bisa Isla lihat, Sergio menatapnya dengan sangat tajam. Dia berjalan begitu saja, membuat Isla dengan cekatan mengekor di belakangnya. Saking lebarnya langkah Sergio, Isla sampai tertatih-tatih dengan jalannya.
"T-Tuan, apa Tuan membutuhkan saya?" tanya Isla dari belakang Sergio. Manik amber milik Isla mengamati kepala Sergio. Saat dia melihat kepala Sergio mengangguk, Isla tersenyum tipis.
"B-baik, Tuan." Isla terus berjalan mengikuti Sergio, hingga akhirnya mereka berhenti di ruang kerja pria itu.
Sergio duduk di kursi, tanpa sadar mencoba bersuara. "Is—akh!" suaranya teramat serak. Tangannya mengepal, menahan sakit. Isla yang menyadari hal itu panik seketika. Dia berlari, mendekati Sergio dan menanyakan keadaannya.
"T-Tuan baik-baik saja? Tenggorokkan Anda masih sakit, seharusnya Anda jangan memaksakan diri untuk berbicara. Anda bisa menggunakan kertas atau mengirim saya pesan jika ingin berbicara." Ucap Isla dengan wajah khawatirnya.
Sudah sejak lama Sergio tidak mendapat perhatian semanis ini dari seorang perempuan. Dan entah mengapa, hatinya langsung bergetar. Dia meraih ponselnya, mengetikkan sesuatu pada Isla.
'Hubungi nomor Mister Alaraya di ponsel ini. Dan katakan padanya bahwa aku tidak bisa datang ke pesta ulang tahun putrinya karena aku sedang di luar negeri.'
Isla mengerti perintah tersebut. Dia mengambil alih ponsel Sergio, menghubungi seseorang yang dimaksud oleh pria itu.
"Selamat sore, Mister Alaraya… saya ingin menyampaikan bahwa Mister Miguel tidak bisa datang ke pesta ulang tahun putri Anda karena beliau sedang berada di luar negeri."ucap Isla.
"…"
Kening Isla tampak berkerut mendengar respon dari Mister Alaraya. Dia menjauhkan ponselnya, bertanya pada Sergio. "Dia tanya saya siapa. Dia sangat ngotot ingin berbicara dengan Anda karena meragukan identitas saya."
Sergio menghela nafasnya, menulis sesuatu di atas kertas dan menunjukkannya pada Isla. 'Katakan bahwa kau adalah kekasihku.'